BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu
tujuan pembelajaran kimia baik di tingkat SLTA maupun di Perguruan Tinggi adalah
agar peserta
didik menguasai konsep-konsep dalam ilmu kimia dengan benar. Hal ini penting
untuk keberlanjutan pembelajaran kimia karena konsep yang saling berkaitan satu dengan konsep yang lain. Peserta didik hanya dapat
memahami suatu konsep dengan benar jika konsep yang mendasari sebelumnya atau prasyarat telah dikuasai
dengan benar pula. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh para
ahli pendidikan dari berbagai aliran bahwa hal terpenting yang dibawa ke ruang
kelas oleh setiap peserta didik sebelum memulai pelajaran adalah konsep-konsep yang telah mereka miliki
dan kuasai sebelumnya (Griffith & Preston, 1992). Itulah sebabnya kajian
tentang pemahaman konsep merupakan salah satu topik penelitian yang menarik, apalagi
jika menyangkut konsep-konsep abstrak seperti
yang banyak ditemui dalam kimia.
Ilmu kimia mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi berkaitan dengan konsep-konsep
dalam kimia bersifat abstrak, merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya,
dan sifatnya berurutan. Kesulitan dalam memahami konsep-konsep dalam materi
kimia dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pemahaman. Pemahaman salah yang
terjadi secara konsisten disebut dengan kesalahan konsep (miskonsepsi). Upaya untuk memperbaiki kesalahan konsep dapat dilakukan melalui beberapa
tahap berikut yaitu upaya menganalisis dan mengidentifikasi miskonsepsi yang
terjadi pada peserta didik, kemudian ditindaklanjuti dengan pembelajaran menggunakan
pendekatan konflik kognitif dan atau pendekatan mikroskopis.
Beberapa masalah pendidikan dapat menyebabkan
terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, misalnya kurikulum, lembaga
penyelenggara pendidikannya atau sekolah, guru, proses pembelajaran, sumber
belajar, serta peserta didik itu sendiri. Keenam subyek atau sistem dalam dunia
pendidikan, khususnya pendidikan kimia perlu diperhatikan melalui penelitian,
pembentukan dan penetapan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia.
Upaya menganalisis miskonsepsi yang ditinjau dari
kesalahan interpretasi peserta didik terhadap konsep-konsep kimia yaitu mengidentifikasi
kesalahan konsep, sumber
penyebab terjadinya kesalahan konsep,
dan persistensi kesalahan konsep.
Tahapan tersebut sebenarnya harus mendapat perhatian lebih melalui
penelitian-penelitian pendidikan, baik upaya analisis miskonsepsi maupun tahap
perbaikannya agar pembelajaran kimia berhasil secara berarti di masa kini dan
di masa yang datang.
B.
Rumusan Masalah
Miskonsepsi dalam pembelajaran kimia sudah menjadi perhatian
penelitian pendidikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
- Apa saja
sumber masalah miskonsepsi dalam pendidikan kimia SMA?
- Bagaimana
kemampuan instrumen-instrumen untuk analisis miskonsepsi pada peserta
didik dalam pembelajaran kimia?
- Bagaimana
mengoptimalkan keefektifan pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran
kimia untuk mengatasi miskonsepsi pada peserta didik?
C.
Tujuan Penelitian
Hasil yang diharapkan dari pembahasan masalah di atas, yaitu untuk
mengetahui:
1.
Sumber masalah miskonsepsi
dalam pendidikan kimia SMA.
2.
Kemampuan instrumen-instrumen
untuk analisis miskonsepsi pada peserta didik dalam pembelajaran kimia.
3.
Mengoptimalkan pendekatan
konflik kognitif dalam pembelajaran kimia untuk mengatasi miskonsepsi pada
peserta didik.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Masalah Pendidikan yang Menyebabkan Miskonsepsi dalam
Pembelajaran Kimia
Keenam masalah pendidikan kimia yang dapat menyebabkan terjadinya
miskonsepsi pada peserta didik, misalnya (1) kurikulum yang kurang dinamis, (2)
sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal yang belum mampu
mendukung pembelajaran kimia, (3) Guru yang belum mampu menguasai konsep kimia
dengan benar, (4) Dalam proses pembelajaran kimia, model pembelajaran yang
digunakan tidak tepat, (5) sumber belajar yang tidak tepat dan (6) peserta
didik yang salah menginterpretasi konsep-konsep kimia tersebut.
1.
Kurikulum
Setiap kurikulum harus didasarkan pada prinsip yang terbaik (excellence)
agar setiap siswa dapat mencapai yang terbaik bagi diri dan lingkungannya, maka
kurikulum harus senantiasa diperbaiki sesuai dengan kemampuan anak dan
perkembangan global. Kurikulum yang diimplementasikan di Indonesia telah
mengalami berbagai perubahan, di antaranya perubahan kurikulum 1994 menjadi
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan dewasa ini pemerintah telah menerapkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan
ciri khas satuan pendidikan. Dua hal yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu prinsip pengembangan kurikulum
dan struktur kurikulum. Struktur kurikulum merupakan
pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam
kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran
pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai
peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur
kurikulum. Miskonsepsi dalam mata pelajaran kimia dapat terjadi jika hirarki
materi kimia yang diajarkan tidak berurutan karena keberhasilan pembelajaran
juga tergantung pada penguasaan konsep materi sebelumnya. Miskonsepsi dalam
mata pelajaran kimia dapat juga terjadi jika muatan kurikulum antara mata
pelajaran yang saling berhubungan pada setiap satuan pendidikan tidak ditata dengan
baik, misalnya matematika, biologi, dan fisika.
KTSP merupakan kurikulum yang sudah baik dengan memberi otonomisasi
kepada tingkat satuan pendidikan untuk mengatur kurikulum, maka pemerintah
daerah bersama sekolah, guru dan peserta didik dapat memberi kontribusi dalam
pengembangan kurikulum. Walaupun demikian, Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) dalam KTSP masih ada yang belum disusun secara hirarki
serta SK dan KD antara mata pelajaran yang saling berhubungan apalagi dalam IPA
terpadu harus ditata agar saling mendukung.
Kerangka dasar dan struktur kurikulum serta kurikulum tingkat satuan
pendidikan baik hirarki materi pelajaran maupun tatanan materi antar mata
pelajaran harus terus mengalami evaluasi dan perubahan untuk menghindari
miskonsepsi yang berasal dari kurikulum, dengan kata lain kurikulum harus dinamis
karena kurikulum yang statis tidak mampu menata hirarki pendidikan kimia di SMP
maupun di SMA dan tidak memperhatikan ketimpangan materi antar mata pelajaran.
2.
Lembaga Penyelenggara Pendidikan Formal
Sekolah merupakan satuan pendidikan sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan formal yang memberdayakan subyek, sistem, serta sarana dan prasarana
untuk kelancaran proses pembelajaran sehingga tercapai mutu pendidikan yang
baik. Seorang ahli ekonomi pendidikan Henry M Levin yang mempelajari faktor
yang mempengaruhi mutu pendidikan sampai kepada paradigma bahwa mutu pendidikan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang dialami peserta didik,
sedangkan proses pendidikan dipengaruhi oleh kondisi dari ketersediaan sumber daya pendidikan termasuk
di dalamnya tenaga pendidik, sedangkan ketersediaan sumber daya pendidikan
dipengaruhi oleh anggaran pendidikan, sedangkan anggaran pendidikan dipengaruhi oleh kebijaksanaan yang merupakan hasil proses politik[1].
Hal tersebut menggambarkan sekuensial dari faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu pendidikan, jelaslah bahwa tidak mungkin kita mengharapkan
meningkatnya mutu pendidikan bila kualitas proses pendidikan tidak
ditingkatkan. Kualitas proses pendidikan tidak akan mungkin diperoleh, meliputi
sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, dan manajemen pendidikan tidak dipenuhi
dan ditingkatkan kualitasnya. Hal yang terakhir ini tidak mungkin dapat
ditingkatkan kualitasnya bila tidak dipenuhi keperluan anggarannya. Pada saat
ini, lembaga penyelenggara pendidikan atau sekolah memiliki otonomi atas
faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan bahkan sampai pada tingkat
kebijakan, maka sekolah seharusnya memaksimalkan pemberdayaan faktor-faktor
tersebut, misalnya team teaching dibentuk untuk pembelajaran IPA Terpadu atau
pembelajaran tematik, sehingga peserta didik dapat mempelajari secara utuh pada
bidang studi kimia, fisika, dan biologi dalam pembelajaran IPA Terpadu
tersebut.
3.
Tenaga Pendidik
Sejak tahun tujuh puluhan terjadi perubahan
paradigma dalam pendidikan yang mempengaruhi pandangan terhadap pendidik dan
peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Mengajar tidak lagi dimaknakan
sebagai yang dahulu dipahami sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan,
menyuapkan ilmu pengetahuan kepada siswa. Mengajar dalam pengertian baru
menjadi guru pembelajar (bukan guru pengajar), membantu siswa belajar untuk
belajar, membimbing siswa sampai ke penyadaran akan pemelajaran sepanjang
hayat. Guru tidak lagi menempatkan diri berperan sebagai satu-satunya model
bagi pemelajaran bahasa dan satu-satunya yang mampu menemukan dan membetulkan
kesalahan siswa. Guru berperanan lebih sebagai konselor, fasilitator, kolaborator,
dan pelatih strategi belajar bagi siswa.
Kompetensi merupakan satu kesatuan yang utuh yang menggambarkan potensi,
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dinilai, yang terkait dengan profesi
tertentu berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat diaktualisasikan dan
diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi tertentu[2].
Sedangkan bertolak dari UU No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, setiap guru
harus menguasai serangkaian kompetensi.
Dalam makalah ini, kompetensi guru dibatasi hanya dua kompetensi
saja, yaitu kompetensi pedagogi dan profesional. Kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran
siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, sedangkan kompetensi profesional, adalah penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing siswa untuk
memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Dengan demikian, peranan guru agar tidak terjadi miskonsepsi sangat besar,
yaitu mulai dari memahami siswa hingga evaluasi pembelajaran dapat membantu
peserta didik agar tidak mengalami miskonsepsi, dan yang terutama guru
menguasai materi kimia sehingga gurunya sendiri tidak mengalami miskonsepsi dan
dapat membimbing peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan.
4.
Proses Pendidikan/Pembelajaran
Mutu pendidikan tergantung dari mutu proses pendidikan dan proses
pendidikan tergantung dari kualitas dan ketersediaan sumberdaya pendidikan,
agar mutu pendidikan meningkat tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan
kualitas proses pendidikan. Tetapi kita masih menemukan proses belajar yang
masih tradisional dalam bentuk mendengar, mencatat, menghafal. Praktek itu
diperkuat dengan diterapkannya sistem Ujian Nasional yang dalam dirinya
bertentangan dengan prinsip pendidikan demokrasi yang dianut UU No. 20 Tahun
2003, karena hakekat pendidikan demokrasi di samping tidak diskriminatif juga mengutamakan
upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya[3].
Proses pendidikan yang mengutamakan pengembangan potensi peserta
didik seoptimal mungkin harus menerapkan empat pilar belajar yang diajukan oleh
komisi internasional UNESCO yaitu (1) learning to know; (2) learning
to do; (3) learning to live together; dan (4) learning to be.
Penerapan keempat pilar tersebut dalam proses pembelajaran kimia dapat berarti
sehingga tidak terjadi miskonsepsi karena peserta didik dapat mempelajari
konsep kimia secara utuh sehingga tidak terjadi miskonsepsi, misalnya
pembelajaran yang disertai demonstrasi reaksi-reaksi kimia atau bahkan
praktikum sehingga peserta didik dapat mengalami sendiri dan menarik pelajaran
dari pengalamannya itu.
5.
Sumber Belajar
Pengembangan buku teks pelajaran sebagai salah satu sumber belajar
harus selaras dengan perubahan paradigma terhadap pendidikan, yaitu perubahan
kedudukan peserta didik dalam proses belajar dan membelajarkan. Peserta didik
menjadi subjek dan pusat perhatian dalam merancang serta melaksanakan
pembelajaran. Pendidik berperan lebih sebagai perancang, pengelola,
fasilitator, tutor, dan mentor. Peranan buku teks pelajaran sebagai salah satu
sumber belajar berkaitan dengan usaha memberikan kecakapan belajar agar mampu
belajar sepanjang hayat, maka diangap perlu menyusun buku teks pelajaran yang
dapat dijadikan acuan dalam mewujudkan pembelajaran yang aktif, kreatif,
inovatif, efektif, dan menyenangkan. Isi buku pelajaran dianggap perlu
dikembangkan dengan mendayagunakan berbagai sumber belajar di lingkungan
peserta didik. Ciri itu perlu dilihat pada materi, metode pembelajaran dalam
mengembangkan bahan ajar, bahasa, ilustrasi dan grafika buku teks pelajaran[4].
Muatan, bahasa, dan ilustrasi dalam buku teks pelajaran yang kurang baik akan
mempengaruhi interpretasi peserta didik pada saat mempelajarinya.
Pada saat ini, isi dalam buku teks pelajaran kimia masih sering
ditemukan kesalahan konsep sehingga jika peserta didik belajar tanpa bimbingan
dapat mengalami kesalahan konsep. Dengan demikian, dalam pembelajaran kimia
sebaiknya menggunakan lebih dari satu sumber belajar atau misalnya menggunakan
buku teks berbasis aneka sumber.
6.
Peserta Didik
Dhamas Mega Amarlita (2010) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa terjadinya miskonsepsi materi laju reaksi pada
peserta didik kurang lengkapnya penjelasan dan tidak akuratnya pemahaman guru
tentang materi tersebut[5]. Hal tersebut dapat
terjadi karena peserta didik tidak dibimbing mempelajarinya dari sumber belajar
yang lain, misalnya melalui praktikum, sumber bacaan lain, dan atau internet.
Penyebab lain terjadinya
miskonsepsi dapat juga dari pengetahuan kimia terdahulu peserta didik belum
matang yang merupakan dasar pembelajaran kimia yang dilaksanakan, atau
kesalahan peserta didik menginterpretasikan pelajaran kimia dari sumber-sumber
belajar yang dipelajarinya.
B.
Kemampuan/Keefektivan Instrumen untuk Analisis Miskonsepsi pada
Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Kimia
Dr. Das Salirawati, M.Si. menegaskan bahwa produk
Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) dapat diterapkan setelah materi
pokok kesetimbangan kimia diajarkan, sehingga jika terjadi miskonsepsi dapat
segera terdeteksi dan dicari pemecahannya. Dalam penelitiannya, hasil uji
fisibilitas menunjukkan para guru kimia SMA tidak mengalami kesulitan dalam
menerapkan IPMK dan menganalisisnya[6].
Beberapa instrumen untuk mendeteksi dan menganalisis miskonsepsi
kimia sudah diciptakan untuk setiap SK dan KD pelajaran kimia, baik yang berupa
perangkat wawancara, tes soal dan beberapa di antaranya sudah merupakan produk
penelitian yang dapat digunakan pembelajaran kimia atau penelitian pembelajaran
kimia yang lain.
Setiap penelitian tentang analisis miskonsepsi menggunakan instrumen
soal tes dengan jumlah soal yang banyak sehingga mungkin cukup banyak
menggunakan waktu pembelajaran di kelas. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan
karena jika pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang menggunakan waktu
yang banyak, maka proses pembelajaran tersebut tidak dapat dilaksanakan sampai
tuntas. Dasar ini dapat dijadikan untuk penelitian di masa yang akan datang,
yaitu pembuatan produk instrumen analisis miskonsepsi berupa tes soal yang
disesuaikan jumlah indikator kompetensi dasar yang akan dicapai, harapannya
akan tersedia waktu untuk melaksanakan berbagai model pembelajaran yang
menggunakan waktu yang banyak.
C.
Kemampuan/Keefektivan Pendekatan Konflik Kognitif untuk Memperbaiki
Miskonsepsi pada Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Kimia
Konflik kognitif merupakan salah satu metode
pembelajaran yang sangat efektif dibangun, mengembangkan dan kemudian mengelola
konflik kognitif dalam pembelajaran. Hampir semua media massa dapat eksis
karena metode dan strategi konflik. Konsep penggunaan metode ini yaitu orang
atau siswa akan dibenturkan/dikondisikan dalam konflik dua atau lebih
pilihan/kondisi yang menuntut untuk diketahui. Dengan demikian, situasi dan
kondisi ini akan meningkatkan courious/rasa
ingin tahu siswa, oleh karenanya mereka akan lebih aktif dalam pembelajaran.
Penelitian dan atau pembelajaran dengan pendekatan
konflik kognitif harus melalui 4 langkah kegiatan, yaitu:
(1) pre tes dilanjutkan dengan wawancara, (2) pembelajaran
strategi konflik kognitif, (3) pos tes dan wawancara, (4) tes persistensi yang
dilakukan setelah selang waktu dua minggu. Keempat langkah tersebut
dilaksanakan agar evaluasi terhadap pendekatan konflik kognitif dapat
memperoleh hasil yang berarti.
Peneliti yang menggunakan pendekatan konflik
kognitif dalam upaya mengatasi miskonsepsi sebenarnya dapat memperkaya
strateginya, selain dengan menggunakan LKS/LKM, maka peneliti dapat melalui
analog, contoh-contoh tandingan (counter
example), demonstrasi dan eksperimen.
BAB
III
P
E N U T U P
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:
1.
Sumber
miskonsepsi pendidikan kimia SMA pada peserta didik dapat berasal dari berbagai
komponen sistem dan subyek pendidikan kimia, sehingga komponen-komponen
tersebut seharusnya diberdayakan seoptimal mungkin dan dijaga keseimbangan
proporsi fungsinya masing-masing, yaitu:
a.
Kurikulum disusun
secara hirarki dalam satu bidang studi dan kurikulum antar bidang studi yang
saling mendukung.
b.
Sekolah yang
memaksimalkan pemberdayaan faktor-faktor yang mutu pendidikan.
c.
Guru sebagai
tenaga pendidik yang memahami peserta didik sampai kepada evaluasi pembelajaran
kimia dan guru yang menguasai materi kimia sehingga gurunya sendiri tidak dapat
mengalami miskonsepi dan dapat membimbing peserta didik mencapai kompetensi
yang ditetapkan.
d.
Proses
pendidikan yang mengutamakan pengembangan potensi peserta didik seoptimal
mungkin harus menerapkan empat pilar belajar yang diajukan oleh komisi
internasional UNESCO yaitu (1) learning to know; (2) learning to do;
(3) learning to live together; dan (4) learning to be.
e.
Sumber belajar
yang digunakan dalam pembelajaran kimia sebaiknya lebih dari satu sumber atau
misalnya menggunakan buku teks berbasis aneka sumber, sehingga tidak terjadi
miskonsepsi jika peserta didik belajar tanpa bimbingan.
f.
Peserta didik
harus menguasai konsep-konsep kimia sebelumnya sehingga tidak salah
menginterpretasikan pelajaran kimia dari sumber-sumber belajar yang
dipelajarinya.
2.
Instrumen
pendeteksi miskonsep kimia yang berupa tes soal yang diciptakan dari penelitian
analisis miskonsepsi sudah dapat digunakan dalam pembelajaran kimia atau
penelitian pembelajaran kimia.
3.
Pendekatan
konflik kognitif dapat mengatasi miskonsepsi kimia SMA dan dapat dioptimalkan
keefektifannya dengan memperkaya strategi yang digunakan, misalnya penggunaan
LKS, analog, contoh-contoh tandingan (counter
example), demonstrasi dan eksperimen.
B. Saran
Saran yang dapat dimunculkan dari penulisan ini adalah:
1.
KKG (untuk SD
pada mata pelajaran lain) atau MGMP dapat meneliti dan menciptakan kurikulum
(kimia) untuk tingkat satuan pendidikan disusun secara hirarki dan saling
mendukung antar bidang studi.
2.
Penelitian
analisis miskonsepsi yang akan datang dapat menciptakan instrumen tes soal yang
dapat diujikan untuk beberapa pertemuan untuk beberapa kompetensi dasar.
3.
Penelitian
pendekatan konflik kognitif yang akan datang dapat menggunakan berbagai
strategi, misalnya penggunaan LKS, analog, contoh-contoh tandingan (counter example), demonstrasi dan
eksperimen.
DAFTAR
PUSTAKA
--------- UU no. 20 Tahun 2003
--------- PP No. 19 Tahun 2005
--------- IPMK
Deteksi Miskonsepsi Pembelajaran Kimia. Kedaulatan Rakyat http://www.kr.co.id/web///detail.php?sid=238620&actmenu=43,
diunduh pada tanggal 4 Maret 2015
Amarlita, Dhamas
Mega. 2010. Identifikasi Kesalahan Konsep Materi Laju Reaksi pada Siswa
Kelas XI SMA Negeri 1 Pagak dan Perbaikannya dengan Menggunakan Strategi
Konflik Kognitif. Tesis, Program Studi Pendidikan Kimia. Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.
Miarso, Yusufhadi. (2008).
Peningkatan kualifikasi guru dalam perspektif teknologi pendidikan. Jurnal
Pendidikan Penabur No. 10. Tahun Ke-7. Juni 2008, Diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2015.
Sitepu, B.P.
(2008). Buku Teks Pelajaran Berbasis Aneka Sumber. Jurnal Pendidikan Penabur
No. 10, Tahun Ke-7, Juni 2008. diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2015.
Soedijarto. (2011). Tercapainya tujuan pendidikan nasional sebagai ukuran
bagi pendidikan yang bermutu dan implikasinya. Jurnal Pendidikan Penabur No.
11. Tahun Ke-7. Desember 2008. Diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2015.
[1] Soedijarto. (2011). Tercapainya tujuan pendidikan nasional sebagai
ukuran bagi pendidikan yang bermutu dan implikasinya. Jurnal Pendidikan Penabur No. 11. Tahun Ke-7. Desember 2008. Diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2011.
[2] Miarso,
Yusufhadi. (2008). Peningkatan kualifikasi guru dalam perspektif teknologi
pendidikan. Jurnal
Pendidikan Penabur No. 10. Tahun Ke-7. Juni 2008, Diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2011.
[3] Soedijarto.
(2011). Tercapainya tujuan pendidikan nasional sebagai ukuran bagi pendidikan
yang bermutu dan implikasinya. Jurnal Pendidikan Penabur No. 11. Tahun Ke-7.
Desember 2008. Diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2011.
[4] B.P. Sitepu, (2008), Buku Teks Pelajaran Berbasis Aneka Sumber,
Jurnal Pendidikan Penabur No. 10, Tahun Ke-7, Juni 2008, diunduh dari http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal?page=1
pada tanggal 4 Maret 2011.
[5] Amarlita, Dhamas Mega. 2010. Identifikasi Kesalahan Konsep
Materi Laju Reaksi pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Pagak dan Perbaikannya
dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif. Tesis, Program Studi
Pendidikan Kimia. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.
[6]Kedaulatan
Rakyat, IPMK Deteksi Miskonsepsi Pembelajaran Kimia, http://www.kr.co.id/web///detail.php?sid=238620&actmenu=43, diunduh pada 5/20/2011 8:45 AM
No comments:
Post a Comment