Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

Berinovasi Dalam Pembelajaran Sains

I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak ada cara lain untuk melestarikan ilmu pengetahuan selain dengan pendidikan. Pendidikan merupakan kunci dari semakin berkembangnya ilmu antara generasi satu ke generasi berikutnya. Jika sekarang ini kita dapat menikmati kemudahan komunikasi melalui telepon seluler, maka anak cucu kita nanti tidak perlu bersusah-payah lagi untuk meneliti cara membuat telepon seluler. Mereka hanya perlu mempelajarinya dari kita. Nantinya, mereka tinggal mengembangkan saja dari apa yang sudah ada sekarang ini. Begitulah seterusnya sehingga teknologi terus melesat pesat dari waktu ke waktu.
Manusia membutuhkan teknologi. Terlebih lagi dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sudah menjadi gaya hidup masyarakat. Sedangkan teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan. Dengan demikian, agar teknologi dapat terus survive, maka ilmu pengetahuan pun harus tetap survive pula. Jawaban atas tuntutan ini sama seperti di atas: pendidikan. Namun, apakah pendidikan selalu berhasil dilakukan? Ternyata tidak. Pendidikan tidak selalu berhasil membuat siswa memahami ilmu yang diajarkan. Bahkan di sana-sini banyak ditemukan berbagai masalah menyangkut pendidikan, termasuk di Indonesia.
Keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh banyak hal. Kita dapat menyebutkan beberapa di antaranya yaitu ketersediaan fasilitas, motivasi siswa, motivasi guru, lingkungan belajar, termasuk budaya yang berkembang di masyarakat. Salah satu faktor yang juga penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan adalah cara penyampaian. Ilmu yang sama belum tentu akan menuai hasil yang sama apabila disampaikan dengan cara yang berbeda. Bahkan, kesalahan dalam memilih cara penyampaian akan menjadikan tujuan pendidikan tidak tercapai. Hal ini membuat para pakar pendidikan terus berusaha meneliti dan menciptakan cara penyampaian yang lebih efektif.
Ki Hajar Dewantara (2009) menyatakan bahwa sifat mendidik itu merupakan naluriah makhluk, termasuk manusia. Manusia selalu berusaha mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin, dan oleh sebab itu, manusia senantiasa mencari cara penyampaian ilmu yang seefektif mungkin. Namun, ketika suatu cara penyampaian ilmu terbukti efektif, tidak lantas berhenti sampai di situ saja. Para pakar pendidikan terus meneliti dan menciptakan cara-cara baru yang lebih baik dan lebih baik lagi. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa isu tentang cara-cara baru untuk menyampaikan (mentransfer) ilmu merupakan isu yang ‘abadi’ dan tak pernah habis-habisnya dalam dunia pendidikan. Kita tahu, betapa banyak model/metode pembelajaran dikembangkan dan terus dikembangkan. Hal ini merupkan satu contoh bahwa cara penyampaian ilmu merupakan isu yang akan selalu terbaharui.
Salah satu penelitian tentang cara penyampaian ilmu yang sedang hangat adalah metode ‘inovasi sebelum belajar’, yang mana penelitian tersebut dilakukan di negara Barat. Branford dan Schwartz, peneliti di bidang psikologi dan matematika, menemukan bahwa siswa yang dilibatkan dalam kegiatan inovasi sebelum disuguhkan materi pelajaran baru, ternyata dapat belajar lebih baik (Etkina dkk., 2009). Penelitian ini kemudian dikembangkan oleh Etkina beserta rekan-rekannya di bidang sains, khususnya fisika, dan ternyata hasilnya sejalan dengan hasil penelitian Branford dan Schwartz tersebut. Siswa yang sebelumnya diminta berinovasi dalam kerja lab, menunjukkan hasil belajar yang lebih baik daripada siswa yang sebelumnya mendapatkan tuntunan langkah kerja lab yang urut-sistematis dan materi yang rinci.
  
B. Identifikasi Masalah
1.      Perlu dikaji mengapa metode “inovasi sebelum belajar” dapat membantu siswa belajar secara lebih baik.
2.      Perlu diketahui cara pengimplementasian metode “inovasi sebelum belajar” dalam pembelajaran sains.
  
C. Perumusan Masalah
1.      Mengapa metode “inovasi sebelum belajar” dapat membantu siswa belajar secara lebih baik?
2.      Bagaimana cara mengimplementasikan metode “inovasi sebelum belajar” dalam pembelajaran sains?
  
D. Tujuan
1.      Mengetahui alasan mengapa metode “inovasi sebelum belajar” dapat membantu siswa belajar secara lebih baik.
2.      Mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan metode “inovasi sebelum belajar” dalam pembelajaran sains.


II. PEMBAHASAN


 A. Deskripsi Penelitian Etkina dkk. (2009)
Etkina dkk. (2009) melakukan penelitian mereka selama dua hari (sabtu dan minggu, selama tiga jam setiap harinya) pada bulan Maret 2009. Siswa partisipan adalah para sukarelawan dari siswa Physics for the Science semester kedua –sebuah kuliah berbasis algebra untuk jurusan sains. Kebanyakan siswa tersebut dalam kuliahnya mengambil jurusan sains kehidupan, sains olahraga, sains lingkungan, dan sains kebumian (not pre-meds). Pada waktu penelitian dilakukan, materi kuliah para siswa itu telah melewati materi kemagnetan, sehingga mereka sudah mengenal mekanika, termodinamika, elektrostatis, dan sirkuit DC. Akan tetapi, konsep termal dan konduktivitas elektrik tidak diajarkan. Kuliah mengikuti kurikulum ISLE dan siswa harus mendesain eksperimen mereka sendiri di lab yang dipandu oleh rubrik kemampuan ilmiah.

Pengaturan Umum Penelitian:
Pada hari pertama, siswa mengerjakan kegiatan eksperimen laboratorium selama 3 jam, dan hari berikutnya mereka membaca teks persiapan khusus dan menjawab pertanyaan (ini memerlukan waktu kira-kira 3 jam juga). Para siswa yang terlibat dalam penelitian ini terpisah dalam 3 kondisi:
1.      Kondisi CB (cook-book/buku memasak). Kelompok ini diminta melakukan eksperimen tentang konduktivitas termal. Konduktivitas termal merupakan materi baru bagi para subyek penelitian ini, karena belum pernah diajarkan di kuliah. Kelompok “buku memasak” diberi landasan teori tentang konduktivitas termal sebelum melakukan eksperimen. Mereka juga diberi panduan eksperimen dengan langkah kerja yang urut dan rinci. Mereka diminta melakukan eksperimen sesuai dengan panduan tersebut, sehingga mirip dengan kegiatan memasak berdasarkan buku.
2.      Kondisi IL (innovation lab). Kelompok ini diminta melakukan eksperimen dengan materi yang sama dengan kelompok “buku memasak”, yaitu konduktivitas termal, hanya saja kelompok ini tidak “dimanjakan” seperti kelompok “buku memasak”. Kelompok ini tidak diberi landasan teori dan juga tidak diberi langkah kerja yang rinci. Mereka diminta untuk memformulasikan suatu besaran fisika tentang konduktivitas termal sesuai dengan inovasi mereka sendiri.
3.      Kondisi C (control). Kelompok ini merupakan kelompok pembanding. Mereka diminta melakukan inovasi, mirip dengan kelompok inovasi lab, hanya saja materinya berbeda, yaitu materi yang telah mereka kuasai (telah dipelajari berulang-ulang di kuliah), yaitu materi tentang mekanika.

Kondisi CB dan IL merupakan kondisi eksperimental. Selama hari kedua, semua grup membaca teks yang sama yang menjelaskan tentang konduktivitas termal dan terhubung dengan konsep konduktivitas termal aliran air dan aliran muatan  listrik. Kemudian, mereka menjawab pertanyaan yang sama berdasarkan teks (materinya terlampir).

Partisipan:
Sebanyak 57 partisipan ditugaskan dalam 3 kondisi melalui teknik penugasan acak berpasangan. Pertama-tama, siswa dibagi menjadi 3 grup – tinggi, sedang, dan rendah – berdasarkan skor ujian mereka. Kemudian, seorang siswa dari tiap kategori itu secara acak ditugaskan ke dalam satu dari 18 tim lab. Terakhir, 18 tim lab secara acak ditugaskan ke dalam 3 kondisi.

Bahan penelitian:
Bahan penelitian ini dirancang pada September – February 2008/2009. Etkina dkk. memilih materi dengan konsep konduktifitas karena dua alasan:
a.       Konduktifitas termal tidak diajarkan di kuliah, dan
b.      Konsep konduktifitas secara umum dapat diterapkan pada semua proses aliran.

Etkina dkk. mendesain 3 tipe lab yang berbeda namun teks bacaan dan pertanyaan yang digunakan untuk menilai pemahaman siswa adalah sama untuk semua grup ini. Teks bacaan (8,5 halaman) mendeskripsikan 3 fenomena analogi: aliran fluida, aliran energi termal, dan aliran muatan listrik (terlampir). Teks terfokus pada persamaan antara ketiga fenomena ini secara konseptual dan matematikal, yaitu konsep aliran, pentingnya gradien, pentingnya koefisien yang tergantung dari bahannya, dan sifat kontainer atau pipa. Ada 13 pertanyaan yang harus dijawab siswa setelah membaca, yang mana tujuh di antaranya berfokus secara eksplisit berkenaan dengan isi bacaan (dan 6 lainnya digunakan untuk penelitian lain). Untuk memastikan face validity bahannya, dua ahli dari luar peneliti meninjau keseluruhan bahan.

Perincian Kegiatan Penelitian Pada Hari Pertama:
Siswa pada kondisi IL harus mengembangkan sendiri konsep konduktivitas termal dan menciptakan koefisien untuk mengkuantitaskan sifat tersebut. Untuk mereka, Etkina dkk. menyediakan bermacam-macam alat eksperimen. Handout lab mereka tidak menyebutkan istilah khusus dan hanya menyuruh mereka untuk menemukan sebuah kuantitas fisika untuk mendeskripsikan perbedaan antara gabus dan alumunium dalam hal kemampuan mereka untuk mentransfer energi panas.
Siswa kondisi CB bekerja dalam aktifitas lab biasa. Mereka harus menentukan koefisien konduktifitas termal dari bahan botol plastik. Handout mereka berisi rangkuman teori yang diperlukan untuk memahami apa yang dimaksud dengan koefisien konduktivitas termal, dan urutan cara kerja untuk menentukan nilainya dalam eksperimen. Pada dasarnya, ini dapat dikatakan mirip seperti memasak dengan mengacu pada buku resep.
Siswa kondisi C diharuskan mendesain sebuah eksperimen untuk menguji sebuah hipotesis, yaitu apakah energi kinetik adalah konstan selama bola bowling bertumbukan. Lab yang mereka pakai adalah sama dengan lab yang mereka pakai ketika kuliah sehari-hari, dan apa yang mereka kerjakan itu sudah sangat mereka pahami, yang mana kajian materi tersebut tidak berhubungan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hanya siswa di CB selama hari pertama yang diberi tahu tentang apa yang dimaksud dengan koefisien konduktivitas thermal dan bagaimana cara menentukan nilainya. Siswa kondisi C dan IL tidak diberikan istilah itu dan juga tidak diberi informasi tentangnya. Siswa punya waktu 3 jam untuk bekerja di lab.

Perincian Kegiatan Penelitian Selama Hari Kedua:
Selama hari kedua, semua siswa menerima teks bersamaan, dan ketika mereka telah selesai membaca, mereka menerima sejumlah pertanyaan. Mereka diperbolehkan untuk menggunakan teks sebagai bahan selama menjawab pertanyaan. Setiap siswa mencatat waktu ketika mereka memulai dan ketika selesai menjawab pertanyaan pada lembar jawaban mereka masing-masing.

Data Yang Dikumpulkan:
Selama hari pertama, Etkina dkk. mengumpulkan laporan lab siswa. Selama hari kedua, mereka mengumpulkan data waktu dan jawaban siswa atas pertanyaan yang diberikan. Dalam laporan penelitiannya, mereka hanya menayangkan data yang dikumpulkan selama penelitian di hari kedua.

Hasil Pengamatan:
Etkina dkk. mencatat jumlah waktu yang dihabiskan siswa untuk membaca teks dan menjawab pertanyaan. Mereka menemukan bahwa siswa menghabiskan waktu yang berbeda untuk menjawab pertanyaan (rata-rata untuk kondisi C, CB, dan IL adalah berturut-turut 104, 99, dan 132 menit, F(2,53) = 14,7; p<0,001). Untuk menentukan kondisi mana yang berbeda satu sama lain, Etkina dkk. menggunakan metode Bonferroni. Post hoc test mengindikasikan bahwa perbedaan rata-rata antara C dan IL adalah -27,9; antara CB dan IL adalah -32,8. Keduanya berbeda secara signifikan pada α = 0,05. Total waktu untuk tugas tersebut juga berbeda (rata-rata untuk C, CB, dan IL adalah masing-masing 130, 127, dan 162 menit, F (2,53) = 16,7; p<0,01). Perbedaan rata-rata antara grup C dan IL adalah -32,2; antara CB dan IL adalah -34,7; keduanya signifikan pada α = 0,05. Siswa IL menghabiskan lebih banyak waktu secara signifikan dalam menjawab pertanyaan dan keseluruhan pekerjaan tugas yang diberikan.
Etkina dkk. mengembangkan kode skema post hoc untuk menggambarkan detail cakupan dari jawaban siswa terhadap 7 pertanyaan yang menguji pemahaman mereka dari 5 ide dalam konteks bahasan konduktivitas: aliran, gradien, koefisien, panjang, dan area (pertanyaannya terlampir). Semua ini adalah konsep-konsep yang harus dimengerti siswa melalui bacaan yang khusus mengeksplorasi analogi (dalam hal 5 ide ini) antara proses-proses yang berbeda yang dapat dideskripsikan sebagai aliran. Etkina dkk. lalu mengkode acak saja setiap jawaban siswa pada tiap 7 pertanyaan sebagai indikasi pemahaman kategori-kategori pendekatan itu.
Etkina dkk. mengekspresikan kode-kode itu dalam bentuuk persen dari skor maksimum tiap soal, dan kemudian Etkina dkk. menghitung skor rata-rata untuk tiap soal tiap grup. Hasilnya, siswa IL meraih skor rerata tertinggi pada 4 dari 7 soal, sedangkan siswa C dan CB masing-masing memiliki skor tertinggi pada satu soal saja.
Setelah menentukan skor rerata untuk tiap soal, Etkina dkk. menentukan skor total sebagai jumlah dari skor tiap soal untuk tiap siswa dan membandingkan skor total siswa di 3 grup.
Statistik deskriptif dipresentasikan pada tabel 1. Skor rerata dan median kondisi IL lebih tinggi daripada skor C dan CB. Hasil ANOVA (F2,50) = 3,99 p=0,025) menunjukkan bahwa 3 kondisi tersebut berbeda secara statistik. Untuk menentukan kondisi yang lebih baik secara statistik, Etkina dkk. melakukan perbandingan post-hoc multiple grup dengan menggunakan tes Bonferroni. Tes menunjukkan bahwa tidak ada signifikansi statistik antara C dan CB, sebuah perbedaan signifikan antara C dan IL (IL lebih baik secara signifikan) dan perbedaan statistikal marginal antara CB dan IL, IL lebih baik (tabel 2).



B. Inovasi Sebelum Belajar
Penelitian Etkina dkk. menunjukkan bahwa hasil jawaban kelompok inovasi lab adalah tertinggi dalam lima soal dari tujuh soal yang diberikan, dibandingkan dua kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang berinovasi sebelum diberi materi baru, dapat belajar dengan lebih baik. Hasil ini juga memutarbalikkan paradigma yang ada, yaitu paradigma bahwa siswa harus diberi prosedur yang rinci ketika mereka bereksperimen di lab. Justru, siswa yang tidak diberi perincian terlebih dahulu, dapat belajar lebih efektif (detail penelitian Etkina dkk (2009) ini dapat dibaca pada lampiran).
Siswa yang tidak diberi perincian menjadi lebih kreatif dalam berinovasi untuk memecahkan permasalahan materi pelajaran. Inovasi ini memberi dampak yang besar, karena membuat siswa termotivasi dalam belajar, serta mengembangkan pengetahuannya sendiri secara aktif. Peranan motivasi sangatlah vital dalam kegiatan belajar, karena menurut Hamzah (2010), motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini menjadi lebih dalam dan lebih bermakna. Ketika siswa belajar lebih jauh dari buku atau dari penjelasan guru setelah melakukan inovasi, pemahaman mereka semakin kuat.
Sebaliknya, siswa yang selalu “dimanjakan” dengan teori-teori pendahuluan dan tidak diberi ruang untuk berinovasi, menjadi pasif, dan ketergantungan. Kreatifitas mereka tidak terasah. Pengetahuan yang didapatkan kurang dalam dan kurang kuat.
Hal ini cukup esensial untuk diperhatikan para guru sains. Penting untuk menempatkan siswa pada tantangan untuk berinovasi dan merancang sendiri solusi mereka, terutama ketika praktek langsung dengan objek sains yang sedang dipelajari. Contohnya, ketika mereka mulai belajar tentang klasifikasi, minta mereka untuk membuat klasifikasi mereka sendiri sebelum guru memperkenalkan sistem klasifikasi standar ilmiah internasional. Ketika mereka mulai belajar tentang antariksa, minta mereka untuk merancang penjelasan mengapa planet-planet dapat terus-menerus mengitari matahari, sebelum guru menerangkannya secara rinci. Inilah yang dimaksud dengan “berinovasi sebelum belajar.”
Satu hal yang juga perlu diperhatikan, kata ‘inovasi’ dalam paper ini bukan berarti bahwa siswa diposisikan sebagai penemu teknologi baru layaknya ilmuwan profesional. Inovasi yang dimaksud adalah siswa menemukan teorinya sendiri. Agar dapat merancang teori, tentu siswa harus berinovasi. Jadi, inovasi yang dilakukan siswa tersebut memang berarti teori baru, namun teori baru yang berlaku untuk dirinya sendiri, sementara bagi dunia keilmuan secara umum, teori itu sudah merupakan ‘barang lama’. Inilah yang mendasari digunakannya kata ‘inovasi’.


C. Hubungan “Inovasi Sebelum Belajar” dengan Paham Konstruktivisme
Masih banyak pendidik yang menganggap bahwa siswa adalah ibarat kertas kosong yang siap untuk ditulisi dengan berbagai pengetahuan sesuai keinginan pendidik. Pengetahuan masih banyak dianggap sebagai sesuatu yang sudah jadi, sehingga tinggal ditransfer saja kepada anak didik. Konsep ini terbantahkan dengan sendirinya ketika para pendidik menyadari bahwa pengetahuan yang disampaikannya seringkali diinterpretasikan berbeda-beda oleh para siswanya.
Dalam dekade belakangan ini muncul teori belajar konstruktivisme dalam kajian filsafatik. Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman, dan lingkungan mereka.  Ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah:
1.      Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya;
2.      Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia;
3.      Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman;
4.      Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain;
5.      Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Sutardjo Adisusilo, Tanpa Tahun).

Berdasarkan paham filsafat konstruktivisme, pengetahuan bukan semata-mata hasil transfer dari guru ke murid, akan tetapi merupakan sesuatu yang dibangun sendiri oleh murid. Guru hanya berperan sebagai sumber pengalaman. Proses pembentukan ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Ketika guru menyampaikan sebuah konsep, siswa lantas menghubungkan konsep tersebut dengan konsep yang sudah terbentuk di pikirannya. Ketika siswa tidak mampu mencocokkan konsep baru dengan konsep lamanya, siswa akan berusaha merekonstruksi konsep lamanya agar sesuai dengan konsep yang baru. Contoh, seorang anak kecil baru mengenal dua macam hewan, yaitu ayam dan bebek. Kedua hewan ini memiliki dua kaki, sehingga konsep yang terbentuk dalam kepala si anak adalah semua hewan berkaki dua. Ketika kakaknya memperkenalkan jenis hewan baru, yaitu sapi yang berkaki empat, anak ini mendapati bahwa konsep hewan berkaki empat tidak cocok dengan konsep lamanya. Anak ini kemudian merekonstruksi pikirannya bahwa tidak semua hewan berkaki dua, melainkan ada juga yang berkaki empat.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan hanya dapat terjadi apabila siswa secara aktif membentuknya sendiri. Proses belajar adalah proses pengintegrasian konsep baru ke dalam konsep-konsep lama. Pengalaman siswa sangat berperan dalam hal ini. Semakin banyak siswa membaca buku atau berinteraksi dengan lingkungan, misalnya, akan semakin mudah siswa menerima konsep-konsep baru. Jika siswa pasif, pengetahuan tidak akan terjadi. Tugas guru sebetulnya harus lebih dititikberatkan pada pengkondisian lingkungan belajar agar siswa merasa senang, tak terbebani, bersemangat, dan aktif membentuk pengetahuannya. Berdasarkan teori konstruktivisme, pembelajaran, terutama sains, hendaknya sedapat mungkin menunjukkan objek belajar yang bersifat inderawi kepada siswa. Eksperimen adalah salah satu contohnya. Dengan adanya pengamatan atau praktik, siswa lebih terfasilitasi untuk mendapatkan pengalaman yang sangat berguna dalam pembentukan konsep pengetahuan.
Ketika siswa berinovasi di lab tentang konsep yang belum dimengertinya, seperti yang ditunjukkan dalam penelitian Etkina dkk., sebetulnya siswa sedang aktif membentuk rancangan baru bagi konsep tersebut. Oleh karena itu, ketika siswa mendapatkan penyampaian tentang konsep tersebut dari gurunya, ia hanya perlu memasang-masangkan konsep tersebut ke dalam konsep yang telah dibentuknya. Hal ini menjadikan pembelajaran lebih efektif, dengan syarat, siswa bersedia mengikuti kegiatan pembelajaran secara aktif. Sekali lagi, jika siswa pasif, pengetahuan tidak akan terbentuk.
Ketika siswa menerima teori terlebih dahulu, sementara ia belum pernah mengalaminya secara nyata, maka konsep untuk menampung pengetahuan itu tidak ada, atau mungkin saja dapat terbentuk namun tidak jelas. Inilah sumber terjadinya miskonsepsi. Oleh karena itu, pembelajaran sains yang benar adalah praktek dulu baru teori, bukan teori dulu baru praktek. Contoh, sebelum guru memberi teori tentang alga, maka ajaklah siswa ke kolam dan melihat alga secara langsung. Sebelum guru menjelaskan tentang reaksi oksidasi, tunjukkanlah secara langsung kepada siswa peristiwa-peristiwa oksidasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya pembakaran atau karatan besi. Ketika guru hendak menerangkan tentang kemagnetan, terlebih dahulu guru harus memastikan bahwa semua siswanya telah melihat dan memegang magnet secara langsung, lengkap dengan fenomena kemagnetan.
Senada dengan hasil penelitian Etkina dkk., alangkah baiknya jika siswa diajak berinovasi dulu baru kemudian diberikan teorinya. Ketidakurutan proses belajar ini justru akan semakin melejitkan potensi siswa dalam belajar. Kreatifitas siswa akan terasah, keingintahuannya akan berkembang, dan akhirnya terbentuk motivasi belajar yang kuat. Guru bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan belajar yang kondusif agar semua tujuan tersebut dapat tercapai. Namun, tentu saja, konsep ‘berinovasi dulu baru belajar’ bukan serta-merta berarti bahwa semua pembelajaran yang urut adalah tidak efektif. Tidak seperti itu. Untuk konteks-konteks tertentu, pembelajaran tetap harus merupakan suatu urutan yang sistematis. Kita dapat sedikit mengimprovisasi urutan itu jika diperlukan.


D. Peranan Laboratorium dalam Pembelajaran Sains
Sains merupakan ilmu yang dibangun berdasarkan realitas dan sangat aplikatif. Bermula dari ketakjuban atas fenomena alam, para ilmuwan menyusun teori untuk menjelaskan fenomena alam itu. Dengan demikian, keliru jika para guru memulai pembelajaran sains dari teori terlebih dahulu. Seharusnya pembelajaran sains diawali dengan menyimak fenomena. Oleh sebab itu, alih-alih belajar teori dulu baru praktek, seharusnya pembelajaran sains justru dilakukan dengan cara praktek dulu baru belajar teori. Ketertarikan belajar sains tidak akan terjadi bila siswa tidak memahami keterhubungan pelajaran sains dengan fenomena yang ia jumpai sehari-hari, dan salah satu media untuk membuat siswa memahami keterhubungan itu adalah aktifitas di laboratorium. Hal ini didukung oleh Jailani (2008) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains, siswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata. Pengalaman itulah yang akan menjadi ‘bahan baku’ siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri. Pengalaman yang hanya didasarkan pada pemikiran, berpotensi untuk menimbulkan miskonsepsi bagi siswa.
Jika kita mengaitkannya kembali dengan hasil penelitian Etkina dkk. dan teori konstruktivisme, maka dalam konteks pembelajaran sains, inovasi terbaik untuk dilakukan siswa adalah inovasi secara riil (praktek langsung di laboratorium). Aktifnya panca indera siswa ketika berhadapan langsung dengan obyek yang mereka pelajari, akan mempersiapkan ‘bahan-bahan’ pengalaman yang cukup di dalam otak mereka, sehingga mereka dapat membentuk pengetahuan secara baik.
Hal ini didukung oleh teori piramida belajar seperti berikut ini.
Terlihat pada gambar diatas, sebagaimana dijelaskan Ontario (2011), siswa yang belajar dari ceramah hanya mampu mengingat 5% dari keseluruhan materi yang disampaikan pada saat ceramah tersebut. Hal ini berarti keefektifan cara ceramah terhadap hasil belajar, rendah. Cara lebih efektif adalah dengan membaca, belajar secara audio-visual, demostrasi, diskusi, prakte-melakukan, dan mengajarkan temannya. terlihat bahwa praktek-melakukan memberikan kontribusi 75% dalam menanamkan ingatan pelajaran kepada siswa. Hal ini mendukung peranan pembelajaran sains di laboratoriun karena dengan cara itu, siswa akan praktek-melakukan apa yang sedang dipelajarinya.
Penting juga untuk diperhatikan, bahwa laboratorium sains tidak hanya terbatas pada ruangan khusus lab beserta alat-alat praktikum standar buatan pabrik. Laboratorium alami yang langsung berhadapan dengan obyek alam juga tak kalah menarik, bahkan mungkin lebih menarik, untuk dijadikan tempat belajar siswa.

E. Keuntungan dan Kerugian “Inovasi Sebelum Belajar”
            Seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Etkina dkk., inovasi yang dilakukan siswa sebelum diajari gurunya akan memperdalam pemahaman yang ujung-ujungnya dapat meningkatkan prestasi belajar. Hal ini merupakan keuntungan dari Inovasi Sebelum Belajar. Selain itu, cara pembelajaran semacam ini dapat mengasah kreatifitas dan kecintaan untuk belajar. Terdapat salah kaprah di dunia pendidikan yang mengatakan bahwa “Pembelajaran inovasi seperti ini hanya cocok untuk anak yang kreatif.” Kreatifitas bukanlah gen bawaan sejak lahir. Kreatifitas lebih merupakan skill yang bisa dilatih dan diasah sejak dini. Justru pembelajaran inovasi seperti ini berguna untuk mengembangkan kreatifitas anak.
            Meski memberi keuntungan-keuntungan, praktek Inovasi Sebelum Belajar ini juga dapat berdampak kerugian. Pertama, seperti juga model-model pembelajaran inovatif lainnya, pembelajaran inovasi cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dibandingkan dengan model konvensional. Hal ini wajar, karena untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dan dalam, waktu yang dibutuhkan akan semakin banyak pula. Pemborosan waktu ini jelas akan mengganggu tuntutan guru untuk memenuhi KBM (Ketuntasan Belajar Mengajar). Hal ini dapat diantisipasi dengan memberikan tugas belajar tambahan di rumah kepada siswa untuk mengkompensasi kekurangan jam pelajaran di sekolah. Kedua, apabila guru tidak berhati-hati, siswa akan merasa stress karena dituntut untuk berinovasi terlalu keras. Hal ini bisa disikapi dengan kemasan pembelajaran yang menyenangkan atau pergiliran dengan model pembelajaran lain yang lebih mudah.




III. KESIMPULAN



1.      Penerapan metode “Inovasi Sebelum Belajar” dapat mengefektifkan proses belajar sains karena siswa ditempatkan pada suatu tantangan yang mengasyikkan, meningkatkan motivasi belajar mereka, kemudian pengalaman riil itu menjadi konsep awal yang sangat berkesan, yang akan menjadi koneksi kuat dengan materi baku yang diajarkan guru. “Inovasi Sebelum Belajar” membuat siswa belajar secara lebih mendalam, yaitu menyangkut pada konsep-konsep dasar yang penting dalam pembelajaran sains.
2.      Implementasi metode “Inovasi Sebelum Belajar” dalam pembelajaran sains dapat dilakukan dengan cara:
a)    Ciptakan lingkungan belajar yang kondusif, agar siswa merasa nyaman untuk belajar.
b) Tumbuhkan motivasi dan semangat belajar dalam diri siswa agar mereka siap untuk berperan aktif membentuk pengetahuan mereka sendiri.
c) Sediakan laboratorium beserta bahan dan alat yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan.
d) Beri sedikit pengantar yang akan menggiring siswa masuk ke dalam konteks pelajaran yang akan dibahas. Sedapat mungkin, pengantar tersebut dihubungkan dengan pengalaman hidup sehari-hari.
e) Posisikan siswa layaknya para ilmuwan. Minta mereka berinovasi secara bebas sesuai dengan daya kreatifitas mereka masing-masing, untuk memformulasikan suatu teori tertentu dari fenomena yang disuguhkan.
f) Jangan pernah mendiskreditkan siswa apabila mereka melakukan kekeliruan, karena justru dari kekeliruan itulah mereka akan banyak mendapatkan pelajaran.
g) Jangan terlalu cepat memberikan jawaban kepada siswa apabila mereka tidak dapat menyelesaikan tantangan yang diberikan. Ajak mereka untuk berpikir lebih keras.
h) Terakhir, barulah guru memaparkan teori yang sudah baku kepada siswa, yaitu teori yang ada di buku-buku pelajaran.




SUMBER REFERENSI

E. Etkina, M. Gentile, A. Karelina, M.R. Ruibal-Villasenor, & G. Suran. (2009). Searching for “Preparation for Future Learning” in Physics. http://www.compadre.org/ per/document/ServeFile.cfm?ID=9456&DocID=1342&Attachment=1. Diakses pada tanggal 4 Maret 2011.

Hamzah B. Uno. (2010). Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Jailani. (2008). Model Pembelajaran Sains Menurut Pandangan Konstruktivisme. Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu. Volume 6 Nomor 1. http://www.undiksha.ac.id/e-learning/staff/images/img_info/4/3-282.pdf . Diakses pada tanggal 4 Maret 2011.

Ki Hadjar Dewantara. (2009). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.

Ontario. (2011). Instructional Strategies. http://www.enseignerenontario.ca/employment/En/ 3b_strategies.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2011.  

Sutardjo Adisusilo. (Tanpa Tahun). Konstruktivisme dalam Pembelajaran. http://veronika closet.files.wordpress.com/2010/06/konstruktivisme.pdf. Diakses pada tanggal 25 Februari 2011.
Share:

No comments:

Post a Comment

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru