BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
sebagai suatu sistem pencerdasan anak bangsa, dewasa ini dihadapkan pada
berbagai persoalan, baik ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Pada arus
global, kita sementara berhadapan dengan tantangan globalisasi, peniadaan
sekat-sekat ideologis politik, budaya, dan sebagainya. Globalisasi berusaha
untuk menyatukan pesona peradaban dan corak budaya yang sama, ekonomi yang
sama, bahkan substansi kehidupan yang nyaris sama (Uno, Hamzah, 2008).
Dalam
perkembangan masyarakat global, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia masih
rendah. Menurut laporan Human Development
Index dari UNDP, Indonesia hanya mampu menduduki ranking 107 seperti pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1: HDI 2003-2005
Negara
|
2003
|
2004
|
2007
|
Brunei
|
33
|
34
|
30
|
Filipina
|
83
|
84
|
90
|
Indonesia
|
111
|
108
|
107
|
Jepang
|
9
|
7
|
8
|
Korea
Selatan
|
28
|
26
|
26
|
Laos
|
135
|
133
|
130
|
Malaysia
|
59
|
61
|
63
|
RRC
|
94
|
81
|
81
|
Singapura
|
25
|
25
|
25
|
Thailand
|
76
|
74
|
78
|
Vietnam
|
112
|
109
|
105
|
Sumber: UNDP 2005, 2006, 2007 (Riant Nugroho:
2008:99)
Laporan
World Competitiveness Report 2005
juga membuat kita prihatin. Peringkat daya saing Indonesia ternyata masih
rendah. Indonesia masih berada pada ranking ke-58 dari 60 negara paling
kompetitif di dunia yang disurvei. Posisi ini berada di bawah Singapura (3),
Thailand (27), Malaysia (28), Filipina (49), Hongkong (2), Taiwan (11), Jepang
(21), Korea (29), China (31), dan India (39). Bahkan, ranking kompetitif
Indonesia menurun terus sejak 2001 (46), 2002 (47), 2003 (57), 2004 (58), dan
2005 (59). Dilihat dari kinerja ekonomi, Indonesia bahkan berada pada ranking
ke-60. Untuk efisiensi bisnis, Indonesia berada pada ranking 59 (Riant Nugroho:
2008:100).
Menurut
laporan Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: yang
dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Amerika
Serikat, Senin (1/3) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan (education
development index/EDI) menurut data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai ini
menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Indonesia masih
tertinggal dari Brunei yang berada di peringkat ke-34 yang masuk kelompok
pencapaian tinggi bersama Jepang yang mencapai posisi nomor satu di dunia.
Sementara Malaysia berada di peringkat ke-65. Posisi Indonesia jauh lebih baik
dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109) (Kompas, 3 Maret
2011).
Menurut hasil survei The
Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) Hongkong menempatkan mutu
pendidikan di Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam dari 12 negara yang
disurvei. Laporan studi Bank Dunia menyatakan bahwa hasil tes membaca murid kelas
IV SD di Indonesia menempati peringkat terendah di Asia Timur. Hasil The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat menunjukkan prestasi belajar
siswa kelas II SLTP di Indonesia berada di urutan ke 32 untuk IPA dan ke 34
untuk Matematika dari 38 negara peserta studi. Penurunan kualitas pendidikan
Indonesia juga di tegaskan oleh Laporan Bank Dunia (1999), bahwa salah satu
penyebab makin menurunnya mutu pendidikan (persekolahan) di Indonesia adalah
“kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat
lapangan (http://www.stainlangsa.ac.id/jurnal/tarbawi /113-pengembangan-sdm-berkualitas-dalam-rangka-perwujudan-profesionalisme-guru-di-era-kontemporer).
Isu
aktual rendahnya mutu pendidikan Indonesia telah banyak disadari oleh berbagai
pihak, terutama oleh para pemerhati pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan
ini dapat dilihat, antara lain dari rendahnya rata-rata nilai Ujian Akhir
Nasonal (UAN) untuk semua bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat
nasional maupun daerah. Apabila diperhatikan seluruh peserta Ujian Nasional
(UN) tahun pelajaran 2007/2008 sampai 2009/2010 diperoleh hasil tentang
persentase kelulusan secara nasional untuk jenjang SMA/MA sebagai berikut (Suwarto,
2011).
Tabel
2: Persentase Kelulusan Ujian Nasional SMA/MA
3
Tahun Terakhir
Jenjang
|
Persentase
|
||
2007/2008
|
2008/2009
|
2009/2010
|
|
SMA/MA
|
97,07
|
93,19
|
66,12
|
Batas Lulus
|
5,25
|
5,50
|
5,50
|
Dengan batas minimal 5,25
pada tahun pelajaran 2007/2008 dan 5,50 pada tahun pelajaran 2008/2009 maupun
2009/2010 yang dinyatakan lulus, maka akan tampak perbedaan persentase jumlah
siswa yang lulus tiap tahun menjadi besar.
Pendidikan
adalah sarana untuk meningkatkan keunggulan sumber daya manusia untuk membangun
keunggulan kompetitif suatu bangsa. Pendidikan nasional mempunyai fungsi
mempertahankan dan mengembangkan identitas nasional, yaitu agar manusia dan
bangsa Indonesia tetap survive dalam
masyarakat global.
Kualitas pendidikan sains merupakan salah satu indikator yang sangat
penting bagi
kualitas sumber daya manusia. Sismanto (2007)menyatakan bahwa sains memiliki
peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam mengembangkan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu manusia yang memiliki
penalaran, logis, dan berinisiatif di masyarakat. Jadi, pendidikan sains dapat
dijadikan sebagai wahana dalam meningkatkan kualitas SDM. Namun, hasil-hasil
pendidikan sains di Indonesia selama ini masih belum memadai. Hal ini terbukti
dari laporan Trends In International
Mathematics and Sciences Study (TIMSS) tahun 2003 (http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=135119&lokasi=lokal)
Rendahnya mutu pendidikan sains tidak jauh berbeda
dengan isu pendidikan secara umum. Isu mutu pendidikan sain dalam era globalisasi terkait
dengan (i) kualitas guru sains dan tenaga kependidikan (kepala sekolah,
pengawas, penilik), (ii) kurikulum pengajaran sains, (iii) metode pembelajaran
sains, (iv) bahan ajar sains, (v) alat bantu pembelajaran sains, dan (vi)
manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling terkait dalam upaya meningkatkan
kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan. (http://pendidikansains.blogspot.com/2008/11/isu-pendidikan kritis.html).
Evaluasi belajar sains masih menekankan pada produk sains,
sementara dalam pengembangan sains dan teknologi di masyarakat menuntut
penguasaan keterampilan proses sains dan sikap ilmiah. Jika proses
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di sekolah tidak dapat menyesuaikan
dengan tuntutan yang dibutuhkan di masyarakat, pada akhirnya sekolah/pendidikan
tidak akan mampu mengantarkan para peserta didiknnya untuk dapat hidup dalam
masyarakat tetapi justru sebaliknya akan menyebabkan mereka terasing dari
masyarakatnya. Oleh karena itu, proses penyelenggaraan pendidikan harus
melakukan perubahan secara terus menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan yang muncul dalam kehidupan masyarakat untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia
(SDM) berkualitas.
Dua elemen yang tidak
dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan yakni lembaga pendidikan dan guru yang
memiliki pengaruh besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM)
berkualitas yang mampu berkompetisi dalam masyarakat. Guru dan anak didik
adalah memiliki hubungan erat dalam mendukung terciptanya pembangunan bangsa
yang berkelanjutan. Kebijakan yang mengharuskan para guru memperoleh
sertifikasi dan memberikan kompensasi yang memadai merupakan bentuk usaha
konkrit dalam menghasilkan para guru yang memiliki profesionalime dalam
bidangnya. Dengan lahirnya para guru yang profesionalisme pada bidangnya
diharapkan usaha dan cita-cita pada lahirnya lulusan yang memiliki SDM tinggi
adalah akan terwujud (http://www.stainlangsa.ac.id/
jurnal/tarbawi/113-pengembangan-sdm-berkualitas-dalam-rangka-perwujudan-profesionalisme-guru-di-era-kontemporer).
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah
paradigma pendidikan sains untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di era globalisasi”?
C. Tujuan
Tujuan
makalah ini adalah untuk mengetahui paradigma pendidikan sains untuk
peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di
era globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Paradigma Pendidikan Sains Untuk Peningkatan Sumber Daya
Manusia
Ada
sepuluh paradigma pendidikan yang ditawarkan untuk meningkatkan Sumber Daya
Manusia (SDM), di antaranya: (1) pendidikan sebagai proses pembelengguan atau
proses pembebasan, (2) pendidikan sebagai proses pembodohan atau proses
pencerdasan, (3) pendidikan sebagai proses perampasan hak anak-anak atau justru
menjunjung tinggi hak anak-anak, (4) pendidikan menghasilkan tindak kekerasan
atau menghasilkan tindak perdamaian, (5) pendidikan sebagai proses pengebirian
potensi manusia atau pemberdayaan potensi manusia, (6) pendidikan untuk memecah
wawasan manusia atau menyatukan wawasan manusia, (7) pendidikan sebagai wahana
disintegrasi atau justru wahana mempersatukan bangsa, (8) pendidikan menghasilkan
manusia otoriter atau menghasilkan manusia demokratis, (9) pendidikan
menghasilkan manusia apatis terhadap lingkungan atau responsive dan peduli
terhadap lingkungan, serta (10) pendidikan hanya terjadi di sekolah atau bisa
terjadi di mana-mana (Uno, Hamzah, 2008).
1.
Pendidikan Sebagai Proses
Pembebasan
Pendidikan
kita masih terkesan sebagai pendidikan yang membelenggu. Pembelengguan ini
bersumber dari ketidakjelasan visi dan misi pendidikan kita, juga adanya
praktik sentralisasi dan uniformitas, serta sistem pendidikan dengan konsep delivery system (sistem penyampaian/ pemberitaan).
Di sini terjadi praktik pendidikan yang mengalir dari atas ke bawah (top-down), yang kurang memperhatikan faktor
hak anak-anak secara demokratis dan kreatif, serta kurangnya pemberian
kesempatan kepada mereka untuk melakukan rekayasa dalam aktivitas
pendidikannya.
Sistem
pendidikan yang membelenggu ini pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang
stereotipik, penurut, tidak kreatif, bahkan memiliki ketergantungan tinggi. Hal
tersebut akan membuat mereka menjadi beban sosial, tidak mandiri, bahkan tidak
memiliki jati diri. Pendidikan demikian dapat dinyatakan sebagai sistem
pendidikan tertutup, kurang memberikan kebebasan dan pengalaman kepada para
pembelajar untuk berkreasi.
2.
Pendidikan Sebagai Proses
Pencerdasan
Banyak
pihak mengecam pendidikan kita dirasakan sebagai sebuah proses pembodohan. Hal
ini tidak hanya terbatas di sekolah saja, tetapi juga terasa sekali dalam
praktik kehidupan masyarakat. Yang menjadi masalah adalah mereka yang menjadi
penyebab kebodohan ini tidak merasakan bahwa ia telah melakukan pembodohan
kepada masyarakat. Pemutarbalikan fakta yang dilegitimasi melalui
lembaga-lembaga formal adalah contoh pembodohan masyarakat yang paling riil.
Pembodohan di sekolah terjadi dari praktik instruksional yang sama, yakni
dengan interaksi verbal vertikal.
3.
Pendidikan Menjunjung Tinggi Hak-hak
Anak
Di
Negara kita hak-hak anak terkesan dirampas. Hal ini disebabkan karena
masyarakat menjadikan sekolah sebagai panggung pentas, bukan sebagai tempat
latihan maupun laboratorium belajar.
Pembelajar di sekolah diharapkan oleh orang tuanya memperoleh ranking atas
sehingga anak dikursuskan di luar sekolah. Anak diharuskan mendapat nilai yang
baik. Mereka harus naik ke panggung pentas dengan nilai terbaik, tetapi tidak
untuk belajar dengan baik. Oleh karena itu, sistem ranking di sekolah memacu
masyarakat untuk memperoleh persepsi yang salah tentang pendidikan di sekolah.
4.
Pendidikan Menghasilkan Tindak
Perdamaian
Melihat
munculnya berbagai tawuran di antara pembelajar sekarang ini merupakan bukti
nyata bahwa pendidikan menghasilkan tindak kekerasan. Mereka tidak memiliki
pengalaman memecahkan konflik secara damai, secara kreatif. Namun sebaliknya,
setiap konflik dipecakan dengan kekerasan. Hal ini merefleksikan
pengalaman-pengalaman mereka sendiri, mulai dari kehidupan di rumah, di
sekolah, dan di masyarakat. Kemasan seni pertunjukan kita terkesan menonjolkan
kekerasan dalam setiap cara menyelesaikan konflik, seperti dalam ketoprak, sinetron,
dan lain-lain. Di dalam kehidupan keluarga, konflik suami, istri, orang tua,
anak, juga mengesankan kekerasan dalam cara penyelesaiannya. Transaksi
emosional di antara mereka sering diabaikan. Anak menjadi sasaran orang tua,
terdengar dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Di
sekolah, konflik antara guru-siswa juga sering mencuat ke permukaan, yang
menggambarkan kita tidak memperoleh pengalaman bagaimana setiap konflik itu
dapat diselesaikan dengan damai. Kejujuran sering menjadi sumber kemarahan sehingga
menipu lebih selamat daripada jujur. Anak yang belum memahami suatu pelajaran,
terlalu cepat untuk dinyatakan sebagai anak bodoh yang menjadi penyebab mereka
kehilangan jati diri.
5.
Pendidikan Sebagai Pemberdayaan
Potensi Manusia
Pendidikan
diharapkan mampu memberdayakan peserta didik menjadi manusia yang cerdas,
manusia berilmu dan berpengetahuan, serta manusia terdidik. Pemberdayaan siswa
misalnya melalaui proses belajar, proses latihan, proses memperoleh pengalaman,
atau melalui kegiatan lainnya. Melalui proses belajar mereka diharapkan
memperoleh pengalaman memecahkan masalah, pengalaman etos kerja, dan ketuntasan
bekerja dengan hasil yang baik. Melalui proses belajar, mereka juga diharapkaan
memperoleh pengalaman mengembangkan potensi mereka serta melakukan pekerjaan
dengan baik, dan mampu bekerja sama dalam kemandirian.
6.
Pendidikan Anak Berwawasan
Integratif
Bahwa
mata pelajaran masih terkesan terkotak-kotak, itulah kenyataan yang terjadi
dalam dunia pendidikan saat ini. Kurikulum belum mampu menjadikan anak memiliki
wawasan integratif. Tujuan pada setiap satuan pendidikan belum diperoleh
mereka. Ia belum menjadi manusia terdidik yang berilmu dan berpengetahuan, yang
sekaligus sebagai manusia beriman. Integrasi dari keseluruhan itu seharusnya
menjadikan pembelajar sebagai manusia yang utuh. Di mana pun, kapan pun ia
dapat menampilkan diri sebagai sosok yang menampilkan satuan psikofisik, bukan
sebagian-sebagian. Di mana pun, kapan pun, ia membawa kesatuan dari manusia
terdidik, sebagai manusia berilmu dan berpengetahuan, serta sebagai manusia
beragama. Ia tidak hanya anti terhadap orang lain yang bertindak kejahatan,
tetapi walaupun ia memiliki kesempatan untuk itu, ia tidak akan berbuat
kejahatan tersebut.
7.
Pendidikan Membangun Watak
Persatuan
Pendidikan
belum mampu menghasilkan manusia yang mampu hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan
dalam masyarakat dapat menjadi pemicu konflik, yang pemecahannya dilaksanakan
dengan kekerasan. Mereka tidak memiliki pengalaman belajar dalam kelompok
dengan partisipasi integratif, yang masing-masing dapat secara aktif memainkan
perannya dalam kelompok itu. Mereka tidak pernah mengalami dan menghadapi
perbedaan, juga belum pernah mengetahui cara menyikapi terjadinya perbedaan
itu. Seberapa jauh perbedaan itu cukup disikapi dengan toleransi, dan seberapa
jauh perbedaan itu perlu disikapi dengan diskusi, dan kapan batas diskusi
diakhiri yang penyelesaiaanya ditentukan oleh mereka sendiri, mereka tidak
memiliki pengalaman.
8.
Pendidikan mengasilkan manusia
Demokratis
Pendidikan
kita terkesan masih otoriter, baik manajemen, interaksi atau transaksi, proses,
kedudukan, maupun substansinya. Apabila kita semua menjadi pejabat, maka
seakan-akan kita telah memiliki modal benar dalam segala hal; berhak
mengoreksi, berhak memberi petunjuk, berhak menyalahkan bawahan, dan
seterusnya. Transaksi pendidikan kita masih satu arah dan vertical. Sumber
informasi masih didominasi oleh para guru. Pembelajar jarang didudukkan sebagai
sumber informasi alternatif sehingga menyebabkan tidak terjadi interaksi
horizontal.
9.
Pendidikan Menghasilkan Manusia
yang Peduli Terhadap Lingkungan
Sikap
otoriter dalam sistem pendidikan kita membuat anak menjadi manusia yang patuh.
Namun di sisi lain, sistem yang membelenggu itu pun akan berakibat anak menjadi
pemberontak. Lalu yang disalahkan adalah budi pekerti. Anak tidak terangsang
untuk peduli lingkungan, karena sumber pendidikan satu-satunya adalah teks.
Pengalaman anak yang begitu beragam dan berharga, jarang dimanfaatkan sebagai
sumber belajar. Evaluasi keberhasilan juga sangat ditentukan oleh ukuran
tekstual, bukan konseptual. Sehingga anak dijadikan sebagai korban untuk
kurikulum, bukan kurikulum untuk anak. Dapat dimaknai bahwa anak diarahkan pada
tekstual sentries, yang menjauhkan diri mereka dari keadaan nyata di
lingkungan. Inilah yang masih terjadi dalam sistem pendidikan kita.
10. Sekolah Bukan Satu-satunya Instrumen Pendidikan
Pendidikan
kita diharapkan akan semakin maju dengan diterapkan Undang-undang No.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
B.
Fungsi Guru Dalam Pembelajaran
Dalam
pembelajaran guru tidak akan dapat menjadikan siswa menjadi cerdas atau pandai,
tetapi siswa itu sendirilah yang dapat membangun dirinya sendiri untuk menjadi
manusia yang cerdas atau pandai. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, bahwa
Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri
mengubah nasibnya. Demikian pula seseorang tidak akan memperoleh sesuatu
kecuali apa yang diupayakannya (QS 53: 39). Bila siswa ingin menjadi orang
mandiri dan pandai, maka ia sendirilah yang harus aktif belajar dan berlatih
dengan fasilitas belajar yang disiapkan oleh guru (Hari Suderadjat, 2005).
Fungsi
guru adalah mempromosikan fasilitas belajar agar siswa mempunyai minat untuk
belajar hingga siswa menyadari bahwa ia telah memiliki kecakapan, baik
kecakapan proses, kecakapan akademik ataupun kecakapan kejuruan. Dengan demikian guru disebut sebagai motivator
dan fasilitator pembelajaran.
C. Pendidikan Sains Berwawasan Global
Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan Sains akan
sangat penting bagi peningkatan kesejahteraan dan kemandirian bangsa Indonesia.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi merupakan salah satu ciri utama
perkembangan global di abad 21. Siap atau tidak siap hal itu merupakan satu
realitas yang harus dihadapi dengan kualitas sumber daya manusia dengan daya
saing unggul. Menghadapi berbagai perubahan di era globalisasi diperlukan
sumber daya manusia yang memiliki kualitas keberdayaan yang lebih efektif agar
mampu mengatasi berbagai tantangan yang timbul (http://yudiarya.blogspot.com/2010/01/tantangan-perguruan-tinggi-dalam-era.html).
Pendidikan sains yang menekankan
pada penguasaan keterampilan proses dan sikap ilmiah, diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan sains. Peningkatan mutu pendidikan sains sangat
penting dalam perkembangan arus globalisasi. Era globalisasi merupakan era
informasi. Era globalisasi ditandai dengan perubahan yang sangat cepat dan
tidak dapat diramalkan serta terbukanya peluang kompetisi antar manusia.
Perubahan yang terjadi dan terbukanya peluang berkompetisi merupakan peluang
dan tantangan bagi mereka yang memiliki daya saing dan penuh prakarsa, tetapi
akan menjadi malapetaka bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan. Dalam rangka mempersiapkan anak didik kita memasuki era
globalisasi, pendidikan memegang peranan yang sangat strategis. Melalui praktik
pendidikan yang tepat, kita dapat membekali dan mengembangkan
kompetensi-kompetensi yang dipersayaratkan kepada anak didik kita sehingga
mampu berkompetisi dan dapat hidup secara layak.
Apabila kita mengamati
kenyataan yang nampak di sekitar kita, tidak dapat dpungkiri betapa kuatnya
pengaruh sains terhadap tata kehidupan manusia. Teknologi sebagai bentuk
penerapan produk sains, telah banyak memberikan perubahan baik perubahan yang
terasa bermanfaat bagi kemasalahatan kehidupan manusia maupun perubahan yang
dapat membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Apabila kehidupan manusia
dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan tentang sains, maka pengetahuan
tentang sains dari suatu bangsa akan dipengaruhi pula oleh sejauh mana
pengetahuan masyarakat dari bangsa tersebut tentang sains yang pada gilirannya
akan mempengaruhi kualitas kehidupan bangsa tersebut. Artinya, kualitas
kehidupan suatu bangsa sangat terkait dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM)
dari bangsa tersebut. Kenyataan yang kita hadapi dewasa ini dimana kita baru
saja memasuki era global menunjukkan bahwa persaingan yang terjadi bukan lagi
dalam hal penguasaan teknologi apalagi ketersediaan sumber daya alam, melainkan
persaingan dalam kualitas dan mutu SDM. Teknologi bisa dibeli tetapi jika
SDM-nya tidak menguasai teknologi tersebut maka teknologi tersebut tidak ada
artinya. Beranjak dari kenyataan tersebut, maka dalam upaya menyosong kehidupan
bangsa Indonesia yang lebih baik di era global yang penuh persaingan ini, tidak
ada pilihan lain kecuali kita harus berupaya meningkatkan kualitas SDM, yaitu
SDM yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, penuh prakarsa dan memiliki
daya saing sehingga mampu berkompetisi untuk meraih peluang dan tantangan dalam
masyarakat global. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pendidikan yang bermutu
memegang peranan yang sangat penting. Pendidikan harus mampu melahirkan
manusia-manusia yang memiliki kompetensi minimal yang dipersayaratkan untuk
dapat hidup layak di era persaingan bebas. Bagaimana pendidikan itu selayaknya
diselenggarakan? Berkaca pada pengalaman penyelenggaraan pendidikan yang
berbasis pada isi (content) sebagaimana sudah kita lakukan yang ternyata
kurang berhasil, maka seyogyanya kita harus segera melakukan perubahan.
Perubahan yang dilakukan bukan hanya sebatas pada konsep tetapi perubahan yang
menyeluruh sehingga benar-benar menyentuh sampai pada teknis penyelenggaraan
proses pembelajaran di sekolah. Perubahan itu juga harus didasarkan pada studi
yang mendalam bukan sekedar mengadopsi, agar perubahan yang dilakukan sesuai
dengan kondisi objektif di lapangan serta karakteristik sekolah dan masyarakat
Indonesia. Tuntutan kemampuan manusia yang dipersyaratkan untuk bisa
berpartisipasi dalam kancah persaingan di era globalisasi sebagaimana
dikemukakan di atas adalah manusia yang memiliki daya saing, penuh prakarsa dan
dapat bekerja sama untuk membangun sinergi. Artinya, manusia yang bisa hidup
layak di era persaingan global adalah mereka yang memiliki keunggulan dalam
kompetensi sehingga mampu tampil sebagai pemenang dalam kompetisi, mereka yang
memiliki kemampuan untuk menggali informasi yang dapat mendorong munculnya
kreativitas untuk melahirkan prakarsa-prakarsa baru, dan mereka yang memiliki
kemampuan membangun sinergi (sharing jobs and responsibility) untuk membentuk
sistem sosial-kultural yang kuat. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
kemudian diubah lagi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah solusi
yang dilakukan saat ini untuk menjawab permasalahan di atas. Jika kita
mencermati kenyataan yang ada saat ini terkait dengan rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia dan tantangan persaingan era globalisasi, maka kita mungkin
sependapat dengan hal ini. Namun, apabila kita melihat kenyataan di lapangan
(di sekolah-sekolah), secara umum guru sebagai pelaksana dan unjung tombak
penyelenggaraan pendidikan masih belum memahami dengan baik tentang KBK dan
KTSP. Kalaupun ada sebagian guru yang faham, ada kesan mereka enggan untuk
mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran. Selain itu, Ujian Nasional yang
hingga saat ini masih dipertahankan karena berbagai alasan, justru menjadi penghambat
dalam implementasi kurikulum (http://nandang.blogdetik.com/2009/04/08/pendidikan-sians-di-sekolah-dan-kebutuhan-masyarakat/).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan
di atas bahwa peningkatan sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan
sains yang berwawasan global adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan sains
diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan melalui
paradigma pendidikan sebagai berikut:
-
Pendidikan sebagai proses pembebasan.
-
Pendidikan sebagai
proses pencerdasan.
-
Pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak.
-
Pendidikan menghasilkan tindak perdamaian.
-
Pendidikan sebagai pemberdayaan
potensi manusia.
-
Pendidikan anak berwawasan integratif.
-
Pendidikan membangun watak persatuan.
-
Pendidikan menghasilkan manusia demokratis.
-
Pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap
lingkungan.
-
Sekolah bukan satu-satunya instrument pendidikan.
2. Pemberdayaan
kualitas guru sebagai motivator dan fasilitator pembelajaran.
3. Peningkatan Sumber
Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan sains sangat penting bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemandirian bangsa Indonesia. Melalui praktik pendidikan yang
tepat, kita dapat membekali dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang
dipersayaratkan kepada anak didik kita sehingga mampu berkompetisi dan dapat
hidup secara layak di era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah B. Uno. (2008). Profesi
kependidikan Problema, solusi, dan reformasi pendidikan di Indonesia.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hari Suderadjat. (2005). Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) Peningkatan mutu pendidikan melalui
implementasi KBK. Bandung: CV. Cipta Cekas Grafika.
Riant Nugroho. (2008). Pendidikan
Indonesia harapan, visi, dan strategi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwarto. (2011). Pengembangan
tes diagnostik untuk mengungkap kesulitan siswa dalam memahami reproduksi sel.
(Makalah Seminar Desertasi Doktor tidak
Dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Kompas 3 Maret 2011. Indeks
pembangunan pendidikan. Jakarta.
http://fmipa.um.ac.id/.
Diakses 5 Maret 2011.
http://pendidikansains.blogspot.com/2008/11/isu-pendidikan kritis.html.
Diakses 5 Maret 2011.
http://www.stainlangsa.ac.id/
jurnal/tarbawi/113-pengembangan-sdm-berkualitas-dalam-rangka-perwujudan-profesionalisme-guru-di-era-kontemporer.
Diakses 5 Maret 2011.
http://yudiarya.blogspot.com/2010/01/tantangan-perguruan-tinggi-dalam-era.html.
Diakses 5 Maret 2011.
http://nandang.blogdetik.com/2009/04/08/pendidikan-sians-di-sekolah-dan-kebutuhan-masyarakat/.
Diakses 5 Maret 2011.
http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=135119&lokasi=lokal.
Di akses 18 Maret 2011.