Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

TEORI-TEORI BELAJAR YANG BERKAITAN DENGAN PEMBELAJARAN

TEORI-TEORI BELAJAR YANG BERKAITAN DENGAN PEMBELAJARAN



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang ini antara lain teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt.

Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak.

Di awal abad 20 sampai sekarang ini teori belajar behaviorisme mulai ditinggalkan dan banyak ahli psikologi yang baru lebih mengembangkan teori belajar kognitif dengan asumsi dasar bahwa kognisi mempengaruhi prilaku peserta didik. Tingkah laku manusia yang tampak, tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental. Semua bentuk perilaku termasuk belajar selalu didasarkan pada kognisi, yaitu mengenal situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Setiap orang telah memiliki pengalaman yang telah tertanam dalam struktur kognitifnya. Menurut teori belajar kognitif, proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi yang baru berkaitan (berhubungan) secara tepat dan serasi dengan strukrtur kognitif peserta didik. Teori kognitif ini digagas oleh beberapa tokoh diantaranya Piaget, Brunner, dan Ausubel.

Teori konstruktivistik menekankan bahwa peserta didik dapat mencari sendiri masalah, mampu menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan berpikir dan menyelesaikan serta membuat konsep mengenai keseluruhan pengalaman menjadi satu kesatuan yang utuh.


Adanya teori-teori belajar tersebut dapat membantu para pendidik untuk dapat memahami proses belajar yang terjadi dalam diri peserta didik. Pemilihan teori belajar yang akan digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas disesuaikan dengan mata pelajaran terkait mengingat setiap mata pelajaran memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

Istilah belajar dan pembelajaran merupakan dua istilah yang memiliki keterkaitan sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses pendidikan. Pembelajaran sesungguhnya merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana yang kondusif agar siswa dapat belajar dengan baik. Untuk itu, harus dipahami bagaimana siswa memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajar yang telah dia lakukan. Jika guru dapat memahami proses mendapatkan pengetahuan, maka guru akan dengan mudah menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswanya. Untuk tujuan itu, guru haruslah terlebih dahulu mengerti dan memahami tentang teori-teori belajar yang ada agar dapat memahami bagaimana siswa belajar.

Pada hakikatnya, teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses yang kompleks dari belajar.


B. Identifikasi Masalah


1. Teori belajar mulai berkembang sejak abad ke 19. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme.


2. Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati berupa perilaku peserta didik, teori belajar kognitivisme menekankan pada proses belajar, sedangkan teori belajar konstruktivisme menekankan bahwa peserta didik dapat mencari sendiri masalah


3. Teori belajar dapat membantu guru untuk memahami proses belajar yang terjadi dalam diri peserta didik. Guru harus pintar memilih teori belajar yang tepat dalam pembelajaran yang disesuaikan dengan materi pelajaran itu sendiri.


C. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah perkembangan teori belajar dalam dunia pendidikan?


2. Apakah hakikat ilmu fisika dan bagaimanakah seharusnya pembelajaran fisika itu diterapkan?


3. Teori belajar manakah yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran fisika?


D. Tujuan


1. Untuk mengetahui perkembangan teori belajar dalam dunia pendidikan.


2. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya teori-teori belajar diterapkan dalam pembelajaran.


3. Untuk mengetahui teori belajar yang sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran.




PEMBAHASAN

A. Perkembangan Teori Belajar

Belajar didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman (Morgan,dkk. 1986). Definisi ini mencakup tiga unsur yaitu: belajar adalah perubahan tingkah laku, perubahan tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman, dan sebelum dikatakan belajar, perubahan tersebut harus relatif permanen dan tetap untuk kurun waktu yang cukup lama.

Dipandang dari segi kependidikan, apabila seseorang telah belajar sesuatu maka ia akan berubah kesiapannya dalam menghadapi lingkungannya. Belajar adalah aktif dan merupakan fungsi dari situasi disekitar individu yang belajar dan diarahkan oleh tujuan yang menimbulkan adanya pengalaman-pengalaman dan keinginan untuk memahami sesuatu (Snelbecker, 1974). Snelbecker selanjutnya menyimpulkan definisi belajar sebagai berikut: belajar harus mencakup tingkah laku, tingkah laku tersebut harus berubah dari tingkat yang paling sederhana hingga yang kompleks, dan proses perubahan tingkah laku tersebut harus dapat dikontrol sendiri atau oleh faktor-faktor eksternal.

Pembelajaran merupakan kegiatan belajar-mengajar ditinjau dari sudut kegiatan peserta didik berupa pemberian pengalaman belajar siswa yang direncanakan guru untuk membangun pengetahuan baru dan mengaplikasikannya (learning process). Dalam tugasnya melaksanakan pengelolaan proses belajar mengajar sehari-hari, seorang guru perlu mengingat beberapa prinsip belajar sebagai berikut:

1. Apapun yang dipelajari peserta didik, dialah yang harus belajar, bukan orang lain. Untuk itu peserta didiklah yang harus bertindak secara aktif.

2. Setiap peserta didik akan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya.

3. Seorang peserta didik akan dapat belajar dengan baik apabila memperoleh penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajar.

4. Penguasaan yang sempurna dari setiaplangkah yang dilakukan peserta didik akan membuat proses belajar lebih berarti.

5. Seorang peserta didik akan lebih meningkat motivasinya untuk belajar apabila ia diberi tanggumg jawab serta kepercayaan penuh atas belajarnya (Davies, 1971).

Lindgren (1976) mengatakan perlunya seorang pengajar memahami teori belajar dengan alasan sebagai berikut:

1. Teori belajar membantu pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi di dalam diri peserta didik.

2. Dengan kondisi ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi, memperlancar, atau menghambat proses belajar.

3. Dengan teori belajar memungkinkan guru melakukan prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat diharapkan pada suatu aktivitas belajar.

4. Teori belajar dapat merupakan sumber hipotesis atau dugaan tentang proses belajar yang dapat diuji kebenarannya melalui eksperimen dan penelitian, sehingga dapat meningkatkan pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.

5. Hipotesis, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip ini dapat membantu guru meningkatkan performancenya sebagai seorang pengajar yang efektif.

Dengan alasan-alasan tersebut maka jelas apabila seorang guru ingin diklasifikasikan sebagai guru yang baik, disamping penguasaan ilmu yang digelutinya selama ini ia harus pula membekali diri dengan pengetahuan yang memadai teori belajar / teori pembelajaran.Teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok antara lain:


a. Teori Belajar Behaviorisme

Menurut teori ini manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Menurut Galloway, behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat yaitu tingkah laku serta tidak memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat, oleh karena itu tidak dianggap ilmiah. Dengan demikian proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri siswa yang belajar. Beberapa macam teori behaviorisme yang terkenal, yaitu:

1. Edward Thorndike

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara persitiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Teori yang dikemukakan Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.

2. Petrovich Pavlov (Classical Conditioning)

Teori ini didasarkan atas rekasi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.

Stimulus tidak terkontrol

(US)

Respons tidak terkontrol

(UR)

Stimulus tidak terkontrol (US) merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respons dalam bentuk refleks (UR). Di sini respons dapat di terbentuk tanpa adanya proses belajar.

Menurut Pavlov individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respons yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3. Skinner (Operant conditioning)

Menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respons. Respons yang diberikan ini dapat sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Respons yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement) agar orang ingin melakukannya kembali.

Prinsip belajar yang dikemukakan skinner antara lain:

1. Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut berpartisipasi aktif di dalamnya.

2. Materi pelajaran dibentuk dalmma unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis sehingga siswa mudah mempelajarinya.

3. Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat segera mengetahui apakah respons yang diberikan telah benar atau belum.

4. Setiap kali siswa memberikan respons yang benar maka ia perlu penguatan. Penguatan yang positif memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penguatan negatif.


b. Teori Belajar Kognitivisme

Beberapa teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme dan yang seringkali dipakai dalam proses belajar mengajar adalah:

1. Teori Perkembangan Piaget

Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya pross yang didasarkan atas mekanisme biologis berupa perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.

Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikut pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Disini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensorimotorik (0-2 tahun) yang bersifat eksternal, preoperasional (2-6 tahun), operaional konkrit (6/7-11/12 tahun), dan jenjang formal (11/12-18 tahun) yang bersifat internal.

Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan cenderung menyulitkan peserta didiknya. Misalnya saja mengajarkan konsep-konsep abstrak kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkonkritkan konsep-konsep tersebut, tidak hanya akan percuma tetapi justru akan lebih membingungkan para peserta didik.

2. Teori Kognitif Bruner

Dalam perkembangan kognitif, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Sedangkan Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif menyebabkan perkembangan bahasa seseorang, sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Hilgared & Bower, 1981).

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Antara lain:

Ø Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan.

Ø Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.

Ø Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana idividu mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.

Makin dewasa seseorang, makin dominan sistem simbolnya. Namun tidak berarti bahwa orang dewasa tidak lagi memakai sistem ikonik atau enaktif. Menurut teori belajar yang dikemukakan Bruner, maka pelaksanaan pembelajaran meliputi hal-hal berikut:

a) Pengalaman optimal untuk mau belajar.

Belajar dan memecahkan masalah memerlukan pencarian alternatif, pemeliharaan dan pengarahan.

b) Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal.

Pengetahuan yang disampaikan harus terstruktur. Struktur ini memiliki ciri-ciri cara penyajian ringkas tetapi informatif (rumus, bagian, tabel) dan memiliki kemmapuan menghubungkan hal-hal yang kelihatannya terpisah.

c) Perincian urutan penyajian materi pembelajaran secara optimal.

Urutan materi permbelajaran ditujukan untuk membimbing siswa agar dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menerima, mengubah, dan mentransfer apa yang telah dipelajarinya.

d) Bentuk dan pemberian penguatan.

Dalam pelaksanaan pembelajaran siswa-siswa perlu diberi penguatan dalam bentuk yang tepat.

3. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Kelemahan dari beberapa teori belajar adalah teori-teori tersebut sangat menekankan pada belajar asosiatif atau menghafal. Padahal belajar seharusnya merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua hal, yaitu: (a) materi yang secara potensial bermakna, yang dipilih serta diatur oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan serta pengalaman masa lalu peserta didik; (b) situasi belajar bermakna. Faktor motivasional memegang peranan penting disini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasi materi baru apabila mereka tidak memiliki keinginan dan pengetahuan untuk melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh guru sehingga materi tidak perlu dipelajari secara hafalan.

Satu hal yang sifatnya karakteristik dari teori ini ialah adanya konsep advance organizers yang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk mempelajari iformais baru. Advance organizers ini merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan sesuatu yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

Menurut Ausubel, faktor terpenting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Agar terjadi belajar bermakna, maka konsep atau pengetahuan baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

Dalam proses pembelajaran, konsep-konsep yang disajikan guru disusun secara hierarkhi dan konsep yang paling umum disajikan terlebih dahulu menuju pada hal-hal yang lebih khusus. Proses penyusunan konsep dengan urutan seperti itu disebut diferensiasi progresif. Contoh penyusunan konsep secara hierarkhi konseptual adalah pembuatan peta konsep.

Prinsip kedua yang dikemukakan Ausubel ialah rekonsiliasi integratif atau penyesuaian integratif. Menurut prinsip ini, konsep atau gagasan perlu diintegrasikan dan disesuaikan dengna konsep yang telah dipelajari sebelumnya.

Menurut teori ini proses belajar merupakan proses yang terjadi melalui interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat berupa: (1) interaksi searah (one directional), yaitu adanya stimuli dari luar menyebabkan timbulnya respons; (2) interaksi dua arah, yaitu tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara individu yang belajar dengan lingkungannya atau sebaliknya; (3) interaksi reciprocal, yaitu beberapa faktor yang mempunyai saling ketergantungan seperti faktor-faktor pribadi dan faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi dan menyebabkan perubahan tingkah laku.

c. Teori belajar Gagne

Teori belajar yang disusun Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme yang berpangkal pada teori proses informasi. Menurut Gagne, cara berpikir seseorang tergantung pada: (1) keterampilan yang telah dimilikinya, (2) keterampilan serta hierarkhi yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Selanjutnya Gagne mengemukakan bahwa di dalam proses belajar terdapat dua fenomena, yaitu: (1) keterampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan meningkatnya umur serta latihan yang diperoleh individu, (2) belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien.

Gagne mengemukakan adanya lima macam hasil belajar, yaitu:

1. Keterampilan intelektual atau pengetahuan prosedural yang mencakup belajar diskriminasi, konsep, prinsip, dan pemecahan masalah, yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang disajikan di sekolah.

2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, mengingat dan berpikir.

3. Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk medeskripsikan sesuatu denga kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.

4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.

5. Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual.

Belajar menurut Gagne tidak merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi tertentu, yaitu kondisi (1) internal, menyangkut kesiapan peserta didik dan apa yang telah dipelajari sebelumnya (prerequisite), serta (2) eksternal, yang merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis hasil belajar tersebut memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan dikontrol.

Hasil-hasil belajar tersebut dapat diperoleh melalui tipe belajar tertentu. Menurut Gagne ada delapan tipe belajar, yaitu:

1. Belajar isyarat (signal)

2. Belajar stimulus respons

3. Belajar rangkaian

4. Belajar asosiasi verbal

5. Belajar diskriminasi

6. Belajar konsep

7. Belajar aturan, dan

8. Belajar pemecahan masalah

d. Teori Belajar Konstruktivisme

Teori ini dikemukakan oleh John Dewey. Ia mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat peserta didik sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada peserta didik.

Kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan diadakan kegiatan diskusi dan review teman. Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

C. Teori Belajar yang Sesuai dengan Pembelajaran MIPA

MIPA adalah rumpun dari sains (IPA) fisika, kimia, biologi dan matematika, pada hakikatnya adalah kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan. MIPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model. MIPA sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya rasa ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. MIPA sebagai cara penyelidikan merupakan cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasikan.

MIPA dipandang sebagai suatu proses dan sekaligus produk sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efesien yaitu salah satunya melalui kegiatan praktik. Hal ini dikarenakan melalui kegiatan praktik, siswa melakukan olah pikir dan juga olah tangan.

Kegiatan praktik adalah percobaan yang ditampilkan guru dan atau siswa dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan oleh siswa yang berlangsung di laboratorium atau tempat lain. Adapun jenis-jenis kegiatan praktik dikelompokkan menjadi 4, yaitu eksperimen standar, eksperimen penemuan, demonstrasi, dan proyek.

Kegiatan praktik dalam pembelajaran MIPA mempunyai peran motivasi dalam belajar, memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang telah tertuang dalam Kurikulum Satuan Pendidikan, terlihat bahwa materi pelajaran MIPA yang harus dikuasai oleh peserta didik ada banyak, beragam dan sebagian bersifat abstrak. Sebagian materi pembelajaran MIPA di SMA merupakan konsep teoritis dan bersifat informatif. Sehingga ketepatan dalam memilih metode pembelajaran sangatlah penting agar materi-materi tersebut tersampaikan secara utuh.

Strategi atau teknik, metode dan pendekatan merupakan tiga hal yang berbeda meskipun penggunaannya sering bersama-sama dijumpai dalam pembelajaran. Pendekatan merupakan teori atau asumsi. Metode adalah pengembangan yang lebih konkret dari teori tersebut, berupa prosedur-prosedur berdasarkan teori tersebut di dalam berbagai bentuk kegiatan kelas.

Meskipun telah disebutkan bahwa “tidak ada satu pun pendekatan yang paling cocok untuk satu pelajaran”, tetapi karena pusat pelajaran MIPA adalah eksperimen dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelajaran MIPA itu sendiri maka melalui eksperimen siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dengan gejala MIPA yang dipelajari. MIPA sebagai ilmu yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mempelajarinya tidak cukup hanya melalui minds-on, tetapi juga harus melalui hands-on, seperti layaknya ilmuwan ketika menjelajahi alam ini. Secara teoretis dan dengan prosedur-prosedur yang tepat kerja laboratoriumlah pendekatan saintifik yang tepat digunakan dalam pembelajaran MIPA.

Macam-macam kerja laboratorium dapat dibedakan dalam deduktif atau verifikasi, induktif, keterampilan teknis, tanya jawab, dan keterampilan proses. Umumnya pendekatan-pendekatan tersebut dapat meningkatkan hal-hal sebagai berikut; sikap terhadap fisika, sikap ilmiah, penemuan ilmiah, pengembangan konsep, dan keterampilan-keterampilan teknis bagi siswa.

Berikut terdapat beberapa pendekatan dalam pembelajaran yang dapat digunakan pada pembelajaran fisika, antara lain:

1. Pendekatan Konsep

Pendekatan ini merupakan suatu model pembelajaran kognitif. Bruner menyarankan agar peserta didik dapat berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta melakukan eksperimen-eksperimen yang memberi kesempatan pada peserta didik untuk menemukan prinsip-prinsip sendiri. Pendekatan ini dapat diterapkan jika guru melaksanakan pembelajaran dengan teknik inkuiri.

2. Pendekatan Keterampilan Proses

Cara berpikir dalam sains, misalnya, adalah keterampilan-keterampilan proses. Keterampilan proses sains dibedakan dalam dua bagian besar, yaitu keterampilan dasar proses sains, dimulai dari observasi sampai dengan meramal, dan keterampilan terpadu proses sains, dari identifikasi variabel sampai dengan yang paling kompleks, yaitu eksperimen. Keterampilan dasar proses sains adalah hal-hal yang dikerjakan ketika siswa mengerjakan sains, misalnya mengobservasi pengaruh suhu terhadap faktor redaman ayunan teredam. Dalam keterampilan terpadu proses sains, siswa dipandu untuk melakukan eksperimen melalui penggunaan seluruh keterampilan-keterampilan proses yang siswa miliki. Melalui eksperimen suatu pembelajaran fisika dikatakan utuh, sebab eksperimen di laboratorium merupakan bagian integral dari konsep, prinsip dan hukum fisika akan dipelajari. Eksperimen dapat dikatakan sebagi dewa dalam pembelajaran fisika, tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaannya memerlukan biaya dan tenaga yang besar sehingga sebagai guru fisika yang sukses harus betul-betul ahli dalam mendesain kegiatan eksperimen untuk siswanya. Namun demikian, hendaknya hal tersebut tidak menjadi momok bagi guru dalam mempersiapkan penggunaannya di kelas, akan tetapi justru menjadi tantangan bagi guru untuk mempersiapkan eksperimen sebaik-baiknya agar pembelajaran fisika betul-betul efektif.

3. Strategi Belajar-mengajar Menurut Pandangan Konstruktivisme

Pandangan konstruktivisme sangat menekankan pentingnya gagasan yang sudah ada pada diri siswa untuk dikembangkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pemahaman konsep sangat ditekankan. Belajar merupakan proses aktif dan kompleks dalam upaya memperoleh pengetahuan baru. Proses yang terjadi merupakan proses kognitif sebagai interaksi antara kegiatan persepsi, imajinasi, organisasi, dan elaborasi. Proses pengorganisasian dan elaborasi memungkinkan terbentuk hubungan antarkonsep. Hubungan antarkonsep dapat digambarkan sebagai peta konsep. Peta konsep dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui hasil belajar dan adanya miskonsepsi. Miskonsepsi terjadi karena siswa masih menggunakan gagasan pribadinya dan pembelajaran belum dapat mengubah pemahaman siswa menjadi gagasan baru yang benar. Perubahan ini dapat berlangsung dengan mulus asalkan pada siswa ada perasaan tidak puas terhadap pemahaman yang salah, siswa mempunyai pengetahuan optimal tentang konsep yang benar, konsep yang benar dapat masuk akal dan mempunyai daya memprediksi serta daya eksplanasi. Strategi pembelajaran dapat dikembangkan dan siklus pembelajaran dan siklus belajar. Hal ini untuk memungkinkan terjadi keselarasan antara pola pikir yang dituntut oleh guru dengan pola pikir siswa. Pengorganisasian materi sajian juga penting karena dalam proses belajar-mengajar terjadi hubungan segitiga antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Disarankan pengorganisasian materi subjek berorientasi pada kerangka pemecahan masalah.

4. Pendekatan Discovery dan Inquiry

Pendekatan discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan. Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.

Pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri.

Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya. Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan inquiry dengan melalui 5 fase ialah: fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti.

fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi, fase 3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat, fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal, dan fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.


5. Pendekatan STS (Sains-Teknologi-Masyarakat)

Di dalam kegiatan belajar ini, kita mengenal pengertian STS dan pengertian pendekatan STS. Pengertian STS memberi gambaran kepada kita bahwa sains/IPA dan teknologi mempunyai kaitan yang erat. Selain itu, keduanya juga mempunyai kaitan yang erat dengan respon masyarakat. Dengan pengertian bahwa adanya suatu perubahan teknologi akan dapat menyebabkan perubahan sosial, begitu pula sebaliknya. Hal ini berarti ada jaringan hubungan antara sains, teknologi dan sistem-sistem sosial yang saling pengaruh mempengaruhi. Kemudian pendekatan STS, memberi gambaran kepada kita bahwa hendaknya suatu pembelajaran fisika itu didekati melalui sains, teknologi dan masyarakat. Artinya dalam suatu pembelajaran sains, selain menekankan pada pemahaman terhadap konsep sains, juga perlu melibatkan pemahaman siswa terhadap hasil produk teknologi yang terkait, serta manfaatnya bagi masyarakat. Munculnya berbagai pendekatan dalam pembelajaran sains, khususnya pendekatan STS, didasarkan pada suatu kesulitan yang banyak dihadapi oleh pembuat kurikulum, guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran di sekolah. Selain itu dengan menggunakan pendekatan STS ini, diasumsikan akan dapat memberi peluang kepada siswa untuk belajar lebih bermakna, bermanfaat dan menyenangkan.

Guru mempunyai peranan penting dalam membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Hal ini diperlukan agar siswa dapat membuat suatu keputusan yang bertanggung jawab mengenai isu-isu sosial, khususnya isu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu cara yang populer untuk memperkenalkan siswa dengan isu-isu sosial itu adalah dengan meminta kepada siswa untuk membawa artikel-artikel tentang sains, teknologi dan penggunaannya dalam masyarakat di dalam kelas sains. Dengan kata lain siswa diberi pengarahan dan kesempatan yang cukup, agar mereka dapat meneliti isu-isu itu dengan cara mengumpulkan fakta-fakta, merumuskan pendapat-pendapat mereka dan menarik suatu kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Berdasarkan deskripsi uraian di atas maka salah satu pendekatan yang dipandang tepat untuk digunakan dalam suatu pembelajaran fisika adalah pendekatan STS atau STM. Karena pendekatan ini selalu mengaitkan antara sains, teknologi dan penggunaan sains dan teknologi itu dalam masyarakat. Dengan penggunaan pendekatan itu di dalam pembelajaran fisika maka dalam proses pembelajarannya, kita mempunyai konsekuensi bahwa selain kita menanamkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep atau prinsip-prinsip fisika, kita perlu juga menanamkan pemahaman siswa terhadap teknologi yang berkaitan dengan konsep itu, dan kemungkinan penggunaannya di lingkungan masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, guru yang menyajikan materi fisika dengan menggunakan pendekatan STS perlu memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah: deskripsi materi fisika yang akan disajikan, diskripsi teknologi yang berkaitan dengan materi fisika, penggunaan teknologi itu di dalam masyarakat dan kemung-kinan adanya sikap serta permasalahan yang timbul akibat dari penggunaan teknologi itu di dalam masyarakat. Deskripsi dari materi itu dapat meliputi antara lain: uraian konsep, penggunaan matematika, penggunaan rumus, penyajian soal dan sebagainya. Kemudian deskripsi teknologi dapat meliputi: kegunaan teknologi, bagan gambar dari produk teknologi itu, prinsip kerjanya dan keterkaitan antara teknologi itu sendiri dengan materi yang disajikan dalam pembelajaran fisika.

6. Pendekatan Pengorganisasian Konsep dari Ausubel

Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa belajar merupakan suatu proses mental yang mengembangkan cara berpikir kritis, logis, dan kreatif. Peserta didik dalam mengasimilasi pelajaran melalui cara seperti table berikut:

7. Pendekatan Pemecahan Masalah (Metode Ilmiah) dari John Dewey

Masalah adalah sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang belum pasti. Pendekatan pemecahan masalah menekankan agar pembelajaran memberikan kemampuan bagaimana cara memecahkan masalah yang objektif dan tahu benar apa yang dihadapi.

8. Pendekatan Kontekstual

Pendektan kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquir), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapakan ketujuh konsep terebut dalam proses pembelajarannya.

Berdasarkan pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran MIPA tersebut, terlihat bahwa terdapat beberapa teori belajar yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran MIPA, antara lain:

1. Teori Kognitif Bruner

Menurut Bruner, teori pembelajaran yang baik adalah pengalaman belajar melalui penemuan (discovery), yang memungkinkan peserta didik memperoleh informasi dan keterampilan baru dengan memperhatikan informasi dan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya.

Hal ini sesuai dengan materi-materi yang diajarkan dalam pembelajaran fisika dimana terdapat beberapa materi yang disertai dengan percobaan/praktikum. Diharapkan dengan melakukan percobaan, peserta didik lebih memahami konsep yang diajarkan dengan jalan menemukan fakta dari konsep tersebut.

2. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Dalam proses pembelajaran, konsep-konsep yang disajikan guru disusun secara hierarkhi dan konsep yang paling umum disajikan terlebih dahulu menuju pada hal-hal yang lebih khusus.

Materi-materi yang diajarkan dalam MIPA mempunyai keterkaitan satu sama lain, sehingga untuk mempelajari materi baru, peserta didik dituntut untuk menguasai materi sebelumnya. Dengan adanya peta konsep akan lebih membantu penyampaian materi pembelajaran menjadi lebih terstruktur.

3. Teori Konstruktivisme dari John Dewey

Menurut teori konstruktivisme seseorang harus membangun sendiri pengetahuannya secara aktif. Penekanan teori Konstruktivisme adalah proses internal yang terjadi di dalam struktur kognitif individu yang belajar.

Teori belajar ini cocok diterapkan untuk materi-materi MIPA yang mengandung konsep-konsep teoritik. Untuk mengetahui apakah peserta didik telah memahami konsep atau belum, guru sebagai fasilitator diharapkan lebih banyak bertanya dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menyatakan apa yang diketahuinya dan apa yang tidak diketahuinya.

Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada variasi, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu diperdebatkan. Yang lebih penting untuk dipahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.


PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan teori belajar meliputi teori belajar behaviorisme (Edward Thorndike, Pavlov dan Skinner), teori belajar kognitivisme (Piaget, Burner dan Ausubel), teori belajar Gagne dan teori belajar Kontruktivisme oleh John Dewey.

2. MIPA sebagai rumpun ilmu pengetahuan alam dan matematika diajarkan di SMA mempunyai tujuan pembelajaran antara lain agar siswa menguasai konsep-konsep MIPA, mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip MIPA untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta penerapannya baik dalam kehidupan sehari-hari serta teknologi. Oleh karena itu dalam pembelajaran MIPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses (metode ilmiah) dan sikap ilmiah.

3. Teori belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran MIPA tersebut antara lain:


a. Teori Belajar Kognitif Bruner


b. Teori Belajar Bermakna Ausubel


c. Teori Belajar Konstruktivisitik dari John Dewey.


B. Saran

Dalam proses pembelajaran tidak cukup hanya berorientasi pada satu teori belajar saja, karena antara teori belajar yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Sehingga, mengkombinasikan beberapa teori belajar merupakan cara yang tepat untuk memahami proses belajar peserta didik agar diperoleh hasil yang diinginkan dengan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sudrajat. 2010. Model Pembelajaran Inovatif, http:// akhmadsudrajat. wordpress.com

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Petunjuk Teknis Pengenbangan Silabus dan Contoh / Model Silabus SMA/MA. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Conny Semiawan, dkk. 1988. Pendekatan Keterampilan Proses. Gramedia: Jakarta

Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. IKIP Semarang Press: Semarang

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta

E Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung

Massofa. 2008. Pendekatan Discovery Inquiry dan STS dalam pembelajaran Fisika. http://massofa.wordpress.com

Subiyanto. 1988. Evaluasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. P2LPTK, Depdikbud: Jakarta.

Tim Penyusun. 2007. Psikologi Pendidikan. UNY Press: Yogyakarta.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisti, Prestasi Pustaka: Jakarta

Udin Syaefuddin Sa’ud. 2009. Inovasi Pendidikan. Alfabeta: Bandung

Universitas Negeri Makassar, 2007, Panduan Model Pembelajaran Efektif, UNM: Makassar.
Share:

No comments:

Post a Comment

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru