Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

Object Study

BASIS “NATURE/OBJECT STUDY” DALAM BELAJAR MIPA DAN PERSOALANNYA
PROF. DR. DJOHAR, M.S.

Telaah tentang persoalan pembelajaran MIPA berbasis “Nature/Object Study” ini dapat dipahami sebagai pendekatan atau sebagai sasaran. Sebagai pendekatan apabila objek yang dipelajari berkedudukan sebagai media belajar untuk memperoleh pemahaman tentang persoalan lain yang sebenarnya dikaji , misalnya belajar Matematika menggunakan pendekatan coba-coba, maka objek yang digunakan untuk coba-coba itu bukan tujuan akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bila kita ingin mengajak anak untuk berpikir matematika tidak langsung menggunakan pendekatan berpikir matematik akan tetapi melalui pendekatan empirik atau bermain untuk memperoleh kemampuan cara berpikir matematika itu, dalam hal ini maka objek yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran itu berkedudukan sebagai pendekatan. Objek studi berkedudukan sebagai sasaran belajar apabila objek kajian yang dipelajari siswa menjadi inti kajian untuk memperoleh pemahaman tentang sesuatu dari objek kajian itu. Di dalam praktek pembelajaran, perbedaan antara kedua hal itu di antara kita sering masih belum jelas benar yang dapat berakibat terjadinya proses pembelajaran yang keliru, misalnya guru menyediakan objek studi IPA, akan tetapi yang dipersoalkan pada objek itu justru masalah-maslah sosial. Contoh guru menyediakan berbagai jenis batuan untuk belajar IPA, akan tetapi dalam proses pembelajaran maka siswa tidak diajak untuk mengkaji karakteristik dari jenis batuan itu melainkan mempersoalkan kemanfaatan atau kegunaan dari macammacam batuan itu.

Objek sama untuk pembelajaran berbeda.
Misalnya seorang guru menyediakan alat peraga bahan dan cara pembuatan batu bata, seorang guru Bahasa Indonesia menyediakan alat peraga berupa tanah liat, air, cetakan batu bata, bahan-bahan untuk pembakaran dan batu bata yang telah jadi. Alat peraga itu digunakan oleh guru untuk visualisasi cerita tentang cara membuat batu bata. Dengan menggunakan peragaan itu maka diharapkan siswa tidak perlu mengingat nama bahan dan urutan cerita cara pembuatan batu bata, akan tetapi siswa tinggal membuat susunan cerita tentang cara membuat batu bata dengan bahasa yang baik dari peragaan yang tersedia secara visual. Jadi bagi guru Bahasa Indonesia, peragaan yang disediakan itu tidak digunakan sebagai tujuan substansional pembelajaran bahasa akan tetapi sebagai alat untuk mengungkapkan simbol-simbol nyata yang difungsikan untuk membantu menyusun sistemtika alur berpikir dalam menceritakan tentang cara pembuatan batu bata, sehingga siswa dapat mengungkapkan kemampuan berbahasa yang baik dan sistematik. Apabila tanah liat dan air serta batu bata yang telah jadi disediakan sebagai peragaan belajar IPA, maka peragaan itu justru dikaji untuk memperoleh pengetahuan dari karakteristik yang terjadi pada peraga itu, mungkin untuk memperoleh keterangan tentang perubahan sifat tanah apabila diberikan air, dan perubahan sifat tanah apabila dibakar, dll, sehingga dapat diperoleh konsep-konsep perubahan alami suatu bahan bila kandungan airnya bertambah dan apabila dipanasi sampai pada suhu tertentu. Dengan menggunakan cara ini, maka kita tidak akan mampu menyatakan apap-apa apabila kita tidak terlibat langsung dalam kegiatan studi itu, karena tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Mengapa perlu diangkat persoalan ini ?
Selama ini kegiatan pmbelajaran kita kurang peduli terhadap proses akan tetapi lebih perhatian terhadap produk belajar yakni pengetahuan. Untuk mencapai maksud itu maka dengan membaca bahan-bahan yang telah jadi dianggap lebih efektif. Akibatnya kita terbudaya menggunakan pendekatan “tekstual” yang bersifat “instant” dalam membelajarkan anak, dan menjauh dari pendekatan “kontekstual” dan “konseptual” yang menggunakan objek dan persoalan nyata dalam belajar, yang memerlukan kajian lebih lama tetapi realistik, meskipun bidang yang dipelajari itu adalah bidang ilmu-ilmu nyata sepertinya IPA. Meskipun Matematika ilmu rasional yang menggunakan prosedur berpikir matematik yang sistematik-logik, namun cara-cara pembelajaran yang selama ini digunakan yakni dengan pendekatan langsung “berpikir matematik” ternyata dapat menimbulkan beban bagi anak yang tidak dirasakan oleh guru, dan dengan cara “coba-coba” dengan menggunakan objek nyata untuk memperoleh kemampuan berpikir matematik ini ternyata dapat memperingan beban anak, bahkan dapat menumbuhkan kesenangan dan kenikmatan belajar anak. Pendidikan IPA yang terjadi di negara kita berbasis “textual study” yang hanya melahirkan manusia-manusia penghafal, terjadi di seluruh jenjang pendidikan kita. Praktikum dilaksanakan selain hanya untuk memperoleh hasil akhir juga dilaksanakan terpisah dengan persoalan belajar tekstualnya, sehingga penggunaan objek belajar pada praktikum hanya untuk memperoleh pengetahuan tentang objek itu, tanpa generalisasi dan tanpa konseptualisasi. Cara belajar semacam ini dapat dikatakan belajar banyak akan tetapi perolehannya sedikit. Bagaimana caranya agar anak-anak kita belajar sedikit akan tetapi perolehannya banyak, hal ini merupakan persoalan mendasar yang perlu dipikirkan bagi pendidikan bangsa kita yang memiliki ragam baik lingkungan maupun kebiasaan hidup yang berbeda-beda.

Apa persoalannya?
Kebiasaan proses pembelajaran kita yang tekstual tampaknya membudaya dalam diri anak bangsa kita, orang tua dan masyarakat bahkan termasuk orang-orang yang memperoleh konotasi “ilmuwan”. Pengetahuan yang kita punyai adalah pengetahuan jiplakan bukan pengetahuan asli perolehan kita dari hasil konseptualisasi dari keadaan nyata, pengetahuan masa lampau bukan pengetahuan perolehan saat kini, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan jadi hasil kerja orang lain yang mungkin tidak benar dan bukan pengetahuan prediksi. Akibat dari itu maka kebanyakan di antara kita hanya mampu melihat masa lampau dari pada masa datang. Berdasarkan kebiasaan belajar kita ini yang menjadi salah satu sumber penyebab kita terbelakang terus, dan hal ini yang menjadi fokus persoalan kita. Mengapa? Karena kepuasan masyarakat kita terhadap ilmu dan teknologi telah terjebak pada kepuasan konsumtif menikmati karya baik ilmu maupun teknologi orang-orang lain dengan segala konsekuensi cara-cara meraih atau mempelajarinya. Merubah sikap dan budaya itu bukan pekerjaan kecil, harus diupayakan dengan bukti-bukti nyata akan kekeliruan kita selama ini dengan menunjukkan adanya kenyataan alternatif lain yang lebih baik. Kita merasakan apa yang terjadi sekarang ini adalah yang terbaik, karena selama ini kita hanya dihadapkan kepada kenyataan itu, walupun gema tentang rusaknya pendidikan kita telah menjadi pembicaraan hangat antara kelompok orang-orang di masyarakat.

Objek dan kejadian menjadi sumber kajian
Sumber kajian belajar IPA pada dasarnya adalah objek dan kejadian nyata, bukan kajian tekstual. Bahan-bahan tekstual buatan manusia seharusnya berkedudukan bukan sebagai sasaran kajian, akan tetapi sebagai sumber acuan untuk membandingkan dengan hasil kajian kita sendiri. Pendidikan IPA kita telah bergeser dari seharusnya belajar objek dan kejadian alam nyata ke belajar bahasa. Di dalam objek dan kejadian nyata itu sebenarnya terdapat tanda-tanda Allah bila kita gali. Oleh karena itu belajar ilmu tidak hanya untuk ilmu, namun untuk menemukan kemanfaatannya bagi kesejahteraan umat, dan dari sana kita akan menemukan pengakuan kita atas kebesaran Tuhan yang telah menyediakan alam ini untuk sumber kehidupan manusia. Dan berdasarkan ayat-ayat yang diwujudkan dalam bentuk objek dan kejadian alam semesta itu manusia membuat teknologi untuk efisiensi kerja walaupun dapat berakibat menjadi pupuk kemalasan manusia. Oleh karena itu pendidikan IPA juga syarat pendidikan moral, agar pengetahuan yang diperoleh dari belajar IPA tidak dimanfaatkan untuk menciptakan teknologi yang menyebabkan kerusakan alam kita yang dapat menjadi penyebab gangguan kemanfaatan yang berkelanjutan dari alam kita bagi kehidupan manusia. Budaya kita sekarang ini adalah budaya “instant” tinggal pakai dengan cepat, tanpa ada niat untuk mencari sendiri. Budaya ini dapat dikatakan budaya yang merugikan kehidupan bangsa, karena menyebabkan kita menjadi pemalas, konsumtif, dan tergantung tanpa ada kemajuan bahkan yang kita saksikan bersama adalah kemunduan yang terus menerus. Selama dalam keadaan demikian maka kita tidak akan mampu meraih masa depan.

Merubah budaya merupakan pekerjaan yang berat, oleh karena itu visibilitas perubahan itu akan dicoba melalui penelitian pendidikan MIPA di sekolah yang diselenggarakan oleh YABM yakni dengan menggeser budaya pembelajaran MIPA yang selama ini hanya untuk memenuhi tuntutan produk (NEM) ke arah budaya proses yang diharapkan mampu menjamin memenuhi berbagai kepentingan anak-anak kita untuk masa depan melalui kegiatan kajian objek dan persoalan nyata itu dengan pembelajaran kinestetik, dengan menyalurkan dinamika anak, dengan kegiatan manipulasi objek, konseptualisasi dan generalisasi, melalui pengalaman anak-anak sendiri, diharapkan mereka mampu memperoleh sesuatu yang bermakna dari objek dan kejadian belajar mereka. Upaya ini sebagai langkah memperbaiki kualitas pembelajaran siswa untuk meraih kualitas hasil, karena apabila kita ingin memperbaiki kualitas hasil belajar tanpa memperbaiki kualitas pembelejarannya pada dasarnya hanya memperoleh ukuran-ukkuran semu yang dapat membayangi terjadinya rekayasa. Karena dengan demikian anak-anak kita terlatih bergaul dengan dunia nyata, melalukan kegiatan belajar yang benar-benar belajar, menjadikan mereka memiliki potensi “individu belajar” yang efektif, dan hasil belajar yang dicapai adalah benar-benar mengekpresikan hasil karya mereka sendiri. Budaya baru yang kita inginkan ini memerlukan kesanggupan guru, siswa dan orang tua serta masyarakat untuk merubah wawasan tentang keberhasilan pendidikan kita, bukan terukur dari keadaan pengetahuan akhir (NEM) akan tetapi terukur dari kemampuan melakukan berbagai kegiatan dengan hasil yang semakin lama semakin meningkat yang mampu merubah perilaku baik perilaku berpikir, bekerja, menyikapi keadaan nyata, dan merumuskan konsep-konsep kehidupan mereka yang justru berguna untuk menghadapi kehidupan nyata dari pada NEM.

Berbagai persoalan lebih lanjut dapat dikemukan berikut ini. Bagaimana dapat diusahakan sebelum anak-anak kita mampu berpikir matematis kepada mereka disosisalisasikan dengan pengalaman-pengalaman empirik. Bagaimana anak-anak kita dapat kita kenalkan dengan lingkungan nyata bahwa di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang sifaynya fisik, kimiawi dan biologis, dan mereka menjadi akrab dengannya. Bagaimana dapat diangkat konsep yang membuat pembelajaran siswa itu terasa berkelanjutan dari TK, SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi, bukan pemahaman alam yang sepotong-sepotong yang hanya bermakna untuk kepentingan nilai bukan untuk kepentingan hidup dan eksistensi hidup mereka seperti yang terjadi sekarang ini. Dan bagaimana kesemuanya itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontekstual dan faktual, sehinggga anak-anak kita terlatih dan akrab hidup dengan dunia nyata bukan dunia teks yang verbalis. Pendekatan tekstual yang telah terjadi saat ini membuat kesan Matematika itu adalah pelajaran yang sulit, Fisika itu adalah pelajaran matematik, kimia itu adalah pelajaran reaksi, dan biologi itu adalah pelajaran hafalan, yang kesemuanya menjauh dari hakekat alami ilmunya masing-masing. Penelitianlah yang kiranya dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mendeteksi dan merefleksi ketimpangan-ketimpangan pembelajaran MIPA itu.


Share:

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru