BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara khusus, memasuki abad ke-21
dunia pendidikan Indonesia masih mengalami masalah yaitu masih rendahnya mutu
pendidikan (Muhaimin, 2001). Hal ini disebabkan oleh belum meratanya
pembangunan di Indonesia dalam berbagai aspek dan keadaan geografis Indonesia
yang masih sulit dijangkau sehingga pembangunan dunia pendidikan masih
tertinggal dan terjadi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan
pedesaan.
Dengan kenyataan tersebut
dikhawatirkan Indonesia akan gagal memasuki pasar bebas pada tahun 2020.
Indikasi ke arah tersebut telah nampak pada beberapa kompetisi akademik dan
kenyataan di masyarakat. Pada tahun 2003, studi PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa
Indonesia di peringkat ke-38 dari 41 negara peserta pada bidang literasi sains.
Sedangkan pada TIMSS (Trends
Internasional in Mathematics and Science Study), Indonesia menduduki urutan
ke-34 dari 45 negara peserta. (Ali, 2006). Mutu pendidikan Indonesia yang
tercermin dalam kedua studi internasional tersebut masih belum memuaskan.
Menyadari kenyataan di atas, berbagai kebijakan telah diluncurkan
oleh pemerintah terutama kebijakan standarisasi dalam pendidikan. Dalam
implementasi kurikulum, telah dilakukan berbagai studi yang mengarah pada
peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan dan pengembangan sebagai
konsekuensi dari suatu inovasi pendidikan. Sebagai salah satu bentuk efisiensi
dan efektivitas implementasi kurikulum dikembangkan berbagai model implementasi
kurikulum. Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implemntasi
kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan.
Model pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan pendekatan
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun
kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara
holistic dan atentik (Depdikbud, 1996:3 dalam Dekdiknas, 2006). Pembelajaran
ini merupakan model yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan (Beane, 1995
; 615 dalam Depdiknas, 2006). Melalui pembelajaran IPA terpadu, peserta didik
dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk
mencari, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajari. Dengan
demikian, peserta didik terlatih untuk menemukan sendiri berbagai konsep yang
dipelajari secara menyeluruh (holistik), bermakna, otentik, dan aktif.
Hasil penelitian tentang pendidikan IPA di Australia menunjukkan
bahwa tujuan utama pendidikan IPA akan dapat berkontribusi terhadap
kesejahteraan baik dari aspek social maupun ekonomi. Memang di berbagai Negara
maju sejak beberapa tahun ini, literasi sain merupakan prioritas utama dalam
pendidikan IPA. Salah satu strategi untuk meningkatkan literasi sains adalah
dengan pembelajaran IPA terpadu.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja kompetensi literasi
sains yang dapat dicapai setelah pembelajaran IPA Terpadu ?
2.
Bagaimana implementasi pembelajaran
IPA Terpadu untuk meningkatan motivasi dan literasi sains siswa?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Literasi Sains
Literasi sains terbentuk dari 2 kata, yaitu literasi dan sains.
Secara harfiah literasi berasal dari kata Literacy yang berarti melek
huruf/gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1990). Sedangkan
istilah sains berasal dari bahasa inggris Science yang berarti ilmu
pengetahuan. Pudjiadi (1987) mengatakan bahwa: “sains merupakan sekelompok
pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh dari pemikiran dan
penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen
menggunakan metode ilmiah”.
Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti
dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2000). Literasi sains
menurut National Science Education
Standards (1995) adalah:
Scientific
literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes
required for personal decision making, participation in civic and cultural
affairs, and economic productivity. It also includes specific types of
abilities.
Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai
konsep dan proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu
keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal
kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan
spesifik yang dimilikinya. Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman
atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008).
Antara sains dan teknologi saling melengkapi satu dengan yang
lainnya. Penemuan dalam sains memungkinkan pengembangan teknologi, dan
teknologi menyediakan instrument yang baru lagi yang memungkinkan mengadakan
observasi dan eksperimentasi dalam sains. Hurd dalam tulisannya yang berjudul “A Rationale for Science, Technology, and
Society Theme in Science Education”, mengutip pendapat Price yang
menyatakan teknologi yang tinggi berdasarkan sains, sains modern ditunjang oleh
penemuan teknologi (Hurd, 1985 : 98, dalam buku Hakekat pendekatan science and
society dalam pembelajaran sains).
Menurut Widyawatiningtyas (http://educare.e-fkipunla.net), Literasi
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis, atau kemampuan
berkomunikasi melalui tulisan dan kata-kata. Literasi sains (scientific
literasi), dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi
kebutuhan masyarakat.
Literasi sains atau scientific
literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan
ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan
berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan
tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap
suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa,
apakah meneruskan mempelajari sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah
merupakan tuntutan warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi
sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan
yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang
digunakan dalam PISA tidak termasuk bahwa orang-orang dewasa masa yang akan
datang akan memerlukan cadangan pengetahuan ilmiah yang banyak. Yang penting
adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah tentang bukti yang akan mereka
hadapi.
Hasil penelitian PISA (the
Programme for International Student Assessment ) tahun 2000 dan tahun 2003
menunjukkan bahwa literasi siswa-siswa Indonesia tersebut diduga baru mampu
mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana (Rustaman, 2006b).
Hal ini dikuatkan oleh Dasar Pemikiran yang ditulis pada Panduan Seminar Sehari
Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika,
Sains, dan Membaca, yang menyebutkan bahwa salah satu sebab rendahnya mutu
lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama
ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua
bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi
terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru (teacher
centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan
dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan,
mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Panduan Seminar Sehari Hasil
Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains,
dan Membaca, 2006).
Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang mau
belajar dari kemajuan negara lain, begitu pula untuk kurikulum terutama
kurikulum IPA. Kurikulum IPA perlu mengacu pada hakikat IPA itu
sendiri, sebagaimana tampak implementasinya pada konten/materi literasi sains
oleh PISA dan materi pencapaian sains oleh TIMSS (Rustaman, 2006ª) di atas.
Selain itu, Kurikulum IPA perlu juga mengkaji dan membandingkan dengan
kurikulum IPA di negara-negara maju.
Kajian kurikulum pendidikan IPA dan
perbandingannya dengan kurikulum pendidikan IPA di negara-negara maju, maka dapat
diperoleh pokok-pokok pikiran untuk pengembangan kurikulum sains ke depan
adalah sebagai berikut:
1.
Penggolongan standar isi untuk
seluruh tingkatan kelas sama, perbedaan terletak pada kesesuaian antara dimensi
pengetahuan (knowledge) dan dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan
berisi empat katagori, yaitu: pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif. Keempat katagori diasumsikan terletak antara konkret
(faktual) sampai abstrak (metakognitif). Adapun dimensi proses kognitif meliputi:
mengingat, mengerti, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta
(Anderson & Krathwohl, 2001: 5).
2.
Pada pengajaran sains, guru
hendaknya: (a) mengajar sains berbasis inkuiri; (b) mengarahkan, membimbing dan
memfasilitasi; (c) menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa; (d)
merancang lingkungan belajar sedemikian rupa untuk sumber pembelajaran
kontekstual; (e) menciptakan kelompok belajar sains.
3.
Penilaian pembelajaran
hendaknya menekankan pada aspek yang penting untuk dinilai dalam jangka panjang,
yang nantinya dapat digunakan untuk belajar lebih lanjut, termasuk penilaian
kinerja atau penilaian otentik, berdasarkan data, dan jujur.
Dasar pemikiran yang berkembang dari hal-hal tersebut di atas bahwa
adalah sains melandasi perkembangan teknologi, sedangkan teknologi menunjang
perkembangan sains, sains terutama digunakan untuk aktivitas discovery dalam
upaya memperoleh penjelasan tentang objek dan fenomena alam, namun juga untuk
aktivitas penemuan (invention), misalnya dalam penemuan rumus-rumus.
1.
Komponen dan
Aspek-aspek dalam Literasi Sains
Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika
menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004
dikutib dari http://utlebaksiu.wordpress.com/2011/03/26/literasi-sains-dan-aspek-pengukurannya/).
PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi
sains, yaitu:
1)
Mengenal pertanyaan ilmiah,
yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi
pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
2)
Mengidentifikasi bukti yang
diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau
pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu
penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
3)
Menarik dan mengevaluasi
kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan
bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu.
4)
Mengkomunikasikan kesimpulan
yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari
bukti yang tersedia.
5)
Mendemonstrasikan pemahaman
terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam
situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.
2.
Pengukuran Literasi
Sains
PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam
pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains.
Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengi-denifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya
mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains,
mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta
mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada. Konten sains merujuk
pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan
perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan
ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada
pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula
pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain.
Konsep-konsep tersebut diambil dari bidang-bidang studi biologi, fisika, kimia, serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa, yang terkait pada tema-tema utama berikut: struktur dan sifat materi, perubahan atmosfer, perubahan fisis dan perubahan kimia, transformasi energi, gerak dan gaya, bentuk dan fungsi, biologi manusia, perubahan fisiologis, keragaman mahluk hidup, pengendalian genetik, ekosistem, bumi dan kedudukannya di alam semesta serta perubahan geologis.
Konsep-konsep tersebut diambil dari bidang-bidang studi biologi, fisika, kimia, serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa, yang terkait pada tema-tema utama berikut: struktur dan sifat materi, perubahan atmosfer, perubahan fisis dan perubahan kimia, transformasi energi, gerak dan gaya, bentuk dan fungsi, biologi manusia, perubahan fisiologis, keragaman mahluk hidup, pengendalian genetik, ekosistem, bumi dan kedudukannya di alam semesta serta perubahan geologis.
B.
Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam
Carin dan Sund (1993) mendefinisikan
IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun
secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil
observasi dan eksperimen”.
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan ilmiah, yaitu
pengetahuan yang telah mengalami uji kebenaran melalui metode ilmiah, dengan
ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang pokok
bahasannya adalah alam dan segala isinya.
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu:
1. Sikap: rasa ingin
tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat
yang menimbulkan masalah baru yang dapat
dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA
bersifat open ended;
2. Proses: prosedur
pemecahan masalah melalui metode ilmiah;
metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau
percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;
3. Produk: berupa fakta,
prinsip, teori, dan hukum;
4. Aplikasi: penerapan
metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
C.
Tujuan Pembelajaran IPA Terpadu
Tujuan pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai
berikut.
1.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pembelajaran
Dalam Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai peserta didik masih dalam
lingkup bidang kajian energi dan perubahannya, materi dan sifatnya, dan makhluk
hidup dan proses kehidupan. Banyak ahli yang menyatakan pembelajaran IPA yang disajikan secara disiplin keilmuan
dianggap terlalu dini bagi anak usia 7-14 tahun, karena anak pada usia ini
masih dalam transisi dari tingkat berpikir operasional konkret ke berpikir
abstrak. Selain itu, peserta didik melihat dunia sekitarnya masih secara
holistik. Atas dasar itu, pembelajaran IPA
hendaknya disajikan dalam bentuk yang utuh dan tidak parsial. Di samping
itu pembelajaran yang disajikan terpisah-pisah dalam energi dan perubahannya,
makhluk hidup dan proses kehidupan, materi dan sifatnya, dan bumi-alam semesta
memungkinkan adanya tumpang tindih dan pengulangan, sehingga membutuhkan waktu
dan energi yang lebih banyak, serta membosankan bagi peserta didik. Bila konsep
yang tumpang tindih dan pengulangan dapat dipadukan, maka pembelajaran akan
lebih efisien dan efektif.
Keterpaduan bidang
kajian dapat mendorong guru untuk mengembangkan kreativitas tinggi karena
adanya tuntutan untuk memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi
yang lain. Guru dituntut memiliki kecermatan, kemampuan analitik, dan kemampuan
kategorik agar dapat memahami keterkaitan atau kesamaan materi maupun
metodologi.
2.
Meningkatkan minat dan motivasi
Pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi
guru untuk mengembangkan situasi pembelajaan yang utuh, menyeluruh, dinamis, dan bermakna
sesuai dengan harapan dan kemampuan guru, serta kebutuhan dan kesiapan peserta
didik. Dalam hal ini, pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi pengembangan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tema yang disampaikan.
Pembelajaran IPA Terpadu dapat mempermudah
dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami
keterkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan dan nilai atau tindakan
yang termuat dalam tema tersebut. Dengan
model pembelajaran yang terpadu dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari,
peserta didik digiring untuk berpikir luas dan mendalam untuk menangkap dan
memahami hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya peserta didik
akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh, sistimik, dan
analitik. Peserta didik akan lebih termotivasi dalam belajar bila mereka merasa
bahwa pembelajaran itu bermakna baginya, dan bila mereka berhasil menerapkan
apa yang telah dipelajarinya.
3.
Beberapa kompetensi dasar dapat dicapai sekaligus
Model pembelajaran IPA terpadu dapat menghemat
waktu, tenaga, dan sarana, serta biaya karena pembelajaran beberapa kompetensi
dasar dapat diajarkan sekaligus. Di samping itu, pembelajaran terpadu juga
menyederhanakan langkah-langkah pembelajaran. Hal ini terjadi karena adanya
proses pemaduan dan penyatuan sejumlah standar kompetensi, kompetensi dasar, dan
langkah pembelajaran yang dipandang memiliki kesamaan atau keterkaitan.
D.
Konsep Pembelajaran IPA
Terpadu
Lingkup IPA di tingkat SMP/MTs meliputi bidang
kajian energi dan perubahannya (Fisika), bumi antariksa (IPBA), makhluk hidup
dan proses kehidupan (Biologi), serta materi dan sifatnya (Kimia). Menurut
Permendiknas No. 22 tahun 2006, lingkup IPA tersebut dibelajarkan dalam satu
mata pelajaran IPA. Pelaksanaan pembelajaran IPA seyogyanya juga memberi
penekanan pada pembelajaran salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat). Karena itulah perlu dikembangkan pembelajaran IPA secara terpadu,
yaitu suatu pendekatan pembelajaran
IPA yang menghubungkan atau menyatupadukan berbagai bidang kajian IPA menjadi
satu kesatuan bahasan. Pembelajaran IPA secara terpadu juga harus
mencakup dimensi sikap, proses, produk, aplikasi, dan kreativitas. Dengan
pembelajaran IPA terpadu, diharapkan siswa mempunyai pengetahuan IPA yang
utuh (holistik) untuk memecahkan permasalahan kehidupan sehari-hari secara kontekstual.
Agar siswa kompeten dalam pemecahan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, pembelajaran IPA terpadu mestinya
dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah
serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup (life
skills). Pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan
dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah adalah karakteristik lain
dari pembelajaran IPA terpadu.
Keterampilan proses yang harus dilatihkan melalui
pembelajaran IPA terpadu, antara lain: mengidentifikasi masalah, melakukan
pengamatan (observasi), menyusun hipotesis, merancang dan melakukan
penyelidikan, dan merumuskan simpulan. Keterampilan inkuiri lain yang
mewarnai pembelajaran IPA terpadu adalah: mengukur, menggunakan peralatan,
menggolongkan atau melakukan klasifikasi, mengolah dan menganalisis data,
menerapkan ide pada situasi baru, serta mengkomunikasikan informasi dalam berbagai
cara, misalnya dengan gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya. Latihan
keterampilan proses dapat mengembangkan sikap dan nilai, antara lain: rasa
ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, skeptis, kritis, tekun, ulet, cermat,
disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan
bekerja sama dengan orang lain
Salah satu kunci pembelajaran
terpadu yang terdiri atas beberapa bidang kajian adalah menyediakan lingkungan
belajar yang menempatkan peserta didik mendapat pengalaman belajar yang dapat
menghubungkaitkan konsep-konsep dari berbagai bidang kajian. Pengertian terpadu di sini mengandung makna menghubungkan IPA dengan
berbagai bidang kajian (Carin 1997;236). Lintas bidang kajian dalam IPA adalah mengkoordinasikan berbagai disiplin ilmu
seperti makhluk hidup dan proses kehidupan, energi dan perubahannya, materi dan
sifatnya, geologi, dan astronomi. Sebenarnya IPA dapat juga dipadukan dengan
bidang kajian lain di luar bidang kajian IPA dan hal ini lebih sesuai untuk
jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Mengingat pembahasan materi IPA pada tingkat
lebih tinggi semakin luas dan mendalam, maka pada jenjang pendidikan SMP/MTs
dan SMA/MA, akan lebih baik bila keterpaduan dibatasi pada bidang kajian yang
termasuk bidang kajian IPA saja. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlalu banyak
guru yang terlibat, yang akan membuka peluang timbulnya kesulitan dalam
pembelajaran dan penilaian, mengingat semakin tinggi jenjang pendidikan, maka
semakin dalam dan luas pula pemahaman konsep yang harus diserap oleh peserta
didik.
E. Hasil Penelitian
Dari tahap perancangan program
tersusun tiga buah program pengajaran dengan tema Rokok dan Kesehatan, Tranformasi
Energi pada Tumbuhan Hijau, Wujud Zat serta Perubahan Fisika dan Kimia.
Dari hasil pengolahan data teruji kesiapan
dan persepsi terhadap pembelajaran IPA terpadu, diperoleh informasi sebagai
berikut :
Rata-rata skor untuk kesiapan guru
dalam melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu adalah 4,37, sedangkan rata-rata
skor untuk persepsi guru tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah sebesar 4,52.
Maka dapat dismpulkan bahwa kesiapan guru tentang pembelajaran IPA terpadu
adalah positif, sedangkan persepsi guru tentang pembelajaran IPA terpadu adalah
sangat positif.
Semua guru menyadari bahwa
pembelajaran IPA Terpadu memerlukan persiapan yang lebih baik. Dimana semua
guru menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa pembelajaran IPA Terpadu
menuntut adanya kerjasama di antara guru IPA. Kerjasama ini terwujud dimulai
dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Dalam proses perencanaan
RPP Pembelajaran IPA Terpadu dibuat berdasarkan adanya keterkaitan yang
dirumuskan dalam suatu tema. Dengan demikian pembelajaran terpadu memberikan
peluang bagi guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang utuh,
menyeluruh, dinamis, dan bermakna sesuai dengan harapan dan kemampuan guru,
serta kebutuhan dan kesiapan peserta didik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran IPA Terpadu dapat
memudahkan dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan
memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan dan nilai atau
tindakan yang termuat dalam tema tersebut. Dengan model pembelajaran yang
terpadu dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, peserta didik digiring untuk
berpikir luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami konseptual yang
disajikan guru. Selanjutnya peserta didik akan terbiasa berpikir terarah,
teratur, utuh, menyeluruh ,sistematik, dan analitik. Peserta didik akan
termotivasi dalam belajar bila mereka merasa bahwa pembelajaran ini bermakna
baginya, dan bila mereka berhasil menerapkan apa yang telah dipelajarinya.
Dari model pembelajaran IPA terpadu guru mendapatkan wawasan baru
tentang aplikasi suatu metode pembelajaran. Hal yang harus diperhatikan guru
pada model pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai berikut :
1)
Koordinasi yang baik antar guru
IPA dalam membuat perencanaan pembelajaran yang berkaitan dengan pemilihan dan
penetapan topic pemersatu, perumusan indicator, silabus dan RPP yang sesuai
tema.
2)
Pemilihan sumber belajar yang
bervariasi dan metode yang sesuai dengan hakikat IPA.
3)
Pembagian tugas dan kegiatan
yang jelas pada saat kegiatan pembelajaran, sehingga masing-masing guru dapat
saling mengisi, mengkuatkan, dan menunjukkan adanya kesalingterkaitan konsep.
Literasi sains dan persepsi siswa tentang pembelajaran
IPA Terpadu
Dari hasil data persepsi siswa terhadap pembelajaran IPA Terpadu,
diketahui bahwa rata-rata skor angket adalah 4,58 maka dapat disimpulkan bahwa
persepsi siswa tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah positif.
Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa siswa lebih termotivasi
dengan IPA Terpadu dapat dilihat dari respon siswa yang menyatakan sangat
setuju bahwa pembelajaran hendaknya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, ada
informasi pendahuluan, latihan-latihan dalam LKS, serta guru mengajukan
pertanyan-pertanyaan pada saat demonstrasi IPA Terpadu dan presentasi hasil
diskusi. Materi juga menjadi lebih menarik dan lebih bermakna karena guru
selalu mengaplikasinya pada lingkungan. Hal ini dijadikan selalu diperhatikan
dan dilaksanakan oleh guru.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa Pembelajaran IPA Terpadu
meningkatkan motivasi belajar, dengan demikian model pembelajaran ini membuat
siswa berpikir tentang sains. Seperti oleh (Rubba, 1993 dalam makalah Yeni Hendriyani)
bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi diantaranya adalah bersikap
positif terhadap sains. Belajar adalah petualangan sepanjang hayat untuk
menciptakan pemahaman personal tiap individu. Proses belajar ini haruslah
melibatkan kemampuan untuk sadar akan proses belajar dan berpikir. (Rose et al,
2006 dalam makalah Yeni Hendriyani). Berdasarkan hal tersebut di atas,
pembelajaran IPA hendaknya juga menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran
yang memberikan ruang gerak dan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
eksplorasi melalui kegiatan-kegiatan yang relevan, sehingga memungkinkan siswa
merekonstruksi kembali pemahaman konseptualnya.
Penerapan pembelajaran IPA Terpadu mempengaruhi siswa untuk lebih
aktif dalam proses pembelajaran dan bisa memahami materi lebih baik. Oleh
karena itu, model pembelajaran IPA Terpadu dapat dijadikan sebagai alternatif
untuk mengajarkan siswa agar lebih aktif pada pelajaran IPA. Berikut ini adalah
faktor-faktor –faktor yang meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran IPA
Terpadu :
1.
Guru banyak mengajukan
pertanyaan yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
2.
Guru memberikan informasi
pendahuluan tentang IPA Terpadu.
3.
Adanya latihan-latihan dalam
LKS
4.
Pertanyaan-pertanyaan guru pada
saat kegiatan pembelajaran IPA Terpadu dan adanya tugas untuk mempresentasikan
hasil diskusi.
5.
Guru selalu mengaplikasikan
konsep yang sedang dipelajari siswa pada lingkungan.
PISA 2006 mendefinisikan literasi sains sebagai pengetahuan scientific (ilmiah) seseorang dan
penggunaan pengetahuan tersebut untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan,
memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan gejala ilmiah dan untuk menggambarkan
bukti-bukti yang didasarkan pada kesimpulan tentang isu yang terkait dengan
sains. Berdasarkan hasil penelitian siswa terlibat ada peningkatan literasi
sains dalam hal mengidentifikasi pertanyaan. Hal ini dari hasil angket siswa
yang menyatakan 96,45% dari mereka sangat setuju dan setuju bahwa dengan IPA
Terpadu mereka lebih mudah mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
guru atau teman. Hal ini terlihat dari jawaban pertanyaan LKS yang dijawab
semua oleh hampir semua kelompok siswa. Namun demikian perlu banyak pembiasan,
agar mereka tidak malu dan mau bertanya jika menghadapi kesulitan.
Kompetensi lain yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA
Terpadu adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan gejala-gejala ilmiah, hal ini
terlihat dari observasi pada saat praktikum, dimana siswa dapat memahami
hubungan antara aktivitas tubuh dengan laju kecepatan pernapasan sesorang.
Siswa juga mengembangkan kompetensi literatur sains yang lain yaitu kemampuan
menggunakan bukti ilmiah. Hal ini terbukti dari kemampuan siswa menggunakan
table hasil pengamatan untuk menyimpulkan hasil kegiatan dan menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan kesimpulan sains. Ketiga kemampuan ini sesuai
dengan pernyataan Ministry of Education
New Zealand bahwa ada tiga kompetensi ilmiah dalam literasi sains, yaitu
kemampuan mengidentifikasi isu-isu ilmiah, kemampuan menjelaskan
fenomena-fenomena secara ilmiah, dan kemampuan menggunakan bukti ilmiah.
Semua siswa menyatakan setuju bahwa setelah mempelajari IPA Terpadu,
meraka menyadari bahwa IPA dan teknologi dapat mendorong pada suatu pola
kebiasaan hidup tertentu yang lebih baik dan sehat. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa literasi sains siswa berkaitan dengan kemampuan menerapkan
konsep dan prinsip IPA dalam kehidupan meningkat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan (Rubba, 1993 dalam makalah Yeni Hendriyani) yang menyatakan bahwa
karakteristik individu yang memiliki literasi sains diantaranya adalah bersikap
positif terhadap asins, memiliki pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains,
serta mampu menerapkannya salam teknologi dan masyarakat.
Jika kita lihat dari sudut pandang bahwa melek sains juga diartikan
sebagai pemahaman tentang karakteristik sains sebagai bentuk pengetahuan
manusia dan inkuiri, kesadaran tentang bagaimana sains dan teknologi
menghasilkan barang-barang yang kita perlukan, intelektual dan lingkungan
budaya, serta kesediaan untuk terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains,
maka masih ada kelemahan yang kurang dapat terjangkau dengan model pembelajaran
IPA Terpadu yang telah dilakukan. Hal ini terkait dengan kesediaan untuk
terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains yang masih direspon negatif
oleh sebagian siswa, dimana 41,38% siswa menyatakan kurang setuju dan tidak
setuju bahwa setelah memahami IPA secara terpadu, mereka bersedia melakukan
sesuatu untuk menangani isu-isu yang terkait dengan sains (misalnya ikut program
kampanye bahaya rokok bagi kesehatan). Menurut Dahar (1996 : 110) yang dikutip
dalam makalah Yeni Hendriyani bahwa belajar bermakna akan terjadi jika peserta
didik dapat menghubungkan/mengkaitkan konsep lama dengan konsep baru sehingga
terbentuk suatu konsep yang mantap. Jika sudah demikian maka informasi yang
disimpan sebagai konsep dapat digunakan dalam berbagai situasi, termasuk yang
sangat berbeda dari yang digunakan dalam proses belajar. Oleh karena itu
menjadi tugas guru untuk membiasakan siswanya di akhir kegiatan pembelajaran
untuk menuliskan tindakan-tindakan positif yang dapat dia lakukan sebagai
individu salama menerapkan konsep yang telah dia pelajari yang berguna bagi
diri, keluarga, dan lingkungannnya. Oleh karena itu pendekatan yang paling
tepat pada saat melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu adalah pendekatan STS.
Dengan pendekatan ini, siswa dilatih untuk menggunakan proses-proses ilmiah
dalam menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains guna
memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
pendekatan STS dalam pembelajaran IPA Terpadu diharapkan literasi sains siswa
dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yager yang menyatakan bahwa
pengajaran dengan pendekatan STS dapat meningkatkan literasi sains dan
teknologi individu.
BAB III
P E N U T U P
A.
Simpulan
Dari
hasil pembahasan dan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :
- Kompetensi
literasi sains yang dapat dicapai setelah pembelajaran IPA Terpadu adalah
·
Siswa lebih mudah
mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan atau memecahkan permasalahan Hal ini
terlihat siswa dapat menjawab pertanyaan yang diajukan guru atau teman dan
menjawab pertanyaan di LKS.
·
Kemampuan siswa dalam
menjelaskan gejala-gejala ilmiah, hal ini terlihat dari observasi pada saat
praktikum.
·
Kemampuan menggunakan bukti
ilmiah, terbukti dari kemampuan siswa menggunakan tabel hasil pengamatan untuk
menyimpulkan hasil kegiatan dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan
kesimpulan sains.
- Implementasi
pembelajaran IPA Terpadu untuk meningkatkan motivasi dan literasi sains
adalah
a.
Guru lebih banyak mengajukan
pertanyaan yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
b.
Guru memberikan informasi
pendahuluan tentang IPA Terpadu.
c.
Adanya latihan-latihan dalam
LKS.
d.
Guru memberikan
pertanyaan-pertanyaan pada saat kegiatan pembelajaran IPA Terpadu dan adanya
tugas untuk mempresentasikan hasil diskusi.
e.
Guru selalu mengaplikasikan
konsep yang sedang dipelajari siswa pada lingkungan.
B.
Saran
- Perlu membiasakan
berdiskusi dengan teman sejawat guru untuk mencari isu di lapangan
sehingga bersifat holistik dan relevan.
- Literasi
sains tidak terlepas dari teknologi dan masyarakat, untuk itu pendekatan
yang tepat dilakukan pada pembelajaran IPA Terpadu adalah pendekatan STS.
- Tugas
guru untuk membiasakan siswanya di akhir kegiatan pembelajaran untuk
menuliskan tindakan-tindakan positif yang dapat dia lakukan sebagai
individu salama menerapkan konsep yang telah dia pelajari yang berguna
bagi diri, keluarga, dan lingkungannnya.
- Penerapan
pendidikan karakter dalam pembelajaran ini.
No comments:
Post a Comment