BAB
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Modernisasi yang berkembang pesat
dengan teknologi informasi dan komunikasi, kemudian diiringi dengan globalisasi
telah membuat manusia keluar dari sekat-sekat konvensional. Lihatlah berbagai
kasus dan peristiwa yang terjadi dan muncul dan berkembang setiap hari melalui
berbagai media informasi baik lewat berita tertulis, surat kabar maupun berita
dari visualisasi seperti koran dan internet yang memberitakan kejadian anarkis,
pornografi, perkelahian dan lainnya.
Kondisi
bangsa kita sekarang ini sangat memprihatinkan sekali, disegala aspek kehidupan
mengalami yang namanya krisis moral. Keadaan tersebut terjadi diawali sejak
tahun 1997 / 1998 dimana terjadinya krisis multidemensi yang dampaknya sedang
kita alami hingga saat ini dan tak kunjung selesai. Dimulai dari adanya krisis
moneter, ekonomi, politik, kepercayaan, kepemimpinan, dan yang sangat fatal
adalah adanya krisis akhlak dan moral yang mempunyai dampak berkelanjutan
sampai hari ini. Krisis yang semula merupakan krisis identitas ini menjadi
lebih parah karena menyangkut masalah hati nurani yang mencerminkan adanya krisis
karakter, terlebih lagi adanya krisis yang berkaitan dengan jati diri. Kita
sebenarnya sudah tahu dan sadar serta maklum bahwa perubahan atau
pergeseran nilai-nilai yang dialami oleh bangsa kita ini tidak lepas dari
kehidupan modernisasi dan globalisasi yang tiap hari terus menyerang dan
menjejali segi-segi kehidupan bangsa Indonesia dari segala arah. Oleh
sebab itu eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang
dimiliki. Hanya bangsa yang memiliki karakter yang mampu menjadikan dirinya
sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa lain. Oleh karena itu
menjadi bangsa yang berkarakter adalah keinginan kita semua.
Sebenarnya,
manusia Indonesia tidak kalah cerdas dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa
Indonesia tidak bermasalah dengan IQ atau otak kita, yang menjadi masalah
justru adalah yang berkaitan dengan hati nurani yang mencerminkan karakter dan
jati dirinya. Cuma yang ditampilkan baik di surat kabar maupun internet lebih
banyak menampilkan manusia Indonesia atau sosok yang tidak tulus ikhlas, tidak
bersungguh-sunggu, senang yang semu, senang berbasa-basi, membudayakan ABS
(asal bapak senang). Kesemuanya ini sangat merusak karakter individu dan
mempunyai implikasi pada rusaknya karakter bangsa. Penampilan semacam ini dalam
satu kata disebut penampilan memakai kedok atau topeng. Dapat kita bayangkan
bagaimana kinerja dan aktivitas yang akan ditampilkan oleh manusia seperti
tersebut, maka akan tercipta sikap-sikap seperti : kata-katanya tidak bisa
dipercaya, ingkar janji, tidak bertanggung-jawab, saling menghujat. Dengan kata
lain tidak ada satunya antara kata dengan perbuatan.
Penampilan atau gambaran kinerja
semacam ini jelas sekali menunjukkan bahwa manusia Indonesia “kehilangan” jati
dirinya dimana implikasi pada rusaknya karakter bangsa. Karakter bangsa
Indonesia yang selama ini dikenal ramah tamah, gotong royong, sopan santun,
sekarang berubah dengan penampilan yang nyaris disamakan dengan penampilan yang
arogan, cenderung menampilkan kekerasan yang berujung anarkis. (Sutikno,2010:6).
Pada tataran dunia pendidikan, masih
maraknya tawuran antar pelajar bahkan mahasiswa, penyalahgunaan narkoba, serta
masih rendahnya mutu pendidikan kita bila dibandingkan dengan negara tetangga semisal
Malaysia padahal “start” pendidikan kita lebih depan bila dibandingkan negara
jiran tersebut. Lalu apa yang terjadi di negeri ini? Bila kita kaji lebih
dalam, kita sedang pada kondisi krisis yaitu krisis karakter.
Kondisi yang memperhatinkan itu tentu saja menggelisahkan semua
komponen bangsa, termasuk Presiden Republik Indonesia. Presiden Bambang
Yudhoyono memandang perlunya pembangunan karakter saat ini. Pada peringatan
Dharma Shanti Hari Nyepi 2010 menyatakan “Pembangunan karakter (character
building) amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak,
budi pekerti, dan mulia. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul
dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan
masyarakat yang baik (good society). Dan masyarakat idaman seperti ini dapat
kita wujudkan manakala manusia Indonesia merupakan manusia yang berakhlak baik,
manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan
berperilaku baik pula. Berdasarkan hal tersebut maka banyak. (Anonim, 2010).
Upaya yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui
pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam
pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental. Melalui pendidikan
diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif,
serta mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik. Melalui pendidikan
inilah sekarang banyak lembaga pendidikan dan institusi Pembina mulai mengkaji
lebih dalam tentang pendidikan karakter. Hal tersebut bisa kita rasakan melalui
berbagai media masa, seminar-seminar yang dilakukan pada lembaga institusi
serta instansi lain yang terkait, .serta beberapa versi yang berkaitan dengan
pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan
pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan
pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Pengantar penelitian sebagai subsistem pendidika kontribusinya
penting dalam pembentukan karakter siswa. Sedangkan karakter sebagai hasil dari
pendidikan membawa arti penting dalam kehidupan yang sesungguhnya di
masyarakat. Karena itu penting sekali memahami nilai karakter yang dilaksanakan
dalam pembelajaran pengantar penelitian. Pengantar penelitian merupakan teori
awal atau dasar penelitian meliputi serangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara hai-hati sehingga memecahkan masalah yang ada. Dengan demikian materinya
meliputi proses penyelidikan, investigasi, pemeriksaan dan eksperimen serta
kesimpulan yang didapat.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah mengoptimalisasi pendidikan
karakter disekolah melalui pelajaran pengantar penelitian menjadi pelajaran
wajib di sekolah
2.
Bagaimanakah hasil pendidikan karakter disekolah
melalui pelajaran pengantar penelitian menjadi pelajaran wajib disekolah
C. TUJUAN
1.
Dapat mengoptimalisasi pendidikan karakter
disekolah melalui pelajaran pengantar penelitian menjadi pelajaran wajib
disekolah
2.
Dapat memperoleh gambaran bahwa pendidikan
karakter dapat diterapkan pada pelajaran pengantar penelitian sehingga menjadi
materi pelajaran wajib disekolah
BAB II. PEMBAHASAN
1. Definisi Karakter dan Indikator Karakter
Banyak ahli yang berbeda-beda tentang definisi karakter. Karakter
dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, akhlak atau nilai dan berkaitan
dengan kekuatan moral, berkonotasi “positif” bukan netral. Sedangkan karakter
menurut kamus besar bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Untuk
melakukan kajian tentang pendidikan karakter adalah penting bagi kita untuk
terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan karakter. Watak atau karakter (character) adalah suatu konsep yang
merupakan subjek dari berbagai disiplin, mulai dari filsafat hingga ke teologi,
dari psikologi hingga ke sosiologi (http://en.wikipedia.org). Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bila istilah karakter didefinisikan secara beragam sesuai
dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing disiplin. Kadang-kadang,
istilah karakter dipahami secara keliru. Misalnya,seseorang dipandang memiliki
karakter atau tidak memiliki karakter; atau karakter disamakan dengan
kepribadian (personality). (Soelehudin, 2010).
Sejalan
dengan pengertian karakter di atas, istilah karakter sering digunakan
dengan
merujuk pada seberapa baik seseorang (how ‘good’ a person is) (http:// en.wikipedia.org).
Dengan kata lain, seseorang yang menunjukkan kualitas pribadi yang cocok dengan
yang diinginkan oleh masyarakat bisa dianggap memiliki karakter yang baik.
Sebaliknya, bila seseorang menujukkan kualitas pribadi yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan, maka ia dipandang memiliki karakter yang jelek.
Karakter juga sering diasosiasikan dengan
istilah apa yang disebut dengan temperamen yang lebih penekanan pada definisi
psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter yang dikeluarkan
oleh Character Counts Coalition ( a
project of The Joseph Institute of
Ethics) adalah sebagai berikut: a.Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat
seseorang menjadi: berintegritas, jujur, dan loyal b.Fairness, bentuk karakter
yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan
orang lain. c.Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap
peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan
sekitar. d.Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai
dan menghormati orang lain. e. Citizenship, bentuk karakter yang membuat
seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam. f. Responsibility,
bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu
melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Karakter 6 pilar ini dicetuskan oleh
sekelompok guru, ahli etika, dan orang terdidik lain yang mengadakan pertemuan
di Aspen Colorado. Gagasan six pillars ini diinspirasi dari buku Thomas
Lickona, Education for Character. 1991. Ratna Megawangi (2008) menyebut
sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang perlu ditanamkan
kepada anak sejak dini usia prasekolah. Pertama, karakter cinta Tuhan dan
segenap ciptaaan-Nya; Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga,
kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan,
suka tolong- menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan
pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah
hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatu
Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan
karakter memiliki peran yang sangat penting karena perubahan perilaku peserta
didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentukan oleh
factor lingkungan (Anonim,2010). Pembentukan karakter melalui rekayasa fackor
lingkungan dapat dilakukan melalui strategi (1) keteladanan, (2) intervensi,
(3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten dan (4) Penguatan. Dengan kata
lain perkembangan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang
ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan
terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan
penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
2. Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter sesungguhnya sudah sejak lama diselenggarakan di Indonesia,mungkin
sejak kegiatan pendidikan itu diselenggarakan. Meskipun tidak disebut sebagai
pendidikan karakter, tetapi program-program pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan agama, atau program pengembangan diri sesungguhnya
merupakan pendidikan karakter atau sekurang-kurangnya terkait dengan upaya
pembentukan karakater anak. Jadi, sesungguhnya kita tidak pernah berhenti menyelenggarakan
pendidikan karakter, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan formal. Tapi,
mengapa program-program pendidikan karakter yang selama ini kita lakukan
seperti tidak memberikan dampak positif yang berarti bagi pembangunan dan pengembangan
karakter anak-anak didik kita?. (Soulehudin, 2010). Pendidikan ini
berkembang karena para pakar pendidikan di Indonesia mengakui bahwa sistem
pendidikan yang telah ada, khususnya dalam bidang kepribadian (karakter) telah
gagal dilakukan. Gagalnya pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia yang
kurang berkarakter masih. Tetapi kegagalan ini setidaknya diperkuat oleh
pendapat I Ketut Sumarta, seorang yang telah lama bergelut dalam dunia
pendidikan. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan yang Memekarkan Rasa, ia mengatakan:
“Pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan
berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan
kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia manusia yang berotak pintar,
manusia berprestasi secara kuantitatif akademik, namun tiada berkecerdasan budi
sekaligus sangat berkegantungan, tidak merdeka mandiri.” Kutipan di atas menunjukkan
bahwa telah terjadi ketidakpuasan atau cenderung terjadinya kegagalan dalam dunia
pendidikan dalam rangka membentuk manusia dewasa dan berwatak mandiri.
Kegagalan membentuk manusia dewasa dan berwatak mandiri ini kemudian diatasi
atau diperkecil dengan melakukan program pendidikan karakter. (Supriadi, 2009).
Mungkin banyak yang bertanya-tanya
sebenarnya apa sih dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk
kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti
sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki
peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model
lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan
pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk
kegiatan belajar secara mandiri. (Anonim.2010). Beberapa penelitian bermunculan
untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting
mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang
diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut
diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri-
St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi
akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kecerdasan emosi adalah bekal
terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya
seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku yang baru terbit berjudul
Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001)
mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan
emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet
faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko
yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul,
kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di
masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20
persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah
dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak
dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat
sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia
dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi
tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja
seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan
sebagainya. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar
dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak
mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan
berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan
aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman
juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter
anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek
kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan
karakter di sekolah.
Namun masalahnya, kebijakan
pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan
hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan
pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia
dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya
sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum
pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan
merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada.
Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang
tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini
tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak
dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu
yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan
menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan
mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat
perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah,
dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU. Jadi, pendidikan karakter atau budi
pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk
meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter
adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir
besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal,
yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin
Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal
of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari
pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a
person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya
kepada masyarakat).
3.
Model Pendidikan Karakter
Aspek karakter
mencakup KAS (Knowledge, Attitude, dan Skill). Aspek tersebut dapat dicapai
melalui 2 point pokok dalam model pendidikan yaitu sterilisasi dan imunisasi.
Pada sterilisasi, anak dijauhkan dari realitas dan kita selalu
mengatakan “jangan”. Model seperti ini tidak efektif dalam pendidikan karakter
karena menjadikan anak munafik. Sedangkan pada imunisasi, anak
didekatkan kepada realitas. Anak diberikan pemahaman logis dan konsekuen.
Harapannya, anak menjadi kokoh dalam menghadapi berbagai situasi. Tahapan pembentukan
karakter yang
diharapkan tersebut.
Selain metode di atas, model yang dapat dipakai dalam pendidikan
karakter adalah: Metode pembentukan karakter: 1. Curiousity Timbulkan rasa
ingin tahu anak dengan mengajaknya melihat di sekitarnya dan ajak ia berpikir. 2.
Share Ajak anak berdiskusi dan menanyakan kepada anak jika ia berada dalam
situasi sebagai pelaku sesuai dengan apa yang dilihatnya. 3. Planning Bersama
anak merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. 4. Action Ajak anak
melakukan rencana yang telah disusun, ajari keahlian yang menunjang karakter
dan mintalah untuk melakukan suatu perbuatan sesuai kemampuannya. Selanjutnya biasakan
anak melakukan perbuatan atau pekerjaan tersebut secara konsisten. 5.
Reflection Ajak anak mengevaluasi apa
yang telah ia lakukan, berikan teladan yang baik setiap waktu
dan orang tua sekali-kali perlu terlibat dalam kegiatan anak. Kegiatan di atas
dapat diintegrasikan melalui kegiatan-kegiatan intrakurikuler maupun ekstra
kurikuler (pengembangan diri) di sekolah. (Miftahul Fuad,2010).
Kegiatan kokurikuler dan ekstrakkurikuler
akan semakin bermakna jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai yang
menarik dan bermanfaat bagi peserta didik. Masih banyak peserta didik yang
hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan kokulikuler apalagi
ekstrakurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya
membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Tidak sedikit juga kegiatan peserta
didik yang tidak mendukung peningkatan pengembangan pribadi. Contoh ;kegiatan
yang bagus seperti seminar ilmiah, namun panitianya banyak yang berkerumun
diluar ruang karena menjadi panitia logistic atau penerima tamu. Akhirnya
peserta didik yang berorganisasi menjadi panitia tidak mendapat pembelajaran
dari seminar tersebut. Jadi kegiatan yang akan mengembangkan pendidikan
karakter adalah kegiatan yang terencana, terprogram, dan tersistem. Kegiatan
Ekstrakulikuler lain yang mendukung pendidikan karakter disekolah Pramuka,
Paskibra, KIR dlsb.
Arti
penting dari pendidikan karakter
Mengoptimalkan
muatan-muatan karakter baik dan kuat (sifat, sikap, dan perilaku budi luhur,
akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu
dan bangsa nantinya. Dunia barat pun sudah sejak lama menyadari betapa ilmu
pengetahuan tanpa karakter menjadi tidak berarti. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional
Inteligence menyatakan betapa kepribadian manusia mendominasi 80 persen dari
kehidupan seseorang. Para teknokrat di dunia barat sudah sadar bahwa betapa pun
sebuah kemajuan dicapai, dapat menjadi perusak bila tidak dibekali dengan
perimbangan karakter yang di dalamnya menggabungkan kaidah-kaidah etika, moral
dan agama. Karena itu, pendidikan yang sekarang ini dijalankan oleh bangsa
Indonesia, harus dapat memberikan andil dalam pembentukan karakter bangsa, akan
lebih mudah jika pembelajaran karakter itu direvitalisasi melalui agama dan
mata pelajaran lain yang tercantum disekolah
4.
Definisi
Pengantar Penelitian
Penelitian adalah salah satu cara untuk menjawab
pertanyaan. Ketika melakukan studi
penelitian atau research study itu berarti ada
proses studi tersebut dilakukan dalam kerangka filosofi tertentu, menggunakan prosedur,
metode dan teknik yang telah diuji validitas dan keandalannya, dan dirancang
untuk objektif dan tidak bias (Kumar;2005; 6). Sementara menurut Paul Leedy,
penelitian adalah proses mengumpulkan, menganalisis, dan menerjemahkan
informasi atau data secara sistematis untuk menambah pemahaman kita terhadap
suatu fenomena tertentu yang menarik perhatian kita. Dua definisi lain dari
sumber yang berbeda dalam tulisan Kumar adalah :
1. Research
is astructured inquiry that utilises acceptable scientific methodology to solve
problems and creates new knowledge that is generally applicable (Grinnell)
2. Scientific
methods consist of systematic observation, classification and interpretation of
data. Now obviously this process is one is which nearly all people engage in
the course of their daily lives. The main difference between our day-to-day
generalisations and the conclusions usually recognised as scientific method
lies in the degree of formality, rigorousness, verifiablity and general
validity of the latter (Lundberg)
3. Research
is a systematic investigation to find answer to a problem( Burns)
Dari definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa
penelitian diawali dengan masalah atau pertanyaan yang memerlukan jawaban atau
penyelesaian dan untuk menjawabnya diperlukan langkah langkah yang sistematis
dengan tujuan yang jelas dan penelitian berada dalam kerangka ilmu tertentu. Hal
yang penting dalam penelitian adalah pengumpulan data dan interpretasi data
sehingga menghasilkan jawaban atau pengetahuan yang baru. Dengan demikian
penelitian tidak hanya :
1.
Mengumpulkan informasi tentang sesuatu atau beberapa hal. Ini namanya pencarian
informasi (information discovery)
2.
Memindahkan fakta dari satu lokasi ke
lokasi lain, dengan menghilangkan inti dari penelitian yaitu: intepretasi data.
Misalnya seorang mahasiswa membuat tulisan tentang Teknologi
Pendeteksi
Gempa Bumi yang membutuhkan sumber informasi dari berbagai macam sumber dan
format. Namun demikian karena sifatnya mengkoleksi data, informasi dari
berbagai sumber dan kemudian menyusunnya menjadi sebuah tulisan tanpa
intepretasi data, maka kegiatan yang menghasilkan tulisan ini bukanlah
penelitian.
3.
mencari informasi tertentu secara acak. Misalnya kita ingin membeli rumah,
kemudian kita mencari informasi-informasi tentang rumah-rumah yang setipe,
harga yang mendekati, lokasi yang bervariasi dan model-model yang ditawarkan
melalui brosur-brosur perumahan untuk menentukan rumah yang seperti apa yang
kita inginkan, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
4.
sekedar istilah untuk menarik perhatian.
Beberapa iklan produk menggunakan kata “penelitian” untuk menarik perhatian
konsumen dan meyakinkan konsumen bahwa produk mereka bermutu.
Jadi
penelitian adalam proses mengumpulkan, menganalisis dan interpretasi data untuk
menjawab pertanyaan. Dalam melakukan proses-proses itu, penelitian juga dalam
dilihat dari sudut pandang yang berbeda : penelitian yang aplikatif, penelitian
yang berdasarkan objek dan penelitian yang didasari pada cara penyelidikan.
Tiga hal tersebut adalah tipe penelitian yang dijelaskan lebih.
(Proboyekti,2006)
Berdasarkan hal tersebut diatas maka
pendidikan karakter yang sudah dicanang dan digalakan dapat di terpakan kedalam
mata pelajaran pengantar penelitian.
4.
SOLUSI
PERMASALAHAN
1. Pembelajaran
pengantar penelitian banyak dilakukan diluar kelas sehingga siswa lebih banyak
inspirasi dan akan tumbuh kreativitas terhadap permasalahan yang ada disekitar
lingkungan
2.
Pengantar penelitian
dijadikan pelajaran wajib disekolah karena materi yang terangkum didalamnya mencerminkan
pendidikan karakter yang terdiri dari Sembilan pilar pendidikan karakter: Pertama, karakter cinta
Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya; Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga,
kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan,
suka tolong- menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja
keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati,
dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatu dan enam model pendidikan karakter yaitu
Curiousity,share, planning, action, reflection. Dengan demikian pembelajaran
pengantar penelitian lebih dekat terhadap pembentukan karakter siswa. Apabila pembelajaran pengantar penelitian
dengan nilai-nilai seperti
disebut di atas dapat dilaksanakan maka mutu pendidikan sains akan makin baik dan secara utuh dapat membentuk lulusan yang baik
pula.
3.
Faktor guru
sebagai komponen yang penting dalam pendidikan karakter memberikan sumbangan
yang berharga bagi pembentukan karakter dan nilai-nilai kebaikan (moral) pada
siswa. Richard D.Osguthorpe (2008) melaporkan ada banyak alasan mengapa guru
harus memiliki watak (dispositions) dan karakter moral yang baik agar dapat
menjalankan tugasnya dengan baik pula. Selanjutnya dia menyarankan ruang
lingkup watak guru harus diperluas dalam kaitan dengan seluruh aktivitas kelas
dan efektivitasnya sebagai guru.
Karakter yang terbentuk dari pembelajaran pengantar penelitian
sebenarnya bersumber
dari esensi pembelajaran pengantar penelitian itu sendiri. Secara subtansi
pembelajaran pengantar penelitian memiliki dua aspek pokok
yaitu pengantar penelitian sebagai proses dan produk. Sebagai
proses pembelajaran pengantar penelitian dilaksanakan melalui pendekatan yang mengarahkan siswa berperan seolah seorang ilmuwan
yang berupaya memecahkan masalah. Pendekatan untuk
membelajarkan siswa dalam proses penelitian dikenal
sebagai pendekatan ketrampilan proses dengan berbagai
jenis metode aplikasinya. Ada substanstif ketrampilan proses
tingkat dasar mencakup : (1) Observation, (2) Communication, (3) Classification, (4) Measurement, (5) Inference, dan (6)prediction Sedangkan ketrampilan
proses tingkat lanjut antara lain : (1) Merencanakan eksperimen, (2) Menyusun
hipotesis, dan (3) Membuat kesimpulan. Ketrampilan-ketrampilan tersebut tentu
harus ditampakan dalam pembelajaran penelitian. Untuk dapat melaksanakan
ketrampilan-ketrampilan tersebut dengan benar, terutama dalam kerja kelompok,
diperlukan beberapa syarat antara lain : kedisiplinan, kecermatan, ketelitian,
tanggung jawab dan kerja sama. Hal-hal yang terakhir disebut merupakan
komponen- komponen yang dapat membentuk karakter siswa. Dengan demikian pembelajaran
pengantar penelitian memang dianggap berpoetnsi kuat dalam pembentukan karakter
siswa. Sehingga dapat dimasukan sebagai kurikulum wajib.
4.
Membuat kontrak dengan orang tua siswa
Dewasa ini antara guru dan siswa jarang
mengadakan kontrak kerja dengan siswa dalam hal program pembuatan perangkat
belajar dikelas yang ada hubungan erat dengan siswa. Hal demikian tidak
dilakukan karena budaya siswa yang menerima apa adanya dari guru. Dengan
demikian peran serta orang tua dan masyarakat sangat penting dalam kontrak
belajar untuk menentukan perangkat pembelajaran. Jika berhasil maka kontrak
kerja menjadi kesepakatan bersama antara guru orang tua dan masyarakat.
Dalam
gagasan ini penulis secara singkat mensyaratkan enam hal agar sebuah kontrak
belajar yang melibatkan peran serta masyarakat dapat memberi hasil yang
maksimal, yaitu : (1) tujuan, berupa produk pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
apa yang akan diperoleh, (2) bagaimana cara mencapai tujuan, (3) syarat-syarat
apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan, termasuk kebutuhan sarana/prasarana,
dan aktivitas guru, siswa dan orangtua/masyarakat yang diperlukan, (4) kapan
hasil tujuan dapat dicapai, (5) Apa bukti pencapaian tujuan dan bagaimana
membuktikannya, (6) Apa bentuk aktivitas yang dapat dilakukan masyarakat untuk
mengontrol dan mendorong pencapaian tujuan belajar
Dalam pelaksanaan
kontrak pembelajaran ini diharapkan dapat tercapai dalam tiga tahapan. Tahap pertama guru
bersama dengan koleganya menyusun Program Semester dan
draft rencana pembelajaran, berupa Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) untuk satu semester. Tahap kedua
adalah mengkomunikasikan dan menegosiasikan bersama orang
tua (komite sekolah), dan kemudian orang tua melakukan pembahasan
RPP yang dibuat guru dengan mediasi ahli pendidikan. Pembahasan
RPP difokuskan pada indikator dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh siswa. Tahap ketiga dilakukan kontrak mencakup enam
hal seperti disebut di atas dengan menggunakan format
instrument yang telah disiapkan. Tahap keempat yaitu
monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembelajaran sesuai
dengan kontrak yang dibuat guru. Untuk melaksanakan
tahap terakhir ini dibuat satu program monitoring dan evaluasi
secara terjadwal selama satu semester. Aspek yang dimonitoring adalah apakah unsur-unsur yang direncanakan dalam kontrak berjalan. sesuai
dengan jadwal yang ditetapkan dan mencapai tujuan yang diinginkan. Bila
terdapat kendala karena suatu alasan kontrak tidak berjalan sesuai rencana,
maka dilakukan negosiasi lagi sehingga ditemukan jalan tengah yang disepakati
kedua pihak. Selama tahap monitoring dan evaluasi peran orang tua/masyarakat
tidak boleh mengintervensi hak-hak guru dalam mengelola pembelajaran asal tetap
sesuai dengan kontrak. Tahapan pelaksanaan kontrak pembelajaran dan instrument
monitoring
5.
Menurut Lickona dkk
(2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1)
kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai
fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang
mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang
komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan
komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk
melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan
menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan
membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8)
libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi
tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai
inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan
dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan
karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah
sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang
baik. Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika
inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan
PENUTUP
1.
Sebagai sebuah gagasan baru tentu model kontrak
pembelajaran ini masih harus banyak ditelaah baik dari aspek teoritik maupun
aspek teknis aplikasinya. Namun diyakini bahwa dengan pelibatan peran
masyarakat secara maksimal maka pencapaian tujuan-tujuan pendidikan akan dapat
diperoleh secara maksimal pula. Guru (sekolah) dan masyarakat (orang tua) akan
merasa memiliki kepentingan yang besar dalam mempersiapkan generasi penerus
yang lebih siap secara pengetahuan, ketrampilan dan mental untuk menghadapi era
persaingan.
2. Perilaku
masyarakat, termasuk remaja dan anak-anak, yang sudah sangat engkhawatirkan sekarang perlu mendapat
perhatian serius dari semua pihak, khususnya
dari pemerintah dan warga masyarakat pendidikan. Kondisi demikian,
salah satunya, mengimplikasikan perlunya perombakan
dalam pendekatan dan cara
pendidikan karakter secara mendasar. Cara-cara
pendidikan karakter yang selama
ini dilakukan, baik di rumah maupun di sekolah,
tampaknya sudah tidak berdaya lagi dalam membentengi anak dari pengaruh negatif
arus kehidupan yang berjangkit di era globalisasi dan desentralisasi sekarang
ini. Rumah dan sekolah perlu memperbaiki cara-cara pendidikan karakter yang
selama ini diterapkan dengan cara-cara yang lebih tepat, di samping mereka juga
perlu melengkapinya dengan cara-cara dan pendekatan pendekatan lainnya secara
lebih menyeluruh. Secara lebih operasional, akhirnya sekolah dan rumah
direkomendasikan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan berikut dalam pendidikan
karakter.
1. Dengan segala keterbatasan yang ada, setiap rumah
perlu mengupayakan terciptanya rumah sebagai laboratorium kehidupan yang
memungkinkan tumbuh
dan terbentuknya karakter anak yang baik. Para orang
tua perlu meningkatkan
pengetahuan dan cara pendidikan mereka sehingga
dapat menciptakan interaksi
pendidikan yang lebih berkualitas dengan anaknya. Di
rumah perlu ada struktur
dan aturan berperilaku yang manusiawi, jelas, dan
ditegakkan oleh setiap anggota
keluarga. Bahkan orang tua dituntut untuk memainkan
peran sebagai model dalam
menerapkan aturan-aturan tersebut.
2. Sekolah-sekolah yang selama ini lebih terbatas
menerapkan pendekatan Pengajaran Eksplisit tentang Karakter dan Nilai dalam
pendidikan karakakter perlu
memperbaiki penerapan pendekatan tersebut, alih-alih
menambah pelajaran baru,
di samping melengkapinya dengan
pendekatan-pendekatan lain yang lebih tepat.
Bila memungkinkan, dan mengapa tidak, sekolah bisa
menerapkan pendekatan
Smorgasbord dan Holistik sehingga peran sekolah (seperti
halnya juga rumah)
sebagai laboratorium kehidupan yang memfasilitasi
pembentukan karakter anak
dapat terpenuhi.
3. Sekolah dan rumah tidak boleh jalan
sendiri-sendiri, apalagi saling bertentangan.
3.
Mereka perlu berada
dalam suatu sinergi melalui jalinan komunikasi dan kolaborasi yang harmonis.
Sekolah perlu merancang berbagai program yang mengundang dan mengkondisikan
orang tua terlibat aktif dalam mendukung program-program sekolah. Sekolah juga
perlu menyelenggarakan layanan konsultasi yang dapat meningkatkan dan
meperbaiki wawasan pengetahuan dan perlakuan pendidikan orang tua. Sebaliknya,
orang tua juga perlu mendukung program-program sekolah, di samping memberikan
balikan-balikan untuk perbaikan program sekolah.
No comments:
Post a Comment