Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPADU TERHADAP PENGEMBANGAN LITERASI SAINS SISWA SMP

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Secara khusus, memasuki abad ke-21 dunia pendidikan Indonesia masih mengalami masalah yaitu masih rendahnya mutu pendidikan (Muhaimin, 2001). Hal ini disebabkan oleh belum meratanya pembangunan di Indonesia dalam berbagai aspek dan keadaan geografis Indonesia yang masih sulit dijangkau sehingga pembangunan dunia pendidikan masih tertinggal dan terjadi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Dengan kenyataan tersebut dikhawatirkan Indonesia akan gagal memasuki pasar bebas pada tahun 2020. Indikasi ke arah tersebut telah nampak pada beberapa kompetisi akademik dan kenyataan di masyarakat. Pada tahun 2003, studi PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa Indonesia di peringkat ke-38 dari 41 negara peserta pada bidang literasi sains. Sedangkan pada TIMSS (Trends Internasional in Mathematics and Science Study), Indonesia menduduki urutan ke-34 dari 45 negara peserta. (Ali, 2006). Mutu pendidikan Indonesia yang tercermin dalam kedua studi internasional tersebut masih belum memuaskan.
Menyadari kenyataan di atas, berbagai kebijakan telah diluncurkan oleh pemerintah terutama kebijakan standarisasi dalam pendidikan. Dalam implementasi kurikulum, telah dilakukan berbagai studi yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan dan pengembangan sebagai konsekuensi dari suatu inovasi pendidikan. Sebagai salah satu bentuk efisiensi dan efektivitas implementasi kurikulum dikembangkan berbagai model implementasi kurikulum. Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implemntasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan.
Model pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistic dan atentik (Depdikbud, 1996:3 dalam Dekdiknas, 2006). Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan (Beane, 1995 ; 615 dalam Depdiknas, 2006). Melalui pembelajaran IPA terpadu, peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk mencari, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajari. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh (holistik), bermakna, otentik, dan aktif.
Hasil penelitian tentang pendidikan IPA di Australia menunjukkan bahwa tujuan utama pendidikan IPA akan dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan baik dari aspek social maupun ekonomi. Memang di berbagai Negara maju sejak beberapa tahun ini, literasi sain merupakan prioritas utama dalam pendidikan IPA. Salah satu strategi untuk meningkatkan literasi sains adalah dengan pembelajaran IPA terpadu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja kompetensi literasi sains yang dapat dicapai setelah pembelajaran IPA Terpadu ?
2.      Bagaimana implementasi pembelajaran IPA Terpadu untuk meningkatan motivasi dan literasi sains siswa?
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Literasi Sains
Literasi sains terbentuk dari 2 kata, yaitu literasi dan sains. Secara harfiah literasi berasal dari kata Literacy yang berarti melek huruf/gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1990). Sedangkan istilah sains berasal dari bahasa inggris Science yang berarti ilmu pengetahuan. Pudjiadi (1987) mengatakan bahwa: “sains merupakan sekelompok pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh dari pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah”.
Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2000). Literasi sains menurut National Science Education Standards (1995) adalah:
Scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic productivity. It also includes specific types of abilities.
Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik yang dimilikinya. Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008).
Antara sains dan teknologi saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Penemuan dalam sains memungkinkan pengembangan teknologi, dan teknologi menyediakan instrument yang baru lagi yang memungkinkan mengadakan observasi dan eksperimentasi dalam sains. Hurd dalam tulisannya yang berjudul “A Rationale for Science, Technology, and Society Theme in Science Education”, mengutip pendapat Price yang menyatakan teknologi yang tinggi berdasarkan sains, sains modern ditunjang oleh penemuan teknologi (Hurd, 1985 : 98, dalam buku Hakekat pendekatan science and society dalam pembelajaran sains).
Menurut Widyawatiningtyas (http://educare.e-fkipunla.net), Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis, atau kemampuan berkomunikasi melalui tulisan dan kata-kata. Literasi sains (scientific literasi), dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat.
Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan mempelajari sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang digunakan dalam PISA tidak termasuk bahwa orang-orang dewasa masa yang akan datang akan memerlukan cadangan pengetahuan ilmiah yang banyak. Yang penting adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah tentang bukti yang akan mereka hadapi.
 Hasil penelitian PISA (the Programme for International Student Assessment ) tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi siswa-siswa Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana (Rustaman, 2006b). Hal ini dikuatkan oleh Dasar Pemikiran yang ditulis pada Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, yang menyebutkan bahwa salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru (teacher centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, 2006).
Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang mau belajar dari kemajuan negara lain, begitu pula untuk kurikulum terutama kurikulum IPA. Kurikulum IPA perlu mengacu pada hakikat IPA itu sendiri, sebagaimana tampak implementasinya pada konten/materi literasi sains oleh PISA dan materi pencapaian sains oleh TIMSS (Rustaman, 2006ª) di atas. Selain itu, Kurikulum IPA perlu juga mengkaji dan membandingkan dengan kurikulum IPA di negara-negara maju.
Kajian kurikulum pendidikan IPA dan perbandingannya dengan kurikulum pendidikan IPA di negara-negara maju, maka dapat diperoleh pokok-pokok pikiran untuk pengembangan kurikulum sains ke depan adalah sebagai berikut:
1.      Penggolongan standar isi untuk seluruh tingkatan kelas sama, perbedaan terletak pada kesesuaian antara dimensi pengetahuan (knowledge) dan dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan berisi empat katagori, yaitu: pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Keempat katagori diasumsikan terletak antara konkret (faktual) sampai abstrak (metakognitif). Adapun dimensi proses kognitif meliputi: mengingat, mengerti, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (Anderson & Krathwohl, 2001: 5).
2.      Pada pengajaran sains, guru hendaknya: (a) mengajar sains berbasis inkuiri; (b) mengarahkan, membimbing dan memfasilitasi; (c) menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa; (d) merancang lingkungan belajar sedemikian rupa untuk sumber pembelajaran kontekstual; (e) menciptakan kelompok belajar sains.
3.      Penilaian pembelajaran hendaknya menekankan pada aspek yang penting untuk dinilai dalam jangka panjang, yang nantinya dapat digunakan untuk belajar lebih lanjut, termasuk penilaian kinerja atau penilaian otentik, berdasarkan data, dan jujur.
Dasar pemikiran yang berkembang dari hal-hal tersebut di atas bahwa adalah sains melandasi perkembangan teknologi, sedangkan teknologi menunjang perkembangan sains, sains terutama digunakan untuk aktivitas discovery dalam upaya memperoleh penjelasan tentang objek dan fenomena alam, namun juga untuk aktivitas penemuan (invention), misalnya dalam penemuan rumus-rumus.
1.      Komponen dan Aspek-aspek dalam Literasi Sains
Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004 dikutib dari http://utlebaksiu.wordpress.com/2011/03/26/literasi-sains-dan-aspek-pengukurannya/). PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
1)      Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
2)      Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
3)      Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu.
4)      Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
5)      Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.
2.      Pengukuran Literasi Sains
PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengi-denifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain.
Konsep-konsep tersebut diambil dari bidang-bidang studi biologi, fisika, kimia, serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa, yang terkait pada tema-tema utama berikut: struktur dan sifat materi, perubahan atmosfer, perubahan fisis dan perubahan kimia, transformasi energi, gerak dan gaya, bentuk dan fungsi, biologi manusia, perubahan fisiologis, keragaman mahluk hidup, pengendalian genetik, ekosistem, bumi dan kedudukannya di alam semesta serta perubahan geologis.

B.     Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam
Carin dan Sund (1993) mendefinisikan IPA  sebagai  “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen”.
Ilmu Pengetahuan Alam  merupakan pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah mengalami uji kebenaran melalui metode ilmiah, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dan segala isinya.
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu:
1.    Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru  yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA  bersifat open ended;
2.    Proses: prosedur pemecahan masalah  melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;
3.    Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum;
4.    Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.



C.    Tujuan Pembelajaran IPA Terpadu
Tujuan pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai berikut.
1.    Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran
Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai peserta didik masih dalam lingkup bidang kajian energi dan perubahannya, materi dan sifatnya, dan makhluk hidup dan proses kehidupan. Banyak ahli yang menyatakan pembelajaran IPA  yang disajikan secara disiplin keilmuan dianggap terlalu dini bagi anak usia 7-14 tahun, karena anak pada usia ini masih dalam transisi dari tingkat berpikir operasional konkret ke berpikir abstrak. Selain itu, peserta didik melihat dunia sekitarnya masih secara holistik. Atas dasar itu, pembelajaran IPA  hendaknya disajikan dalam bentuk yang utuh dan tidak parsial. Di samping itu pembelajaran yang disajikan terpisah-pisah dalam energi dan perubahannya, makhluk hidup dan proses kehidupan, materi dan sifatnya, dan bumi-alam semesta memungkinkan adanya tumpang tindih dan pengulangan, sehingga membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak, serta membosankan bagi peserta didik. Bila konsep yang tumpang tindih dan pengulangan dapat dipadukan, maka pembelajaran akan lebih efisien dan efektif.
Keterpaduan bidang kajian dapat mendorong guru untuk mengembangkan kreativitas tinggi karena adanya tuntutan untuk memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi yang lain. Guru dituntut memiliki kecermatan, kemampuan analitik, dan kemampuan kategorik agar dapat memahami keterkaitan atau kesamaan materi maupun metodologi.

2.      Meningkatkan minat dan motivasi
Pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan situasi pembelajaan yang utuh, menyeluruh, dinamis, dan bermakna sesuai dengan harapan dan kemampuan guru, serta kebutuhan dan kesiapan peserta didik. Dalam hal ini, pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tema yang disampaikan.
Pembelajaran IPA Terpadu dapat mempermudah dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan dan nilai atau tindakan yang termuat dalam tema tersebut.  Dengan model pembelajaran yang terpadu dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, peserta didik digiring untuk berpikir luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh, sistimik, dan analitik. Peserta didik akan lebih termotivasi dalam belajar bila mereka merasa bahwa pembelajaran itu bermakna baginya, dan bila mereka berhasil menerapkan apa yang telah dipelajarinya.

3.      Beberapa kompetensi dasar dapat dicapai sekaligus
Model pembelajaran IPA terpadu dapat menghemat waktu, tenaga, dan sarana, serta biaya karena pembelajaran beberapa kompetensi dasar dapat diajarkan sekaligus. Di samping itu, pembelajaran terpadu juga menyederhanakan langkah-langkah pembelajaran. Hal ini terjadi karena adanya proses pemaduan dan penyatuan sejumlah standar kompetensi, kompetensi dasar, dan langkah pembelajaran yang dipandang memiliki kesamaan atau keterkaitan.

D.    Konsep Pembelajaran IPA Terpadu
Lingkup IPA di tingkat SMP/MTs meliputi bidang kajian energi dan perubahan­nya (Fisika), bumi antariksa (IPBA), makhluk hidup dan proses kehidupan (Biologi), serta materi dan sifatnya (Kimia). Menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006, lingkup IPA tersebut dibelajarkan dalam satu mata pelajaran IPA. Pelaksanaan pembelajaran IPA seyogyanya juga memberi penekanan pada pembelajaran salingtemas (sains, lingkungan, tekno­logi, dan masyarakat). Karena itulah perlu dikembangkan pembelajaran IPA secara terpadu, yaitu suatu pendekatan pembela­jaran IPA yang menghubungkan atau menyatu­padukan berbagai bidang kajian IPA menjadi satu kesatuan bahasan. Pembelajaran IPA secara terpadu juga harus mencakup dimensi sikap, proses, produk, aplikasi, dan kreativitas. Dengan pembelajaran IPA terpadu, diharap­kan siswa mempunyai penge­tahu­an IPA yang utuh (holistik) untuk memecahkan perma­salahan kehidupan sehari-hari secara kontekstual.
Agar siswa kompeten dalam pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, pembelajaran IPA terpadu mestinya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan ber­pikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup (life skills). Pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah adalah karakteristik lain dari pembelajaran IPA terpadu.
Keterampilan proses yang harus dilatihkan melalui pembelajaran IPA terpadu, antara lain: mengidentifikasi masalah, melakukan pengamatan (obser­vasi), menyusun hipotesis, merancang dan melaku­kan penyelidikan, dan meru­muskan simpulan. Keteram­pilan inkuiri lain yang mewarnai pembelajaran IPA terpadu adalah: mengukur, menggunakan peralatan, menggolongkan atau melakukan klasifikasi, mengolah dan menga­na­lisis data, menerapkan ide pada situasi baru, serta mengkomuni­kasikan informasi dalam berbagai cara, misalnya dengan gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya. Latihan keterampilan proses dapat mengembangkan sikap dan nilai, antara lain: rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, skeptis, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap ling­kungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain
Salah satu kunci pembelajaran terpadu yang terdiri atas beberapa bidang kajian adalah menyediakan lingkungan belajar yang menempatkan peserta didik mendapat pengalaman belajar yang dapat menghubungkaitkan konsep-konsep dari berbagai bidang kajian. Pengertian terpadu di sini mengandung makna menghubungkan IPA dengan berbagai bidang kajian (Carin 1997;236). Lintas bidang  kajian dalam IPA  adalah mengkoordinasikan berbagai disiplin ilmu seperti makhluk hidup dan proses kehidupan, energi dan perubahannya, materi dan sifatnya, geologi, dan astronomi. Sebenarnya IPA dapat juga dipadukan dengan bidang kajian lain di luar bidang kajian IPA dan hal ini lebih sesuai untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Mengingat pembahasan materi IPA pada tingkat lebih tinggi semakin luas dan mendalam, maka pada jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/MA, akan lebih baik bila keterpaduan dibatasi pada bidang kajian yang termasuk bidang kajian IPA saja. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlalu banyak guru yang terlibat, yang akan membuka peluang timbulnya kesulitan dalam pembelajaran dan penilaian, mengingat semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin dalam dan luas pula pemahaman konsep yang harus diserap oleh peserta didik.

E.     Hasil Penelitian
Dari tahap perancangan program tersusun tiga buah program pengajaran dengan tema Rokok dan Kesehatan, Tranformasi Energi pada Tumbuhan Hijau, Wujud Zat serta Perubahan Fisika dan Kimia.
Dari hasil pengolahan data teruji kesiapan dan persepsi terhadap pembelajaran IPA terpadu, diperoleh informasi sebagai berikut :
Rata-rata skor untuk kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu adalah 4,37, sedangkan rata-rata skor untuk persepsi guru tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah sebesar 4,52. Maka dapat dismpulkan bahwa kesiapan guru tentang pembelajaran IPA terpadu adalah positif, sedangkan persepsi guru tentang pembelajaran IPA terpadu adalah sangat positif.
Semua guru menyadari bahwa pembelajaran IPA Terpadu memerlukan persiapan yang lebih baik. Dimana semua guru menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa pembelajaran IPA Terpadu menuntut adanya kerjasama di antara guru IPA. Kerjasama ini terwujud dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Dalam proses perencanaan RPP Pembelajaran IPA Terpadu dibuat berdasarkan adanya keterkaitan yang dirumuskan dalam suatu tema. Dengan demikian pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang utuh, menyeluruh, dinamis, dan bermakna sesuai dengan harapan dan kemampuan guru, serta kebutuhan dan kesiapan peserta didik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran IPA Terpadu dapat memudahkan dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan dan nilai atau tindakan yang termuat dalam tema tersebut. Dengan model pembelajaran yang terpadu dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, peserta didik digiring untuk berpikir luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh ,sistematik, dan analitik. Peserta didik akan termotivasi dalam belajar bila mereka merasa bahwa pembelajaran ini bermakna baginya, dan bila mereka berhasil menerapkan apa yang telah dipelajarinya.
Dari model pembelajaran IPA terpadu guru mendapatkan wawasan baru tentang aplikasi suatu metode pembelajaran. Hal yang harus diperhatikan guru pada model pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai berikut :
1)      Koordinasi yang baik antar guru IPA dalam membuat perencanaan pembelajaran yang berkaitan dengan pemilihan dan penetapan topic pemersatu, perumusan indicator, silabus dan RPP yang sesuai tema.
2)      Pemilihan sumber belajar yang bervariasi dan metode yang sesuai dengan hakikat IPA.
3)      Pembagian tugas dan kegiatan yang jelas pada saat kegiatan pembelajaran, sehingga masing-masing guru dapat saling mengisi, mengkuatkan, dan menunjukkan adanya kesalingterkaitan konsep.

Literasi sains dan persepsi siswa tentang pembelajaran IPA Terpadu
Dari hasil data persepsi siswa terhadap pembelajaran IPA Terpadu, diketahui bahwa rata-rata skor angket adalah 4,58 maka dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah positif.
Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa siswa lebih termotivasi dengan IPA Terpadu dapat dilihat dari respon siswa yang menyatakan sangat setuju bahwa pembelajaran hendaknya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, ada informasi pendahuluan, latihan-latihan dalam LKS, serta guru mengajukan pertanyan-pertanyaan pada saat demonstrasi IPA Terpadu dan presentasi hasil diskusi. Materi juga menjadi lebih menarik dan lebih bermakna karena guru selalu mengaplikasinya pada lingkungan. Hal ini dijadikan selalu diperhatikan dan dilaksanakan oleh guru.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa Pembelajaran IPA Terpadu meningkatkan motivasi belajar, dengan demikian model pembelajaran ini membuat siswa berpikir tentang sains. Seperti oleh (Rubba, 1993 dalam makalah Yeni Hendriyani) bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi diantaranya adalah bersikap positif terhadap sains. Belajar adalah petualangan sepanjang hayat untuk menciptakan pemahaman personal tiap individu. Proses belajar ini haruslah melibatkan kemampuan untuk sadar akan proses belajar dan berpikir. (Rose et al, 2006 dalam makalah Yeni Hendriyani). Berdasarkan hal tersebut di atas, pembelajaran IPA hendaknya juga menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran yang memberikan ruang gerak dan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi melalui kegiatan-kegiatan yang relevan, sehingga memungkinkan siswa merekonstruksi kembali pemahaman konseptualnya.
Penerapan pembelajaran IPA Terpadu mempengaruhi siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran dan bisa memahami materi lebih baik. Oleh karena itu, model pembelajaran IPA Terpadu dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengajarkan siswa agar lebih aktif pada pelajaran IPA. Berikut ini adalah faktor-faktor –faktor yang meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran IPA Terpadu :
1.      Guru banyak mengajukan pertanyaan yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
2.      Guru memberikan informasi pendahuluan tentang IPA Terpadu.
3.      Adanya latihan-latihan dalam LKS
4.      Pertanyaan-pertanyaan guru pada saat kegiatan pembelajaran IPA Terpadu dan adanya tugas untuk mempresentasikan hasil diskusi.
5.      Guru selalu mengaplikasikan konsep yang sedang dipelajari siswa pada lingkungan.
PISA 2006 mendefinisikan literasi sains sebagai pengetahuan scientific (ilmiah) seseorang dan penggunaan pengetahuan tersebut untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan gejala ilmiah dan untuk menggambarkan bukti-bukti yang didasarkan pada kesimpulan tentang isu yang terkait dengan sains. Berdasarkan hasil penelitian siswa terlibat ada peningkatan literasi sains dalam hal mengidentifikasi pertanyaan. Hal ini dari hasil angket siswa yang menyatakan 96,45% dari mereka sangat setuju dan setuju bahwa dengan IPA Terpadu mereka lebih mudah mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru atau teman. Hal ini terlihat dari jawaban pertanyaan LKS yang dijawab semua oleh hampir semua kelompok siswa. Namun demikian perlu banyak pembiasan, agar mereka tidak malu dan mau bertanya jika menghadapi kesulitan.
Kompetensi lain yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA Terpadu adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan gejala-gejala ilmiah, hal ini terlihat dari observasi pada saat praktikum, dimana siswa dapat memahami hubungan antara aktivitas tubuh dengan laju kecepatan pernapasan sesorang. Siswa juga mengembangkan kompetensi literatur sains yang lain yaitu kemampuan menggunakan bukti ilmiah. Hal ini terbukti dari kemampuan siswa menggunakan table hasil pengamatan untuk menyimpulkan hasil kegiatan dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesimpulan sains. Ketiga kemampuan ini sesuai dengan pernyataan Ministry of Education New Zealand bahwa ada tiga kompetensi ilmiah dalam literasi sains, yaitu kemampuan mengidentifikasi isu-isu ilmiah, kemampuan menjelaskan fenomena-fenomena secara ilmiah, dan kemampuan menggunakan bukti ilmiah.
Semua siswa menyatakan setuju bahwa setelah mempelajari IPA Terpadu, meraka menyadari bahwa IPA dan teknologi dapat mendorong pada suatu pola kebiasaan hidup tertentu yang lebih baik dan sehat. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa literasi sains siswa berkaitan dengan kemampuan menerapkan konsep dan prinsip IPA dalam kehidupan meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Rubba, 1993 dalam makalah Yeni Hendriyani) yang menyatakan bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi sains diantaranya adalah bersikap positif terhadap asins, memiliki pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains, serta mampu menerapkannya salam teknologi dan masyarakat.
Jika kita lihat dari sudut pandang bahwa melek sains juga diartikan sebagai pemahaman tentang karakteristik sains sebagai bentuk pengetahuan manusia dan inkuiri, kesadaran tentang bagaimana sains dan teknologi menghasilkan barang-barang yang kita perlukan, intelektual dan lingkungan budaya, serta kesediaan untuk terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains, maka masih ada kelemahan yang kurang dapat terjangkau dengan model pembelajaran IPA Terpadu yang telah dilakukan. Hal ini terkait dengan kesediaan untuk terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains yang masih direspon negatif oleh sebagian siswa, dimana 41,38% siswa menyatakan kurang setuju dan tidak setuju bahwa setelah memahami IPA secara terpadu, mereka bersedia melakukan sesuatu untuk menangani isu-isu yang terkait dengan sains (misalnya ikut program kampanye bahaya rokok bagi kesehatan). Menurut Dahar (1996 : 110) yang dikutip dalam makalah Yeni Hendriyani bahwa belajar bermakna akan terjadi jika peserta didik dapat menghubungkan/mengkaitkan konsep lama dengan konsep baru sehingga terbentuk suatu konsep yang mantap. Jika sudah demikian maka informasi yang disimpan sebagai konsep dapat digunakan dalam berbagai situasi, termasuk yang sangat berbeda dari yang digunakan dalam proses belajar. Oleh karena itu menjadi tugas guru untuk membiasakan siswanya di akhir kegiatan pembelajaran untuk menuliskan tindakan-tindakan positif yang dapat dia lakukan sebagai individu salama menerapkan konsep yang telah dia pelajari yang berguna bagi diri, keluarga, dan lingkungannnya. Oleh karena itu pendekatan yang paling tepat pada saat melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu adalah pendekatan STS. Dengan pendekatan ini, siswa dilatih untuk menggunakan proses-proses ilmiah dalam menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains guna memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan STS dalam pembelajaran IPA Terpadu diharapkan literasi sains siswa dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yager yang menyatakan bahwa pengajaran dengan pendekatan STS dapat meningkatkan literasi sains dan teknologi individu.



BAB III
P E N U T U P

A.    Simpulan
Dari hasil pembahasan dan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Kompetensi literasi sains yang dapat dicapai setelah pembelajaran IPA Terpadu adalah
·      Siswa lebih mudah mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan atau memecahkan permasalahan Hal ini terlihat siswa dapat menjawab pertanyaan yang diajukan guru atau teman dan menjawab pertanyaan di LKS.
·      Kemampuan siswa dalam menjelaskan gejala-gejala ilmiah, hal ini terlihat dari observasi pada saat praktikum.
·      Kemampuan menggunakan bukti ilmiah, terbukti dari kemampuan siswa menggunakan tabel hasil pengamatan untuk menyimpulkan hasil kegiatan dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesimpulan sains.
  1. Implementasi pembelajaran IPA Terpadu untuk meningkatkan motivasi dan literasi sains adalah
a.    Guru lebih banyak mengajukan pertanyaan yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
b.   Guru memberikan informasi pendahuluan tentang IPA Terpadu.
c.    Adanya latihan-latihan dalam LKS.
d.   Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan pada saat kegiatan pembelajaran IPA Terpadu dan adanya tugas untuk mempresentasikan hasil diskusi.
e.    Guru selalu mengaplikasikan konsep yang sedang dipelajari siswa pada lingkungan.

B.     Saran
  1. Perlu membiasakan berdiskusi dengan teman sejawat guru untuk mencari isu di lapangan sehingga bersifat holistik dan relevan.
  2. Literasi sains tidak terlepas dari teknologi dan masyarakat, untuk itu pendekatan yang tepat dilakukan pada pembelajaran IPA Terpadu adalah pendekatan STS.
  3. Tugas guru untuk membiasakan siswanya di akhir kegiatan pembelajaran untuk menuliskan tindakan-tindakan positif yang dapat dia lakukan sebagai individu salama menerapkan konsep yang telah dia pelajari yang berguna bagi diri, keluarga, dan lingkungannnya.
  4. Penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran ini.
Share:

No comments:

Post a Comment

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru