Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

Menyusun Kuesioner (Daftar Pertanyaan)

Langkah awal dalam menyusun desain instrument adalah membuat kuesioner, yaitu daftar pertanyaan‐pertanyaan yang disusun secara tertulis. Kuesioner ini bertujuan untuk memperoleh data berupa jawaban‐jawaban para responden. Dalam menyusun kuesioner, peneliti harus memperhatikan hal‐hal berikut ini:

1. Apakah pertanyaan itu perlu?
Pertanyaan harus ditanyakan hanya apabila diperlukan untuk menjawab masalah penelitian.
2. Bagaimana pertanyaan itu sebaiknya diajukan?
Pertanyaan harus disusun secara cermat dan diujicobakan agar sesuai dengan yang dimaksud oleh peneliti.
3. Apakah bentuk pertanyaannya terbuka ataukah tertutup?
Keputusan menggunakan pertanyaan terbuka atau tertutup amat tergantung dari seberapa jauh si peneliti memahami masalah penelitian.
4. Bagaimana seharusnya pertanyaan itu dirumuskan?
Pertanyaan‐pertanyaan yang spesifik lebih dianjurkan dibanding pertanyaan bersifat umum. Sedapat mungkin dihindari menggunakan frase atau istilah yang menimbulkan persepsi ganda atau membingungkan.
5. Bagaimana format jawaban disusun
Hal ini berkaitan dengan alternative jawaban yang digunakan dan urutan alternative jawaban.
6. Apa teknik skala yang sebaiknya digunakan?
Ada dua teknik skala utama yang sering digunakan: Pertama dengan rating scales (skala penilaian), dimana dievaluasi suatu dimensi orang, objek, atau fenomena pada suatu titik dalam suatu rentang/kategori. Kedua dengan attitude scales yaitu suatu kumpulan alat pengukuran yang mengukur tanggapan individu terhadap suatu objek atau fenomena.

Desain Instrumen
Proses menyusun desain instrument pada dasarnya adalah suatu seni. Hal utama yang harus diperhatikan dalam desain instrument:
1. Urutan Skala dan Layout
Penyajian dan organisasi instrument pengumpulan data amat menentukan dalam sukses tidaknya penelitian. Isu sentral pada tahap ini adalah urutan skala dan penyajian alat pengukuran dalam bentuk yang menarik dan mudah dimengerti.
2. Pratest dan Perbaikan
Pratest sebaiknya dilakukan pada sejumlah responden yang sama dengan responden penelitian yang sebenarnya. Pratest seringkali dapat mengidentifikasi masalah dalam penyusunan kata‐kata, format kuesioner dan lain‐lain, yang amat berpengaruh terhadap validitas penemuan dari penelitian tersebut. Bila masalah‐masalah tersebut dapat ditemui, maka peneliti dapat membuat perubahan‐perubahan seperlunya agar dapat memperoleh data dengan kualitas yang tinggi.

Semoga bermanfaat.

Baca juga:

Analisis statistik Validitas dan Reliabilitas
Share:

Strategi Pembelajaran Kimia Era Digital

Konsep pembelajaran kimia era digital harus didukung dengan komputer, internet dan isi (teori pembelajaran dan subtansi materi kimia). Komputer dan internet merupakan infrastruktur yang tergantung dari luar, yaitu vendor penyedia teknologi, yang pada awalnya dapat dipilih tetapi selanjutnya harus mengikuti sistem tersebut. Isi sangat bervariasi tetapi tentunya harus sesuai dengan kebutuhan pengguna (user). Pengguna adalah mahasiswa,  dosen dan  pengelola, oleh karena itu suatu isi yang baik harus mencakup kebutuhan ketiganya. Untuk mendapatkan kesuksesan penerapan strategi pembelajaran kimia era digital dari sisi pembelajaran (mahasiswa dan dosen) maka isi yang dihasilkan dosen mempunyai peran yang cukup besar. Tulisan ini mencoba menelaah lebih jauh bagaimana strategi mengelola isi pembelajaran kimia era digital dari sisi dosen . Suatu usulan skenario pembelajaran untuk menyambut era pembelajaran dalam konsep kampus digital.

Abstrak
Konsep pembelajaran kimia era digital harus didukung dengan komputer, internet dan isi (teori pembelajaran dan subtansi materi kimia). Komputer dan internet merupakan infrastruktur yang tergantung dari luar, yaitu vendor penyedia teknologi, yang pada awalnya dapat dipilih tetapi selanjutnya harus mengikuti sistem tersebut. Isi sangat bervariasi tetapi tentunya harus sesuai dengan kebutuhan pengguna (user). Pengguna adalah mahasiswa,  dosen dan  pengelola, oleh karena itu suatu isi yang baik harus mencakup kebutuhan ketiganya. Untuk mendapatkan kesuksesan penerapan strategi pembelajaran kimia era digital dari sisi pembelajaran (mahasiswa dan dosen) maka isi yang dihasilkan dosen mempunyai peran yang cukup besar. Tulisan ini mencoba menelaah lebih jauh bagaimana strategi mengelola isi pembelajaran kimia era digital dari sisi dosen . Suatu usulan skenario pembelajaran untuk menyambut era pembelajaran dalam konsep kampus digital.

Pendahuluan
Strategi pembelajaran kimia era digital adalah sebuah ide, gagasan atau konsep baru bagi mahasiswa dan dosen di Universitas Palangka Raya khususnya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Kimia (UPR FKIP JPMIPA PRODI Pendidikan Kimia). Penggunaan komputer atau tablet PC sudah tidak asing lagi bagi dosen dan mahasiswa UPR FKIP JPMIPA PRODI Pendidikan Kimia. Bahkan akses internet dapat dijangkau di seluruh area kampus, namun sayangnya hanya beberapa titik area yang dapat menggunakan akses internet yang telah disediakan oleh universitas, sebagian besar titik yang lain hanya dapat diakses dengan jaringan internet yang disediakan provider telekomunikasi misalnya XL, Simpati, As, Three, Mentari, dan IM3. Strategi pembelajaran kimia era digital (atau dapat disebut era kampus digital) tentu sangat menguntungkan bagi mahasiswa dan dosen. Pada era kampus digital, semestinya perpustakaan sudah dapat diakses 24 jam langsung dari rumah atau dari mana saja, tugas dikumpulkan melalui email, pengumuman kampus dapat diakses tanpa harus pergi ke kampus, dan sebagainya.

Teknologi Informasi (TI) adalah dasar pengembangan strategi pembelajaran kimia era digital, tentunya didukung oleh tiga komponen utama yaitu komputer, internet dan isi. Dua komponen pertama akan berfungsi sebagai infrastruktur yang kualitasnya tergantung dari penyedia (vendor), sedangkan komponen isi tidak sepenuhnya dapat dijamin keberhasilannya karena tergantung dari manusia-manusia pengelola maupun penggunanya.

Kompetensi SDM pengelola sistem TI tidak perlu dibicarakan karena mereka tentu dipilih yang profesional dan selama ada koordinasi serta pelatihan yang baik, pastilah sistem TI dapat bekerja sesuai spesifikasi yang diminta. Jadi, yang memerlukan persiapan baik adalah para pengguna umum, yaitu pengguna statis dan dinamis.

Pengguna statis adalah para operator komputer, yang mengoperasikan komputer sebagai bagian dari prosedur kerjanya yang bersifat rutinitas. Kesiapan pengguna statis dapat segera diusahakan, misalnya dengan pelatihan intensif maupun akibat kebiasaan mengerjakan tugasnya secara rutin dan terkontrol, sehingga pada akhirnya rutinitas pekerjaan tersebut dapat berproses dengan lancar. Pengguna statis kebanyakan terdiri dari karyawan staff (manajemen, pelayanan dan administrasi) yang bertugas memasukkan data berdasarkan format yang telah ditentukan, maupun pengetikan surat-surat berdasarkan permintaan tertentu yang formatnya sudah baku dan sebagainya. Berkaitan dengan baku, hal itu mudah dipahami karena terkait dengan sifat konsisten, stabil dan tidak sering berubah-ubah.

Pengguna dinamis, suatu istilah yang diberikan kepada sekelompok atau perseorangan yang dalam kapasitasnya mempunyai kewenangan dan mampu untuk secara kreatif membuat terobosan baru di luar rutinitasnya. Pengguna dinamis membuat atau mengembangkan isi sedemikian rupa sehingga isi tersebut menjadi suatu yang bersifat dinamis, berubah, menjadi sesuatu yang selalu tumbuh dan berkembang, dan menjadi hidup. Pengguna dinamis diharapkan berasal dari staf pengajar atau dosen dan selanjutnya akan berimbas pada mahasiswa yang dibimbingnya.

Dalam mengevaluasi, harus ada tindakan yang tegas dan nyata bila isi yang dibuat mengandung materi yang bersifat asusila, SARA, plagiat, pelanggaran hak cipta atau HAKI (hak atas kekayaan intelektual). Era digital berarti masuk dalam era dimana materi-materi yang telah berbentuk digital dapat dengan mudah digandakan dan disebarluaskan tanpa mengurangi kualitas dari materi itu sendiri. Dengan demikian, bila tidak ada usaha menghormati hak cipta orang lain, maka hasil ciptaan kitapun tidak dihargai orang lain.

Tulisan berikut memberi usulan atau wacana bagaimana agar dosen dapat berperan aktif dalam membuat isi dalam hal ini konteksnya pembelajaran kimia era digital. Karena yang membedakan mutu antara pembelajaran yang utama adalah isinya. Tahapannya dimulai dengan pembentukan motivasi, kemudian diberikan kiat-kiat praktis yang disesuaikan dengan bidang profesinya serta akhirnya usulan langkah bersama yang sebaiknya dilaksanakan untuk proses pengelolan isi tersebut.


Kajian
Alamat email perlu dimiliki oleh mahasiswa baru untuk berbagai keperluan, misalnya: mengumpulkan tugas kelas, konsultasi dengan pengajar, dan komunikasi antar-mahasiswa. Email diharapkan dapat menjadi bagian kebutuhan mahasiswa.

Perlu diketahui bahwa alamat email tersebut tetap dapat diaktifkan meskipun mahasiswa tersebut telah lulus. Ini merupakan strategi jitu universitas untuk selalu dapat berhubungan dengan alumninya, misalnya untuk mendapatkan umpan balik, promosi kegiatan, dan juga fasilitas bagi alumni untuk selalu terkoneksi dengan jaringan antar alumni, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut dapat terlaksana dengan baik karena infrastruktur yang tersedia sudah sangat baik (cepat) dan andal (setiap saat dan dari mana saja dapat diakses).

Berbagai pelayanan on-line, misalnya pendaftaran email, melihat hasil ujian dan informasi karir. Selain itu, dapat juga berfungsi untuk mendukung pembelajaran di kelas, misalnya menampilkan materi yang dapat diunduh, maupun mencari laporan-laporan yang pernah terbit. Jadi, Portal Web pembelajaran digital dapat diakses setiap saat.

Mahasiswa dapat memanfaatkan web untuk mendapat informasi terkini mengenai pengumuman kampus, misalnya pembatalan kelas (jika ada), jadwal pengajaran dan ketersediaan komputer atau ruang yang dapat dipakai.

Sejak tahun 2000 kampus UKSW (tempat penulis kuliah pada waktu itu) mulai membangun jaringan kabel serat optik, sehingga pada saat ini telah terbangun jaringan ethernet dengan bandwidth lebih dari 1 gbps (giga atau milyar bit per second), konektivitas Internet ke luar UKSW dapat mencapai 10 mbps (mega atau juta bit per second). Jaringan seperti itu merupakan infrastruktur internet yang sudah mendukung untuk konsep kampus digital. Selanjutnya, universitas hanya menyediakan simpul-simpul yang terhubung ke sistem jaringan, sedangkan titik-titik akses diusahakan sendiri oleh setiap satuan kerja yang berkepentingan. Untuk mendapatkan integrasi yang baik maka Pusat Pelayanan Teknologi bertugas sebagai konsultan ahlinya.

Dapat juga kita belajar dari lingkungan kampus UGM, di situ terminal akses publik dibangun oleh masing-masing satuan kerja. FMIPA UGM telah memiliki Student Internet Center dengan kapasitas 100 unit komputer. Ada banyak unit PC yang terhubung secara langsung di jaringan internet kampus UGM.

Untuk membantu dosen dalam memakai teknologi digital, ada usaha pengadaan notebook dengan cara cicilan, di tingkat Universitas digelar di Bagian Kerjasama UGM, sedangkan di tingkat Fakultas bersifat optional misalnya di Fakultas Farmasi.

Fasiltas email diberikan untuk staf karyawan atau dosen, tetapi itu tergantung dari unit kerjanya masing-masing. Domain disediakan untuk publikasi pribadi staf akademik dan non akademik. Fasilitas tersebut dapat digunakan dosen untuk meng-on-line-kan materi digitalnya ke publik (mahasiswa khususnya).

Wawasan teknologi informasi yang terkait dengan bidang ilmu harus sudah ada dalam kurikulum perkuliahan, misalnya “bahasa pemrograman komputer atau pembelajaran tentang penggunaan komputer” di fakultas. Untuk FMIPA UPR sendiri belum memasukkan pelajaran seperti itu maka UPT Pusat Komputer (Puskom UPR) dapat mengambil alih dengan menyelenggarakan kursus-kursus lepas bersertifikat yang dapat diikuti oleh mahasiswa yang berminat.

Komponen komputer dan internet adalah produk yang sistemnya dapat dipilih dan dibeli untuk digunakan sebagai infrastruktur kampus digital. Siapa saja bisa memilikinya. Jadi, yang membedakan kampus digital satu dengan yang lain adalah pada komponen isinya, yang sifatnya spesifik dan merupakan karakteristik dari komunitas kampus digital itu sendiri. Komponen isi melekat pada setiap fasilitas pembelajaran yang diaktifkan di kampus digital tersebut, tidak bisa terpisah dari dosennya, selaku penanggung jawab materi pembelajaran.

Produktivitas komponen isi adalah mirip dengan produktivitas penulisan intelektual. Telah diketahui secara umum bahwa produktivas penulisan dosen FKIP JPMIPA UPR masih jarang, yang diindikasikan dengan adanya insentip dari institusi bagi tulisan yang memenuhi kriteria tertentu, misalnya dimuat di jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional.

Bagaimana pun kampus digital FKIP JPMIPA UPR harus segera dikonsep dan dimulai, sehingga komponen isi harus sudah dibuat dan siap untuk publikasi.

Banyak piranti yang dapat digunakan untuk membuat isi kampus digital, tetapi tentu tidak semuanya harus dipakai. Piranti di sini termasuk penguasaan aplikasi komputer. Bila bukan suatu hobby, maka penguasaan aplikasi komputer baru dapat menjadi beban yang akhirnya akan menimbulkan “kekosongan ide”.

Daftar yang diberikan di atas harus sesuai dengan latar belakang profesi. Bagi dosen tentulah identifikasi peranan tersebut harus dikaitkan dengan mata kuliah yang digelutinya. Jadi harus fokus, di JPMIPA sendiri menggunakan bahasa pemrograman komputer untuk membuat tool-tool untuk perencanaan dan desain pembelajaran MIPA.

Masing-masing dosen selanjutnya mencari tahu atau mempelajari aplikasi komputer apa saja yang dapat mendukungnya. Misalnya, yang paling umum digunakan program aplikasi yang perlu dikuasai adalah Microsoft Word ; untuk memanipulasi foto-foto maka diperlukan keterampilan mengoperasikan mesin scanner dan program Photoshop, dan sebagainya. Bila hal tersebut dapat diterapkan kepada setiap anggota kampus maka konsep kampus digital akan terlaksana dengan baik.

Kesimpulan

Pengembangan konsep kampus digital memerlukan infrastruktur yang berbiaya tinggi dan perlu perencanaan yang harus sudah matang. Dosen dapat mengembangkan sistem pembelajaran yang efektif berbasis internet bila instansi yang bersangkutan telah menyediakan infrastruktur yang cukup, tetapi juga kreativitas dan kemauan dosen berperan penting untuk membuat kampus digital ini menjadi nyata dan dapat berkembang.
Share:

Validitas dan Reliabilitas

Validitas
Suatu skala pengukuran disebut valid bila ia melakukan apa yang seharusnya dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Bila skala pengukuran tidak valid maka ia tidak bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur atau melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Secara konseptual, ada 3 macam validitas:
1. Validitas isi (content validity)
Validitas isi memastikan bahwa ukuran telah cukup memasukkan sejumlah item yang representative dalam menyusun sebuah konsep. Validitas isi merupakan sebuah fungsi yang menunjukkan seberapa baik dimensi dan elemen sebuah konsep digambarkan.
2. Validitas yang berkaitan dengan criteria (criterion‐related validity)
Validitas yang berkaitan dengan criteria terjadi ketika sebuah ukuran membedakan individual pada criteria yang akan diperkirakan. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan concurrent validity atau prediktive validity. Concurrent validity terjadi ketika skala yang ditetapkan dapat membedakan individual yang telah diketahui berbeda,sehingga skor untuk masing‐masing instrument harus berbeda. Prediktive validity menunjukan kemampuan sebuah instrumen pengukuran dalam membedakan individu dalam criteria masa depan.
3. Validitas konstruk (construct validity)
Validitas konstruk membuktikan seberapa bagus hasil yang diperoleh dari penggunaan ukuran sesuai dengan teori dimana pengujian dirancang. Hal ini dinilai dengan convergent validity (instrument yang memiliki korelasi tinggi) dan discriminant validity (variable yang tidak berkorelasi).

Reliabilitas
Reliabitas menunjukan konsistensi dan stabilitas dari suatu skor (skala pengukuran). Reliabilitas mencakup dua hal utama yaitu:
1. Stabilitas ukuran
Menunjukan sebuah ukuran untuk tetap stabil dan tidak rentan terhadap perubahan situasi apa pun. Terdapat dua jenis uji stabilitas, yaitu:
A. Test‐retest reliability
Yaitu koefisien reliabilitas yang diperoleh dari pengulangan pengukuran konsep yang sama dalam dua kali kesempatan.
B. Reliabilitas bentuk paralel (paralel‐form realibity)
Terjadi ketika respon dari dua penguikuran yang sebanding dalam menyusun konstruk yang sama memiliki kolerasi yang tinggi.
2. Konsistensi Internal Ukuran
Merupakan indikasi homogenitas item‐item yang ada dalam ukuran yang menyusun konstruk. Konsistensi ukuran dapat diamati melalui: Reliabilitas konsistensi antar item (konsistensi jawaban responden untuk semua item dalam ukuran) dan split‐half reliability yang menunjukkan korelasi antara dua bagian instrumen.

Semoga bermanfaat.

Baca juga:

Menyusun Kuesioner (daftar pertanyaan)
Share:

Pengukuran dalam Penelitian

Tujuan pengukuran adalah menerjemahkan karakteristik data empiris ke dalam bentuk yang dapat dianalisa oleh peneliti. Titik focus pengukuran adalah pemberian angka terhadap data empiris berdasarkan sejumlah aturan/prosedur tertentu. Prosedur ini dinamakan proses pengukuran yaitu investigasi mengenai cirri‐ciri yang mendasari kejadian empiris dan memberi angka atas ciri‐ciri tersebut. Komponen yang dibutuhkan dalam setiap pengukuran :
(1) Kejadian empiris ( empirical events).
Kejadian empiris merupakan sejumlah ciri‐ciri dari objek, individu, atau kelompok yang dapat diamati.
(2) Penggunaan angka ( the use of number).
Komponen ini digunakan untuk memberi arti bagi ciri‐ciri yang menjadi pusat perhatian peneliti. Spesifikasi tingkat pengukuran, kemudian, diberikan dengan memberi arti bagi angka tersebut.
(3) Sejumlah aturan pemetaan ( set of mapping rules).
Komponen ini merupakan pernyataan yang menjelaskan arti angka terhadap kejadian empiris. Aturan‐aturan ini menggambarkan dengan gamblang ciri‐ciri apa yang kita ukur. Aturan‐aturan pemetaan disusun oleh peneliti untuk tujuan studi.

Proses Pengukuran
Proses pengukuran dapat digambarkan sebagai sederet tahap yang saling berkaitan yang dimulai dari:
1. Mengisolasi kejadian empiris
Aktivitas ini merupakan konsekuensi langsung dari masalah identifikasi dan formulasi. Intinya kejadian empiris dirangkum dalam bentuk konsep/konstruksi yang berkaitan dengan masalah penelitian.
2. Mengembangkan konsep kepentingan
Yang dimaksud dengan konsep dalam hal ini adalah abstraksi ide yang digeneralisasi dari fakta tertentu.
3. Mendefinisikan konsep secara konstitutif dan operasional.
Definisi konstitutif mendefinisikan konsep dengan konsep lain sehingga melandasi konsep berkepentingan. Jika suatu konsep telah didefinisikan secara konstitutif dan benar, berarti konsep tersebut telah siap untuk dibedakan dengan konsep lain.
Defenisi operasional memperinci aturan pemetaan dan alat di mana variable akan diukur dalam kenyataan. Defenisi ini menyatakan prosedur yang harus diikuti oleh peneliti dalam memberikan angka terhadap konsep yang diukur. Oleh karena itu defenisi operasional akan merefleksikan dengan tepat esensi defenisi konstitutif.
4. Mengembangkan skala pengukuran.
5. Mengevaluasi skala berdasarkan reliabilitas dan validitasnya.
6. Penggunaan skala.
Tahap 4, 5 dan 6 merupakan tahap selanjutnya setelah defenisi dinyatakan dengan tepat, pemberian angka dapat dilakukan. Tujuannya utamanya adalah agar sifat‐sifat angka tersebut seiring dengan sifat‐sifat kejadian yang ingin diukur. Tugas ini dicapai oleh peneliti dengan memahami betul hakekat kejadian empiris yang diukur dan menerjemahkan pengetahuan ini dalam pemilihan dan penyusunan skala pengukuran yang mencerminkan sifat‐sifat yang sama. Skala pengukuran dapat didefeniskan sebagai suatu alat yang digunakan untuk memberikan angka terhadap objek/kejadian empiris.

Skala Pengukuran
Skala pengukuran adalah seperangkat aturan yang diperlukan untuk mengkuantitatifkan data dari pengukuran suatu variabel. Skala pengukuran ini terdiri dari:
1. Skala Nominal
Skala nominal adalah pengukuran yang dilakukan untuk membedakan memberikan kategori, memberi nama, atau menghitung fakta‐fakta. Skala nominal akan menghasilkan data nominal atau diskrit, yaitu data yang diperoleh dari pengkategorian, pemberian nama, atau penghitungan fakta‐fakta.
Contoh:
a. Berdasarkan kategori, misalnya responden dibagi berdasarkan jenis kelamin pria dan wanita.
b. Berdasarkan nama, misalnya dari penenlitian mengenai minibus di Medan ditemukan data bus menurut jalur/trayek dan diberi nama jalur 1, jalur2, jalur 3, dan seterusnya.
c. Berdasarkan data hitung, misalnya dari data PDB suatu negara ditemukan pangsa sektor pertanian sebesar 52%, sektor manufaktur sebesar 38%, dan sektor jasa sebesar 10%.
2. Skala Ordinal Tidak hanya membedakan kategori dan nama pada skala nominal, pada skala ordinal kategori‐kategori ini kemudian diberi urutan yang berjenjang. Contoh: a. Predikat kelulusan mahasiswa:
Dengan pujian                                              IPK <3,51
Sangat memuaskan                                       IPK 3,00‐3,50
Memuaskan                                                 IPK2,50‐2,99
Cukup memuaskan                                       IPK 2,00‐2,49

b. Tingkat kecantikan wanita dijenjang menjadi :
Sangat cantik                                                4
cantik                                                           3
cukup cantik                                                 2
kurang cantik                                                1

3. Skala Interval
Pada skala interval perbedaan antara satu kategori dengan kategori yang lain dapat kita ketahui. Skala interval tidak memiliki nilai nol absolut.
Contohnya: pada temperatur, nilai 0 derajat celcius tidak berarti bahwa tidak ada temperatur, nol derajat celsius berarti titik beku air dan merupaka suatu nilai. Pada skala interval ini kita juga dapat mengatakan bahwa suhu 100 derajat celsius berati lebih panas dua kali lipat dari suhu 50 derajat celsius.

4. Skala Rasio
Hampir sama dengan skala interval, hanya saja pada skala rasio nilai nol tidak mempunyai nilai dan tidak berarti apa‐apa. Misalnya : data jumlah persediaan barang menunjukkan angka 0 (nol) ini berarti pada tidak terdapat barang persediaan sama sekali.

Tipe Skala Pengukuran Pada penelitian sosial biasanya jenis skala yang digunakan adalah skala sikap. Skala sikap yang biasanya digunakan adalah: 1. Skala Likert
Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang. Biasanya cara pengisian kuisioner jenis ini dengan menggunakan cecklist atau pilihan ganda. Kemudian untuk masing‐masing sikap kemudian di beri bobot.
Contoh skala Likert adalah :
Persepsi responden
Nilai sikap
Sangat setuju (SS)                                   5
Setuju (S)                                               4
Ragu‐ragu (R)                                         3
Tidak setuju (TS)                                    2
Sangat tidak setuju (STS)                         1

2. Skala Guttman Pada skala Guttman jawaban yang diberikan sangat tegas, misalnya setuju atau tidak setuju, ya atau tidak, positif atau negatif, dan sebagainya. Contoh:
1. Setujukah anda bila Presiden mendatang dari kalangan militer?
a. Setuju
b. Tidak setuju
2. Apakah anda merasa ada perbaikan kesejahteraan pada pemerintahan saat ini?
a. Ya
b. Tidak

3. Semantic Differensial
Skala ini berbeda dengan skala Likert yang menggunakan cecklist atau pilihan ganda, pada skala ini responden langsung diberi pilihan bobot hal yang dimaksud dari yang positif sampai negatif.
Contoh:
Menurut pendapat Anda Televisi Merk X : 1. Kualitas gambar
2. Kualitas suara
3. Harga
4. Pelayanan purna jual
bagus 5 4 3 2 1 tidak bagus
bagus 5 4 3 2 1 tidak bagus
murah 5 4 3 2 1 mahal
bagus 5 4 3 2 1 tidak bagus
Bila responden memilih jawaban 5 berarti penilaiannya positif terhadap produk tersebut, bila 3 maka ia bersikap netral, dan bila jawabannya 1 maka penilaiannya negatif.

4. Skala Rating Skala rating adalah data mentah yang diperoleh berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Contoh:
Seberapa baik televisi merek X?
Berilah jawaban angka :
4 bila produk sangat baik 3 bila produk cukup baik 2 bila produk kurang baik 1 bila produk sangat tidak baik
Contoh kuesioner dengan skala rating, jawablah dengan melingkari interval jawaban.

NO      PERTANYAAN                                          INTERVAL JAWABAN
1.        Bagaimana kualitas gambar                          4  3  2  1
2.        Bagaimana kualitas suara                             4  3  2  1
3.        Bagaimana tampilan produk                         4  3  2  1
4.        Bagaimana pelayanan purna jual                   4  3  2  1

Misalnya jumlah responden 5 orang, maka kita buat tabulasi sebagai berikut:

Jumlah skor kriterium (skor tertinggi) = 4 x 4 x 5 = 80 Jumlah skor terkumpul = 52 Kualitas televisi merek X menurut responden = 52/80 = 65% dari kriteria yang ditetapkan. Secara kontinum dibuat kategori sebagai berikut:
Nilai 52 terletak pada kategori baik.

Bentuk Pertanyaan
1. pertanyaan tertutup yaitu pertanyaan yang sudah disediakan jawabannya, responden tinggal memilih saja.
2. pertanyaan terbuka yaitu bentuk pertanyaan yang tidak diikuti oleh pilihan jawaban, hal ini dilakukan bila informasi mengenai masalah yang akan dimiliki sangat sedikit sehingga responden diminta untuk memberi informasi yang lebih lengkap.
Skala pengukuran amat bervariasi. Skala yang sederhana (simple scales) adalah suatu skala yang digunakan untuk mengukur beberapa karakteristik. Misalnya Laki‐laki atau perempuan. Skala yang kompleks kompleks adalah skala yang beragam yang digunakan untuk mengukur beberapa karakteristik.
Skala mempunyai ciri‐ciri setidaknya satu dari empat tingkat pengukuran yaitu: nominal, ordinal, interval dan rasio. Untuk memilih skala yang sesuai, peneliti harus memilih peralatan yang dapat mengukur secara tepat dan konsisten apa yang harus diukur untuk mencapai tujuan pnelitian. Proses ini disebut evaluasi mengenai skala pengukuran. Dalam mengevaluasi skala pengukuran, harus dipertimbangkan dua hal yaitu validitas dan reliabilitas.

Baca juga:

Validitas dan Reliabilitas

Share:

ANALISIS SOAL KIMIA DASAR

ANALISIS SOAL KIMIA DASAR

Nopriawan Berkat Asi, S.Si., M.Pd.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Kimia Program Sarjana S1, Universitas Palangka Raya

Abstrak
Berpikir kritis sangat penting dalam pembelajaran kimia. Dalam konteks ini, pembahasan difokuskan pada analisis soal kimia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis soal yang digunakan sebagai alat ukur keterampilan berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah kimia dasar. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif, dengan bentuk penelitian studi pustaka. Peserta didik yang berpikir kritis dan memecahkan masalah kimia adalah mereka yang dapat menerapkan strategi penyelesaian soal kimia yang disajikan kepadanya dengan tepat dan berhasil menunjukkan cara penyelesaian soal. Berpikir kritis merupakan dasar pengembangan pengetahuan dan konsep kimia. Peserta didik yang mendapatkan berbagai konsep dalam konteks kimia diharapkan dapat berhasil mengenali perbedaan antara satu soal dibandingkan dengan tipe soal lainnya.
.
Kata kunci: soal kimia, berpikir kritis,  pengetahuan



Pendahuluan
Berpikir kritis telah banyak didefinisikan dalam berbagai literatur pendidikan. Menurut Elaine (2000) berpikir kritis adalah berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi. Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas untuk menganalisis, memecahkan kasus, dan mengambil keputusan. Peter, dkk (2001) mendefinisikan berpikir kritis dalam istilah mengkritik, yaitu menilai kelebihan (efektivitas dan efisiensi) suatu solusi untuk memecahkan kasus, secara khusus inti pemikiran kritis adalah mengkritik. Pushkin (2000) mendefini-sikan berpikir kritis adalah mengembang-kan kesadaran diri tentang pemikiran sendiri. Berpikir kritis dalam memecahkan kasus mempunyai ciri-ciri yang serupa dengan kemampuan kognitif “memahami”.
Masing-masing definisi yang telah dikemukakan dari berbagai sudut pandang memiliki keunikan tersendiri, tetapi ada kesamaan. Berpikir kritis melibatkan kontekstualisasi pengetahuan seseorang. Peserta didik perlu memahami dan menghargai pengetahuan atau fakta yang memiliki konteks tertentu. Peserta didik membuat keputusan berdasarkan penge-tahuannya. Mereka belajar tentang diri sendiri melalui pengetahuannya sendiri. Mereka dapat menghargai pandangan individu dengan pengetahuannya.

Kajian Teori
Secara teoritis untuk menjelaskan  arti berpikir kritis, dapat diartikan sebagai suatu kebutuhan untuk menghargai pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan pembelajaran. Dalam konteks proses belajar-mengajar kimia, pendidik mengajarkan pengetahuan, pada dasarnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir tentang pengetahuan tersebut. Pengetahuan adalah hasil dari proses berpikir peserta didik, yang dapat berupa:
1.      pengetahuan deklaratif
2.      pengetahuan prosedural
3.      pengetahuan situasional
4.      pengetahuan strategis
Pembahasan tentang hubungan antara berpikir dan pengetahuan memiliki hirarki paralel. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tingkat terendah dan sejajar dengan berpikir tingkat rendah. Pengetahuan prosedural sejajar dengan berpikir tingkat tinggi. Kombinasi pengetahuan situasional dan strategis sejajar dengan berpikir kritis.
Laura (2002) menjelaskan tujuan pembelajaran Gagne mencakup pengetahuan deklaratif yaitu mengetahui apa yang terjadi, pengetahuan prosedural adalah mengetahui bagaimana melakukan sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan deklaratif adalah kumpulan fakta, teori, peristiwa, dan benda-benda, sedangkan pengetahuan prosedural meli-batkan langkah-langkah dalam melakukan sesuatu.
            Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural merupakan algoritma atau sebaliknya, pengetahuan deklaratif meru-pakan algoritma dan pengetahuan prose-dural adalah pengetahuan konseptual. Pertimbangkan hukum kekekalan massa yang menyatakan massa zat sebelum dan sesudah reaksi adalah sama.
Agak sulit untuk membedakan istilah konseptual untuk pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Istilah konseptual didefinisikan berasal dari atau memiliki konsep, ide, atau prinsip-prinsip yang berhubungan dengan konsep; namun kurang tepat untuk menjelaskan pengetahuan deklaratif atau prosedural. Mungkin akan lebih baik untuk mempertimbangkan pengetahuan konsep-tual atau pemahaman konseptual sebagai kombinasi pengetahuan deklaratif dan prosedural. Pemahaman konseptual  ber-hubungan dengan pengetahuan deklaratif dan keterampilan dengan pengetahuan prosedural.
Relatif mudah untuk membedakan berpikir tingkat rendah dari berpikir tingkat tinggi, tetapi tidak mudah untuk membedakan berpikir tingkat tinggi dari berpikir kritis. Berpikir tingkat tinggi terjadi ketika seseorang mengambil informasi baru dan informasi disimpan dan dihubungkan dan/atau menata kembali serta memperluas informasi untuk mencapai tujuan atau kemungkinan jawaban terbaik. Sejajar dengan pengetahuan prosedural, tidak ada hubungan eksplisit untuk pengetahuan kondisional; dengan kata lain, berpikir tingkat tinggi tidak selalu melibatkan konteks perhitungan atau sesuatu yang tidak memerlukan berpikir kritis. Dalam penyelesaian soal kimia, peserta didik sering menjumpai persamaan matematika dan menurunkannya menjadi ungkapan baru terhadap penyelesaian soal multi langkah. Dalam penyelesaian soal kimia, peserta didik dapat menggabungkan pengetahuan mereka tentang rumus kimia, konversi mol-massa, dan persamaan reaksi kimia untuk menyelesaikan soal yang melibatkan stoikiometri.
Soal berikut adalah sampel butir soal ujian untuk mata kuliah Kimia Dasar di Universitas untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan kemampuan berpikir: 50ml Ammonium sulfat 0,5M ditambahkan ke dalam larutan berlebih Barium klorida. Campuran menghasilkan endapan.
1.      Jika menghasilkan 3,25 gram endapan, berapa persen yield-nya?
2.      Bagaimana kemungkinan hasil yang didapat berbeda jika menggunakan 50ml Perak nitrat 0,1M? Berikan alasan secara kuantitatif!
Sekilas, soal ini tampaknya menjadi masalah stoikiometri kompleks yang menggambarkan pemikiran tingkat tinggi. Namun, dengan melihat lebih dekat, soal ini menyajikan lebih dari sekedar hubungan molar dan satuan konversi. Sebagai contoh, peserta didik diberi larutan air sebagai reaktan, sehingga mereka harus memanfaatkan pengetahuan apriori tentang molaritas. Selain itu, karena peserta didik melakukan perhitungan yang melibatkan endapan, mereka perlu untuk membedakan bahwa konversi molar melibatkan padatan yang berbeda dari konversi molar yang melibatkan larutan. Wilayah kognitif yang terabaikan ketika mengajar dan menilai pengetahuan peserta didik tentang stoikiometri adalah bahwa pendidik kimia terkadang tidak memberikan banyak waktu dalam mempelajari reaksi yang melibatkan larutan air atau gas. Hal ini dapat memberikan peserta didik kesan bahwa masalah stoikiometri hanya melibatkan praktik berulang konversi mol-massa, mengabaikan konversi molaritas-mol dan konversi liter-mol. Dengan kata lain, pendidik kimia dapat bersalah karena menghadirkan konsep yang sangat rabun dari stoikiometri dan apa maknanya berkaitan dengan menganalisis reaksi kimia.
Selain itu, ada wilayah lain pengetahuan yang sering diabaikan oleh beberapa pendidik kimia selama penilaian, perhatikan bahwa rumus kimia reaktan tidak diberikan, tetapi nama-nama kimia. Hal yang tampaknya menjadi "seni yang hilang" adalah keterampilan menerjemahkan nama kimia menjadi rumus kimia dan sebaliknya. Lebih sering tes kimia dan buku pelajaran kimia, cenderung memberikan kedua nama kimia dan rumus kimia, sehingga mengambil kesempatan dari peserta didik untuk menunjukkan apa yang seharusnya menjadi keterampilan kimia dasar. Sekali lagi, hal itu mungkin memberikan kesan kepada peserta didik bahwa kimia hanyalah subjek memanipulasi angka untuk perhitungan daripada perhitungan yang hanya menjadi materi pelajaran. Selain itu, produk dari reaksi kimia tidak diberikan, memaksa peserta didik untuk menentukan produk dari reaktan tersebut yang merupakan reaksi substitusi ganda. Bahwa ada endapan terbentuk dan menuntut peserta didik untuk memprediksi produk endapan, berdasarkan aturan kelarutan. Sementara keterampilan ini mungkin tampak mendasar untuk pendidik kimia, pengetahuan tersebut sering diabaikan dalam penilaian peserta didik, sehingga membatasi pengetahuan mereka.
Mari perhatikan langkah-langkah penyelesaian soal, untuk menggambarkan hirarki pengetahuan dan pemikiran. Pertama, peserta didik harus menulis persamaan kimia yang benar dan setimbang untuk reaksi Amonium sulfat dengan Barium klorida. Selain itu, peserta didik harus memprediksi produk berdasarkan reaksi subtitusi ganda, serta mengidentifikasi endapan.
(NH4)2SO4(aq) + BaCl2(aq) à 2NH4Cl(aq) + BaSO4(s)
Menulis persamaan kimia yang setimbang awalnya muncul gambaran pengetahuan deklaratif dan pemikiran tingkat rendah. Namun, kita perlu menyadari bahwa ada pengetahuan prosedural dan berpikir tingkat tinggi yang terlibat juga. Peserta didik menggunakan keterampilan proses, misalnya bagaimana memprediksi produk dari reaktan berdasarkan jenis reaksi, cara menulis rumus kimia, dan bagaimana untuk menyetimbangkan persamaan. Semua keterampilan proses ini tampak algoritmik. Lebih lanjut, memprediksi endapan adalah keterampilan proses dan membutuhkan lebih dari satu langkah berpikir, karena peserta didik perlu mengetahui produk mana yang larut dalam air dan mana yang tidak.
Peserta didik perlu mengetahui bahwa amonium sulfat adalah reagen pembatas dalam reaksi ini, dan bahwa semua perhitungan akan berhubungan dengan barium sulfat dan amonium sulfat. Sekali lagi, ini juga menggambarkan pengetahuan prosedural dan berpikir tingkat tinggi, yaitu mengidentifikasi hubungan kimia dan rasio molar yang melibatkan beberapa langkah pemikiran penyelesaian soal. Hal ini diikuti perhitungan, menggambarkan pengetahuan prosedural dan berpikir tingkat tinggi, karena algoritma matematika yang diperlukan.
a)      mol (NH4)2SO4 = (50ml)(0,5mol/L) (10-3L/ml) = 0,025mol
b)      sesuai teori, mol BaSO4 setara dengan mol (NH4)2SO4 = 0,025mol
c)      yield teoritis BaSO4 = (0,025mol) (233,39g/mol) = 5,83g
d)     persen yield = yield aktual/yield teoritis = 3,25g/5,83g = 0,557 = 55,7%
Namun, ada beberapa hal pengetahuan kondisional dan berpikir kritis yang terlibat, seperti peserta didik harus membuat keputusan penyelesaian soal berdasarkan konteks kasus. Sebagai contoh, peserta didik perlu tahu kapan harus menggunakan konversi mol yang melibatkan molaritas terhadap konversi mol ke gram. Proses perhitungan mol menggambarkan pengetahuan prosedural dan berpikir tingkat tinggi, yaitu penentuan yang perlu proses perhitungan dengan menggambarkan pengetahuan situasi/ strategi dan berpikir kritis.
Bagian kedua dari soal adalah contoh yang lebih ilustratif untuk berpikir kritis. Perak nitrat menggantikan Amonium sulfat, sehingga mengubah persamaan reaksi yang setimbang dan endapan yang terbentuk.
2AgNO3(aq) + BaCl2(aq) à
Ba(NO3)2(aq) + 2AgCl(s)
Menulis rumus kimia, memprediksi produk dari reaksi, dan menyetimbangkan persamaan kimia menggambarkan pengetahuan prosedural dan berpikir tingkat tinggi. Namun, peserta didik menghadapi aturan kelarutan baru dibandingkan dengan reaksi pertama. Dalam reaksi baru ini, peserta didik menghadapi kasus Perak klorida sebagai endapan dan harus menyadari bahwa itu adalah salah satu dari beberapa klorida yang larut dalam air. Sementara peserta didik kemungkinan hanya tahu bahwa Perak klorida larut dalam air. Mereka perlu pengetahuan kognitif untuk membedakan antara aturan kelarutan untuk klorida dan senyawa nitrat.
Pemikiran kritis terutama terletak pada kasus yang dihadapi peserta didik yang harus berurusan dengan menghitung yield untuk reaksi kedua.
a)      mol AgNO3 = (50mL) (0,1mol/L) (10-3 L/mL) = 0,005mol
b)      secara teoritis, mol AgCl setara dengan mol AgNO3 = 0,005mol
c)      yield teoritis dari AgCl = (0,005mol) (143,45g/mol) = 0,72g
Mari perhatikan, yield teoritis untuk reaksi ini jauh lebih kecil dari 3,25gram endapan dalam reaksi pertama. Apakah ada salah perhitungan? Tidak, perhitungan di atas benar mencerminkan data yang diberikan. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan yang menarik bagi peserta didik. Jika reaksi kedua hanya menghasilkan yield teoritis 0,72gram, haruskah 3,25gram endapan didapat pada kondisi ini? Jawabannya jelas tidak, peserta didik tidak harus mendapat produk dari apa yang diprediksi secara teoritis.
Apakah soal bagian kedua akan membantu bagi peserta didik jika 50ml  Perak nitrat 0,5M yang digunakan? Belum tentu. Meskipun nilai molaritas dan volumenya akan konstan. Sementara perhitungan selanjutnya untuk yield akan dianggap "realistis" (yaitu, yield teoritis dari AgCl = 3,59g, persen yield = 90,6%). Hasilnya tidak akan realistis dalam pengaturan laboratorium, karena konsentrasi standar untuk larutan perak nitrat biasanya 0,1M bukan 0,5M. Apakah senyawa kimia yang berbeda memiliki massa molar yang berbeda? Hal ini terlalu mendasar untuk mengharapkan peserta didik berpikir kritis.
Alasan mengapa perlu menyajikan kasus kimia bukan sekedar untuk memperpanjang proses menghitung hasilnya atau berdasarkan data laboratorium, melainkan untuk menghadapkan peserta didik dengan skenario pembelajaran yang berbeda, sehingga mereka dapat membuat berbagai keputusan, dan belajar dari konsekuensi keputusan tersebut. Peserta didik disajikan sebuah skenario perak nitrat dan barium klorida bereaksi menghasilkan endapan, tetapi jauh lebih sedikit massanya daripada ketika Amonium sulfat bereaksi dengan barium klorida menghasilkan barium sulfat sebagai endapan. Kasusnya terletak pada pernyataan 3,25gram endapan dibentuk ketika amonium sulfat bereaksi dengan barium klorida. Meskipun hal ini benar ketika barium sulfat mengendap, hal itu belum tentu benar ketika perak klorida dihasilkan sebagai endapan. Karena yield teoritis untuk perak nitrat-barium klorida sangat rendah.
Prediksi terletak pada pernyataan 3,25gram endapan terbentuk ketika amonium sulfat bereaksi dengan barium klorida. Meskipun pada soal tidak secara eksplisit menyatakan bahwa 3,25gram endapan barium sulfat, peserta didik harus menyimpulkan bahwa hasil ini sebenarnya hanya spesifik untuk produk ini, dan setiap hasil selanjutnya harus dilihat berdasarkan pada masing-masing reaksi. Berpikir kreatif melibatkan variabel bebas, berpikir kritis melibatkan pertimbangan terhadap implikasi dari variabel terikat.
Cara termudah untuk menjelaskan aspek-aspek ini adalah untuk menyajikan konsep kausalitas. Untuk sepenuhnya memahami soal kimia adalah menafsirkan apa makna/arti jawabannya. Jawaban berarti sesuatu ketika peserta didik dapat menyatakan bahwa peristiwa itu adalah karena sesuatu yang lain, dengan kata lain mengidentifikasi hubungan sebab-akibat antara variabel independen dan dependen. Berpikir kritis pada dasarnya membutuhkan beberapa aspek validasi jawaban, keputusan, dan evaluasi.
Pada setiap langkah analisis kuantitatif, peserta didik harus mengidentifikasi hubungan antara potongan informasi yang berbeda dan memvalidasi hubungan tersebut. Peserta didik disajikan beberapa tingkat kasus dalam soal kimia, yang memerlukan keputusan yang berbeda dan hasil berdasarkan keputusan. Ini adalah sesuatu yang melibatkan pengetahuan kondisional, menggunakan strategi khusus, atau membuat keputusan tertentu berdasarkan situasi yang disajikan. Mungkin yang terbaik adalah untuk membahas pemikiran kritis dalam hal peserta didik mengenali dan berurusan dengan pengetahuan kondisional.

Pembahasan
Dalam kasus kimia yang disajikan, peserta didik disajikan masalah stoikiometri yang relatif kompleks dengan menggabungkan beberapa aspek yang berbeda dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural (misalnya, rumus kimia, menyeimbangkan persamaan kimia, massa molar, konversi mol, reagen pembatas, aturan kelarutan). Jika pendidik kimia hanya ingin mengkonfirmasi bahwa peserta didik dapat menggabungkan beberapa tingkat pengetahuan untuk memecahkan kasus, maka skenario amonium sulfat bereaksi dengan barium klorida sudah cukup. Namun, hal itu belum cukup jika tujuannya adalah berpikir kritis.
Struktur masalah pengetahuan yang disajikan sangat penting dan perlu merefleksikan tujuan pembelajaran yang dimaksudkan. Terlepas dari tujuan pembelajaran berpikir tingkat tinggi atau berpikir kritis, kasus kimia yang terstruktur dengan baik memberikan kepada peserta didik kesempatan untuk meninjau pengetahuan prasyarat dan memastikan domain pengetahuan  mereka terorganisir dengan baik. Jika tujuan pembelajaran yang dimaksud adalah berpikir kritis, maka kasus kimia yang disajikan perlu menghadirkan kepada peserta didik altematif skenario terhadap cara berpikir yang mereka biasanya gunakan. Hal ini tidak memadai dengan membatasi ruang lingkup pengetahuan peserta didik dengan membatasi konsep, seperti halnya satu atau dua aturan kelarutan yang sama, reagen pembatas yang sama, atau urutan yang sama dari langkah-langkah prosedural. Apakah instruksi yang berulang-ulang akan efektif, sehingga mengakibatkan penguasaan dalam lingkup pengetahuan dan keterampilan yang terbatas? Meskipun hal ini mungkin mengindikasikan kemampuan berpikir yang tinggi dalam beberapa aspek ilmu pengetahuan, tetapi tidak selalu menerjemahkan keterampilan ilmiah.
Ada persamaan antara pandangan pemikiran kritis dalam hal pengambilan keputusan dan berpikir evaluatif dan apa yang disebut sebagai pengembangan keterampilan validasi dan regulasi kognisi. Untuk membuat keputusan atau evaluasi “valid”, peserta didik perlu membuat koneksi antara skenario tertentu dan/atau data dan hasilnya. Peserta didik perlu memvalidasi keputusan atau evaluasi yang tidak berbeda dari proses pemeriksaan mendasar untuk jawaban mereka dalam latihan soal yang memerlukan aljabar.
Jawaban itu sendiri pada dasarnya berarti tanpa koneksi ke masalah asli. Masalahnya memiliki konteks sendiri; begitu juga dengan solusi atau jawaban. Peserta didik dapat sampai pada kesimpulan yang benar, solusi. atau menjawab untuk alasan yang tepat atau salah.
Hal yang menghubungkan segala sesuatu bersama-sama adalah proses pemecahan kasus. Bagi pendidik ilmu kimia, untuk menentukan sejauh mana peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir kritis, perlu untuk mengamati bagaimana peserta didik memecahkan kasus. Selain mengkonfir-masikan pengetahuan prasyarat dan organisasi domain pengetahuan, pendidik perlu menyajikan kepada peserta didik kasus dalam soal. Penting untuk mengamati sejauh mana peserta didik mengenali kasus dan bagaimana mereka berurusan dengannya. Dengan kata lain, kita perlu mengamati sejauh mana pengetahuan situasional dan strategis peserta didik, atau lebih secara khusus, hubungan antara pengetahuan situasional dan strategis mereka.
Hubungan ini dapat disebut sebagai regulasi kognisi. Secara umum, hubungan dapat memberitahu pendidik tentang bagaimana berbagai tingkat skema-spesifik pengetahuan dipekerjakan oleh pemecah kasus. Sekali lagi, ini memerlukan masalah ilmu untuk menyajikan beberapa tingkat kasus untuk peserta didik. Soal tanpa hanya memungkinkan peserta didik menggunakan pengetahuan apriori untuk mengkonfirmasi kebenaran. Unsur kasus memungkinkan pendidik dan peserta didik untuk memperluas ruang lingkup pengetahuan yang bisa diterapkan dalam soal, sehingga meningkatkan kebermak-naan pengetahuan peserta didik dan validitas atau nilai jawaban mereka.
Hal ini penting untuk menghargai bahwa membangun masalah yang lebih kompleks atau kegiatan belajar, tidak selalu menyamakan advokasi pemikiran kritis. Pendidik ilmu kimia dapat mempertimbangkan ilustrasi berpikir kritis mungkin hanya benar-benar mencerminkan pemikiran tingkat tinggi. Karena kompleksitas dari kegiatan belajar mungkin hanya menunjukkan jumlah kuantitatif pengetahuan peserta didik dituntut untuk memiliki atau digunakan. Dengan kata lain, hanya berurusan dengan jumlah yang terbatas dari pengetahuan yang tidak cukup berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: Apa yang peserta didik tahu? Berapa banyak pengetahuan yang mereka miliki?
Di sisi lain, ketika kegiatan belajar, terlepas dari kompleksitas, peserta didik tidak hanya dapat lebih baik, ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. mereka mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana peserta didik: mengetahui apa yang mereka ketahui? Mengapa mereka tahu apa yang mereka ketahui? Bagaimana mereka menerapkan apa yang mereka tahu? Pendidik berhadapan dengan spektrum pengetahuan yang lebih luas. Kontekstual pengetahuan, baik secara kuantitatif dan kualitatif.
Berpikir kritis perlu memiliki tempat yang lebih menonjol dan lebih baik didefinisikan dalam pendidikan kimia. Pengetahuan harus dibangun dalam hal kedalaman dan luasnya. Berpikir kebutuhan untuk menjadi lebih dari pada tingkat linear; itu harus luas. terletak, dan saling berhubungan. Peserta didik tidak hanya perlu menghargai pengetahuan, tetapi juga bagaimana menggunakannya. kapan dan di mana mereka menggunakannya, dan mengapa mereka menggunakannya. Literasi kimia harus lebih bermakna, bukan sekedar untuk mendapat pengetahuan; pengetahuan memiliki sedikit nilai jika tidak digunakan untuk aplikasi secara maksimal.

Kesimpulan
Berpikir kritis merupakan cara berpikir yang melibatkan hubungan antara pengetahuan situasional dan strategis. Hal ini terutama terkait dengan memecahkan kasus kimia secara kuantitatif dalam pembelajaran. Kontekstualisasi berpikir mencerminkan penggunaan pengetahuan strategis peserta didik yang berkaitan dengan situasi yang spesifik. Aspek kunci untuk hubungan ini adalah adanya kasus. Kasus dalam soal menciptakan peluang yang menantang peserta didik untuk belajar mengenali karakteristik unik dari soal, karakteristik yang menentukan mana konsep yang secara khusus relevan untuk menyelesaikan soal. Inti berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengenali kasus, membuat keputusan, dan menjelaskan cara penyelesaian. Kasus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Peserta didik yang berpikir kritis dan memecahkan kasus dalam soal kimia adalah mereka yang dapat menerapkan strategi penyelesaian soal kimia yang disajikan kepadanya dengan tepat dan berhasil menunjukkan cara penyelesaian soal. Berpikir kritis merupakan dasar pengembangan pengetahuan dan konsep kimia. Peserta didik yang mendapatkan berbagai konsep dalam konteks ilmu kimia diharapkan dapat berhasil mengenali perbedaan antara satu kasus dibandingkan dengan kasus lainnya.




Daftar Pustaka
1.      Anderson, L.W. & Krathwhol, D.R. (2010). Kerangka landasan pembelajaran, pengajaran dan asesmen. Judul asli: a taxonomy for learning, teaching and assessing: a revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. Penerjemah: Agung Prihantoro. Pustaka Pelajar.
2.      Damarin, S.K. (1993). Schooling and situated knowledge: Travel or tourism?. Educational Technology, vol.33 p27-32.
3.      Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning:What it is and why it’s here to stay. Corwin Press, Inc. California.
4.      Laura E.H. (2002). Problem solving concept and theory. JVME. AAVMC.
5.      Lewis, A. & Smith, D. (1993). Defining higher order thinking. Theory into practice.

6.      Pushkin, D.B. (2000). Critical thinking in science - How do we recognize it? Do we foster it? Perspectives in critical thinking: essays by teachers in theory and practice vol.110. Peter Lang. New York.
Share:

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang memiliki kuantitas atau kualitas tertentu yang ditentukan oleh peneliti untuk dipelajari dan diselidiki dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dapat berupa orang, mahkluk hidup lain, benda tak hidup, perilaku, fenomena alam, dan sebagainya. Bila misalnya kita mengadakan penelitian tentang mahasiswa Universitas Palangka Raya, maka populasi penelitian kita adalah seluruh mahasiswa Universitas Palangka Raya. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang akan kita teliti tersebut. Jadi, misalnya kita akan meneliti tentang mahasiswa UPR, maka kita bisa mengambil sampel sepuluh sampai dengan tigapuluh orang mahasiswa di tiap Fakultas saja, dan itu dianggap sudah mewakili mahasiswa UPR.

Alasan Pemilihan Sampel
1. Kendala sumber daya, baik waktu, dana, maupun sumber daya lainnya. Penggunaan sampel akan menghemat sumber daya untuk menghasilkan penelitian yang lebih dapat dipercaya daripada sensus.
2. Ketepatan, dengan pemilihan desain sampel yang abik, peneliti akan memperoleh data yang akurat, dengan tingkat kesalahan yang relative rendah.
3. Pengukuran destruktif, biasanya digunakan untuk menguji sesuatu yang bersifat destruktif sehingga sampel tidak digunakan lagi.
Sampel dapat di definisikan sebagai himpunan sebagian dari unsur – unsur populasi yang memiliki ciri – ciri sama. Keseluruhan dari bagian itu disebut populasi terhadap populasi hasil penelitian hendak digeneralisasikan.

Populasi tidak harus terdiri dari unsur manusia, apa saja yang dapat menjadi sumber informasi atau data dapat dijadikan populasi, seperti hewan, tumbuhan, benda – benda, peristiwa dan lain – lain, semuanya dapat dijadikan sebagai populasi penelitian.

Kegunaan Metode Sampling
1. penelitian secara menyeluruh terhadap seluruh populasi tidak mungkin dilakukan. Misalnya, bila kita ingin meneliti tentang kebiasaan makan balita di Indonesia, bagaimana mungkin kita akan mengumpulkan data seluruh balita yang ada di Indonesia.
2. objek penelitian bersifat homogen. Misalnya jika diduga terjadi pencemaran air laut di Selat Sunda, maka peneliti hanya akan mengambil sampel beberapa tabung air saja dari Selat.
3. dampak destruktif terhadap obyek yang diteliti. Misalnya kita akan menguji berapa kilo meter daya mesin merk XYZ sepeda motor bila dihidupkan terus‐menerus tanpa henti. Dalam melakukan penelitian ini, kita tidak mungkin menggunakan seluruh sepeda motor merek XYZ, karena akan merusaknya.
4. menghemat waktu, tenaga, dan biaya.

Penentuan Jumlah Sampel
Sebenarnya, tidak ada aturan yang baku dalam menentukan jumlah sampel dari suatu populasi. Pada dasarnya, semakin besar jumlah sampelnya, semakin akurat hasil penelitiannya. Tetapi, besar kecilnya sampel akan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya biaya, tenaga dan waktu yang tersedia.
Selain itu, jenis penelitian juga akan mempengaruhi ukuran sampelnya. Untuk penelitian yang sifatnya deskriptif umumnya membutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak dari pada penelitian yang dilakukan untuk menguji hipotesis.
Ada beberapa pendapat yang diajukan dalam penentuan jumlah sampel ini,diantaranya, apabila populasi cukup homogen (serba sama), terhadap populasi di bawah 100 dapat dipergunakan sampel sebesar 50%, di atas 1.000 sebesar 15%.

Karakteristik Sampel yang baik
1. memungkinkan peneliti untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan besaran sampel untuk memperoleh jawaban yang dikehendaki.
2. mengidentifikasi probabilitas dari setiap unit analisis untuk menjadi sampel.
3. memungkinkan peneliti menghitung akurasi dan pengaruh (misalnya kesalahan) dalam pemilihan sampel daripada harus melakukan sensus.
4. memungkinkan peneliti menghitung derajat kepercayaan yang diterapkan dalam estimasi populasi yang disusun dari sampel statistika.

Kesalahan yang sering terjadi dalam pengambilan sampel
Kenyataan bahwa sampel tidak merupakan cermin yang sempurna dari keadaan populasinya disebut sebagai kesalahan sampling (sampling error). Kesalahan demikian bisa terjadi pada setiap penelitian, kecuali populasinya homogen sempurna. Implikasi adanya kesalahan sampling adalah perlunya diperhitungkan atau ditaksir besar kecilnya kesalahan itu dalam generalisasi atau inferensi.
1. Sampling Frame Error, yaitu kesalahan yang terjadi bila elemen sampel tertentu tidak diperhitungkan, atau bila seluruh populasi tidak diwakili secara tepat oleh kerangka sampel.
2. Random Sampling Error, yaitu kesalahan akibat adanya perbedaan antara hasil sampel dan hasil sensus yang dilakukan dengan prosedur yang sama.
3. Nonresponse Error, yaitu kesalahan akibat perbedaan statistic antara survey yang hanya memasukkan mereka yang merespon dan juga mereka yang gagal (tidak) merespon.
Untuk penelitian yang menggunakan analisis statistik kesalahan itu dinyatakan dalam standard error. Dasar teori probabilitas sampling, mungkin disini letak peranan ilmu statistika.
Berapa besar sampel yang dianggap paling baik ?. Sampel yang paling baik adalah sampel yang memberikan pencerminan optimal terhadap populasinya (representatif). Representativitas sampel tidak dapat dibuktikan, hanya dapat didekati secara metodologi melalui parameter yang diketahui dan diakui kebaikannya secara teoritik maupun eksperimental.
Ada empat parameter yang menentukan representativitas yaitu :
(1). Besar sampel,
(2). Teknik sampling,
(3). Variabilitas populasi,
(4). Kecermatan memasukkan ciri populasi kedalam sampel.
Parameter ke 3 bersifat given, sementara parameter – parameter sisanya dapat dipermainkan guna meningkatkan representativitas sampel.
Postulat – postulat dari parameter dengan andaian bahwa parameter lainnya dalam keadaan konstan sebagai berikut :
1. Besar sampel : Makin besar sampel yang diambil akan makin tinggi representativitas sampelnya. Populasi penelitian tidak bersifat homogen sempurna, artinya untuk populasi yang homogen sempurna maka besar sampel sama sekali tidak berpengaruh terhadap representativitas sampel.
2. Teknik sampling : Makin tinggi tingkat random dalam pengambilan sampel akan makin tinggi representativitas sampel. Batasan untuk postulat ini adalah homogenitas populasi penelitian. Sampling random sama sekali tidak diperlukan jika populasinya homogen sempurna.
Pertimbangan untuk menentukan jumlah sampel dapat dilakukan dengan rumus:

n=[ZS/E]2

Dengan: n = jumlah sampel
Z = nilai yang sudah distandardisasi sesuai derajat kepercayaan.
S = deviasi standar sampel
E = tingkat kesalahan yang ditolerir, plus minus faktor kesalahan.
Jumlah sampel yang sesuai untuk suatu penelitian dipengaruhi oleh:
a. Homogenitas.
Semakin homogen suatu unit pemilihan sampel, semakin kecil jumlah sampel yang diperlukan. Semakin heterogen suatu unit pemilihan sampel, semakin besar jumlah sampel yang diperlukan agar dapat mencerminkan populasi.
b. Derajat Kepercayaan.
Derajat ini mengukur seberapa jauh peneliti yakin dalam mengestimasi parameter populasi secara benar.
c. Presisi (ketelitian).
Untuk mengukur kesalahan standar dari estimasi yang dilakukan.
d. Prosedur analisis.
e. Kendala Sumber Daya.

Tahapan Pemilihan Sampel

Teknik‐Teknik Sampling
Untuk memperoleh sampel penelitian yang representatif telah dikembangkan banyak teknik sampling. Desain sampel terdiri dari dua yaitu:
a. Desain Probabilitas (sampel probabilitas), artinya bahwa setiap sampel dipilih berdasarkan prosedur seleksi dan memiliki peluang yang sama untuk dipilih. Jenis desain sampel probabilitas:
‐ Sampel Random Sederhana (Simple Random Sampling)
‐ Sampel Sistematis (Systematic Sampling)
‐ Sampel Stratifikasi (Stratified Sampling)
‐ Sampel Kluster (Cluster Sampling)
‐ Sampel Daerah Multitahap (Multistage Area Sampling)
b. Desain Sampel Nonprobabilitas (Nonprobability Sampling), artinya setiap sampel dipilih oleh peneliti secara arbitrer dan probabilitas masing‐masing anggota populasi tidak diketahui. Jenis sampel nonprobabilitas:
Penentuan Target Populasi
Penentuan Kerangka Pemilihan Sampel
Penentuan Prosedur Pemilihan Jumlah Sampel
Pemilihan Unit Sampel Aktual
Penentuan Jumlah Sampel
Penentuan Metode Pemilihan Sampel
Pelaksanaan Penelitian
‐ Convenience. Peneliti menggunakan sampel yang paling sederhana atau ekonomis.
•‐ Judgement. Peneliti berpengalaman dalam memilih sampel untuk memenuhi tujuannya, seperti menyakinkan bahwa semua populasi mempunyai karakteristik tertentu.
•‐ Quota. Peneliti mengklasifikasikan populasi menurut kriteria tertentu, menentukan proporsi sampel yang dikehendaki untuk tiap kelas, menetapkan kuota untuk setiap pewawancara.
•‐ Snowball. Responden awal dipilih dengan sampel probabilitas sedangkan responden berikutnya diperoleh dari usulan/masukan responden berikutnya.
Teknik yang paling dianggap paling baik adalah teknik random. Kebaikan teknik ini tidak hanya landasan teori yang digunakan, namun berdasarkan hasil eksperimen. Dalam random sampling semua anggota populasi, secara individual atau kolektif, diberi peluang sama untuk menjadi anggota sampel. Alat yang dianggap paling shahih untuk random sampling ini adalah tabel bilangan random. Jika besarnya populasi terbatas, peluang random dapat diberikan kepada anggota populasi secara individual, tetapi jika populasinya sangat besar peluang random diberikan kepada anggota populasi sangat besar. Peluang random diberikian kepada anggota populasi secara kolektif seperti misalnya dalam sampling geografis.
Pengklasifikasian sampel tergantung pada jenis variable yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Jika variable klasifikasinya diskrit maka pengklasifikasian sampelnya juga secara diskrit. Semua sampel yang dihasilkan dari klasifikasi secara diskrit disebut sampel rumpun (cluster sample), sedangkan klasifikasinya didasarkan pada besar kecil variable klasifikasinya disebut sampel bertingkat (stratified sample). Baik dalam sampel rumpun maupun sampel bertingkat, jika proporsi sub populasinya dicerminkan dalam sampel disebut sampel proposional.
Dalam penelitian – penelitian non eksperimental biasanya yang dipakai adalah sampel proposional. Tetapi dalam penelitian eksperimental dan penelitian murni besarnya sampel harus sama. Sekiranya dalam eksperimen sedang berjalan terdapat kasus yang hilang (missing cases) harus dilakukan tindakan tertentu untuk mempersamakan jumlah kasusnya kembali.

Secara garis besar teknik sampling terdiri dari dua macam teknik yaitu teknik Probability Sampling dan Non‐probability Sampling. Untuk lebih jelasnya : Probability Sampling : teknik sampling yang memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh populasi untuk dipilih.

1. sampling acak sederhana (simple random sampling) adalah cara pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi. Teknik sampling jenis ini dilakukan bila datanya homogen.
Misalnya bila populasi adalah 1,2,3,4,…25 diambil sampelnya secara acak sehingga menghasilkan sampel 1,3,9,10, 11, 15,18,21, 24. Biasanya, untuk menentukan sampel jenis ini dilakukan dengan cara pengundian.

2. sampling acak secara proporsional menurut stratifikasi (proportionate stratified random sampling) : dilakukan bila populasi tidak bersifat homogen.
Misalnya dilakukan penelitian mengenai hasil panen jeruk di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, maka jeruk jeruk dikelompokkan menurut mutunya (A, B, C, dan D) berdasarkan panjang lingkarannya (keliling).
Populasi mutu A= 250 ton, B= 520 ton, C= 635 ton, dan D=198 ton. Jumlah sampel yang diambil harus meliputi strata mutu tersebut yang diambil secara proporsional, misalnya 5% dari setiap populasinya.

3. Sampling acak tak proporsional menurut stratifikasi (Disproportionate stratified random sampling). Berbeda dengan teknik sampling acak proporsional menurut stratifikasi, pada teknik ini pengambilan sampelnya tidak didasarkan atas proporsi dari populasi.
Misalnya, penelitian terhadap tinggi siswa SD yang berumur 9‐11 tahun di tiga SD, terdapat 2 orang yang memiliki tinggi lebih dari 160 cm, 5 orang memiliki tinggi antara 150‐159 cm, 251 orang memiliki tinggi 140‐139 cm, dan 52 orang memiliki tinggi kurang dari 140 cm, dengan populasi yang tidak proporsional ini dapat saja pada siswa dengan tinggi lebih dari 160 cm dan lebih dari 150 cm diambil semuanya, sedangkan sisanya diambil secara proporsional.

4. sampling area (cluster), teknik ini digunakan untuk populasi yang tersebar pada daerah yang sangat luas.
Misalnya penelitian mengenai irigasi pertanian di seluruh wilayah kabupaten di Indonesia. Karena Indonesia terdiri dari banyak kabupaten maka diambil beberapa kabupaten saja secara acak, tetapi tetap memperhatikan stratanya.

Non‐Probability sampling
cara pengambilan sampel di mana tidak semua anggota populasi diberikan kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel sampel.

1. sampling sistematis yaitu berdasarkan nomor urut anggota populasi.
Misalnya populasi penelitian diurutkan, berdasarkan pengurutan itu kemudian diambil sampelnya yang nomornya genap saja atau ganjil saja.

2. sampling kuota yaitu teknik sampling untuk menetapkan sampel dari populasi sesuai dengan kriteria‐kriteria tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan.
Misalnya peneliti akan meneliti tentang kredit para pedagang di pasar dari para rentenir pasar, sampel yang ditetapkan sebanyak 100 pedagang, dan kriteria yang harus dipenuhi adalah nilai kredit lebih dari 2 juta rupiah. Apabila peneliti sudah mendapatkan sampel sebanyak 100 orang pedagang dengan kriteria tersebut, maka sampel dianggap sudah cukup.

3. Sampling Aksidental adalah teknik sampling yang didasarkan atas kebetulan, yaitu siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti maka dijadikan sampel.
Misalnya, peneliti ingin mengetahui tentang pilihan masyarakat terhadap calon presiden mendatang di suatu pasar, maka siapa saja yang kebetulan bertemu peneliti di pasar akan dijadikan sampel penelitian.

4. purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dipilih secara cermat dan dianggap memiliki ciri‐ciri atau sifat‐sifat khusus yang menggambarkan ciri‐ciri populasi sehingga dianggap cukup representatif.

5. sampling jenuh (saturation sampling) yaitu jika seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sampel, hal ini bisa dilakukan pada jumlah populasi yang relatif sedikit. Tetapi pada jumlah populasi yang besar bisa saja seluruh populasinya dijadikan sampel bila sumber dayanya memungkinkan,
contoh kasus ini adalah sensus penduduk.

6. snowball sampling ialah penentuan sample yang mula‐mula sedikit, kemudian sampel tersebut diminta mencari sampel lainnya, misalnya temannya, begitu seterusnya sehingga jumlah sampel akan bertambah banyak

semoga bermanfaat.

Baca juga:

Pengukuran dalam Penelitian
Share:

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru