Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

Teori Belajar dan Pembelajaran

Teori Belajar dan Pembelajaran

Definisi Belajar dan Pembelajaran

Teroi Belajar Behaviorisme

Teori Belajar Kognitivisme

Teori Belajar Gagne

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori Belajar yang Sesuai dengan Pembelajaran Kimia


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sudrajat. 2010. Model Pembelajaran Inovatif, http:// akhmadsudrajat. wordpress.com

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Petunjuk Teknis Pengenbangan Silabus dan Contoh / Model Silabus SMA/MA. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

Conny Semiawan, dkk. 1988. Pendekatan Keterampilan Proses. Gramedia: Jakarta

Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. IKIP Semarang Press: Semarang

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta

E Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung

Massofa. 2008. Pendekatan Discovery Inquiry dan STS dalam pembelajaran Fisika. http://massofa.wordpress.com 

Subiyanto. 1988. Evaluasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. P2LPTK, Depdikbud: Jakarta.

Tim Penyusun. 2007. Psikologi Pendidikan. UNY Press: Yogyakarta.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisti, Prestasi Pustaka: Jakarta

Udin Syaefuddin Sa’ud. 2009. Inovasi Pendidikan. Alfabeta: Bandung

Universitas Negeri Makassar, 2007, Panduan Model Pembelajaran Efektif, UNM: Makassar.
Share:

Teori Belajar yang Sesuai dengan Pembelajaran Kimia

MIPA adalah rumpun dari sains (IPA) fisika, kimia, biologi dan matematika, pada hakikatnya adalah kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan ilmiah. MIPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model. MIPA sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya rasa ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. MIPA sebagai cara penyelidikan merupakan cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasi.

Kimia
Ilmu Kimia dipandang sebagai suatu proses dan sekaligus produk sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efesien yaitu salah satunya melalui kegiatan praktik. Hal ini dikarenakan melalui kegiatan praktik, siswa melakukan olah pikir dan juga olah tangan.

Kegiatan praktik adalah percobaan yang ditampilkan guru dan atau siswa dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan oleh siswa yang berlangsung di laboratorium atau tempat lain. Adapun jenis-jenis kegiatan praktik dikelompokkan menjadi 4, yaitu eksperimen standar, eksperimen penemuan, demonstrasi, dan proyek.

Kegiatan praktik dalam pembelajaran kimia mempunyai peran motivasi dalam belajar, memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang telah tertuang dalam baik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan maupun Kurikulum 2013, terlihat bahwa materi pelajaran kimia yang harus dikuasai oleh peserta didik ada banyak, beragam dan sebagian bersifat abstrak. Sebagian materi pembelajaran kimia di SMA merupakan konsep teoritis dan bersifat informatif bahkan abstrak. Sehingga ketepatan dalam memilih metode pembelajaran sangatlah penting agar materi-materi tersebut tersampaikan secara utuh.

Strategi atau teknik, metode dan pendekatan merupakan tiga hal yang berbeda meskipun penggunaannya sering bersama-sama dijumpai dalam pembelajaran. Pendekatan merupakan teori atau asumsi. Metode adalah pengembangan yang lebih konkret dari teori tersebut, berupa prosedur-prosedur berdasarkan teori tersebut di dalam berbagai bentuk kegiatan kelas.

Meskipun telah disebutkan bahwa “tidak ada satu pun pendekatan yang paling cocok untuk satu pelajaran”, tetapi karena pusat pelajaran kimia adalah eksperimen dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelajaran kimia itu sendiri maka melalui eksperimen siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dengan gejala kimia yang dipelajari. Kimia sebagai ilmu yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mempelajarinya tidak cukup hanya melalui minds-on, tetapi juga harus melalui hands-on, seperti layaknya ilmuwan ketika menjelajahi alam ini. Secara teoretis dan dengan prosedur-prosedur yang tepat kerja laboratoriumlah pendekatan saintifik yang tepat digunakan dalam pembelajaran kimia.

Macam-macam kerja laboratorium dapat dibedakan dalam deduktif atau verifikasi, induktif, keterampilan teknis, tanya jawab, dan keterampilan proses. Umumnya pendekatan-pendekatan tersebut dapat meningkatkan hal-hal sebagai berikut; sikap terhadap pelajaran kimia, sikap ilmiah, penemuan ilmiah, pengembangan konsep, dan keterampilan-keterampilan teknis bagi siswa.

Berikut terdapat beberapa pendekatan dalam pembelajaran yang dapat digunakan pada pembelajaran kimia, antara lain:

1. Pendekatan Konsep

Pendekatan ini merupakan suatu model pembelajaran kognitif. Bruner menyarankan agar peserta didik dapat berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta melakukan eksperimen-eksperimen yang memberi kesempatan pada peserta didik untuk menemukan prinsip-prinsip sendiri. Pendekatan ini dapat diterapkan jika guru melaksanakan pembelajaran dengan teknik inkuiri.

2. Pendekatan Keterampilan Proses

Cara berpikir dalam sains kimia, salah satunya, adalah keterampilan-keterampilan proses. Keterampilan proses sains dibedakan dalam dua bagian besar, yaitu keterampilan dasar proses sains, dimulai dari observasi sampai dengan meramal, dan keterampilan terpadu proses sains, dari identifikasi variabel sampai dengan yang paling kompleks, yaitu eksperimen. Keterampilan dasar proses sains adalah hal-hal yang dikerjakan ketika siswa mengerjakan sains, misalnya mengobservasi pengaruh suhu terhadap faktor laju reaksi.Dalam keterampilan terpadu proses sains, siswa dipandu untuk melakukan eksperimen melalui penggunaan seluruh keterampilan-keterampilan proses yang siswa miliki. Melalui eksperimen suatu pembelajaran kimia dikatakan utuh, sebab eksperimen di laboratorium merupakan bagian integral dari konsep, prinsip dan hukum kimia dipelajari. Eksperimen dapat dikatakan sebagai pusat dalam pembelajaran kimia, tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaannya memerlukan biaya dan tenaga yang besar sehingga sebagai guru kimia yang sukses harus betul-betul ahli dalam mendesain kegiatan eksperimen untuk siswanya. Namun demikian, hendaknya hal tersebut tidak menjadi momok bagi guru dalam mempersiapkan penggunaannya di kelas, akan tetapi justru menjadi tantangan bagi guru untuk mempersiapkan eksperimen sebaik-baiknya agar pembelajaran kimia betul-betul efektif.

3. Strategi Belajar-mengajar Menurut Pandangan Konstruktivisme

Pandangan konstruktivisme sangat menekankan pentingnya gagasan yang sudah ada pada diri siswa untuk dikembangkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pemahaman konsep sangat ditekankan. Belajar merupakan proses aktif dan kompleks dalam upaya memperoleh pengetahuan baru. Proses yang terjadi merupakan proses kognitif sebagai interaksi antara kegiatan persepsi, imajinasi, organisasi, dan elaborasi. Proses pengorganisasian dan elaborasi memungkinkan terbentuk hubungan antar konsep. Hubungan antar konsep dapat digambarkan sebagai peta konsep. Peta konsep dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui hasil belajar dan adanya miskonsepsi. Miskonsepsi terjadi karena siswa masih menggunakan gagasan pribadinya dan pembelajaran belum dapat mengubah pemahaman siswa menjadi gagasan baru yang benar. Perubahan ini dapat berlangsung dengan mulus asalkan pada siswa ada perasaan tidak puas terhadap pemahaman yang salah, siswa mempunyai pengetahuan optimal tentang konsep yang benar, konsep yang benar dapat masuk akal dan mempunyai daya memprediksi serta daya eksplanasi.Strategi pembelajaran dapat dikembangkan dan siklus pembelajaran dan siklus belajar. Hal ini untuk memungkinkan terjadi keselarasan antara pola pikir yang dituntut oleh guru dengan pola pikir siswa. Pengorganisasian materi sajian juga penting karena dalam proses belajar-mengajar terjadi hubungan segitiga antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Disarankan pengorganisasian materi subjek berorientasi pada kerangka pemecahan masalah.

4. Pendekatan Discovery dan Inquiry

Pendekatan discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, menjelaskan, dan mengambil kesimpulan. Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.

Pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri.

Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya. Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan inquiry dengan melalui 5 fase yaitu: 
fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti.
fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi, 
fase 3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat, 
fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal, dan 
fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.


5. Pendekatan STS (Sains-Teknologi-Masyarakat)

Di dalam kegiatan belajar ini, kita mengenal pengertian STS dan pengertian pendekatan STS. Pengertian STS memberi gambaran kepada kita bahwa sains (dalam hal ini kimia) dan teknologi mempunyai kaitan yang erat. Selain itu, keduanya juga mempunyai kaitan yang erat dengan respon masyarakat. Dengan pengertian bahwa adanya suatu perubahan teknologi akan dapat menyebabkan perubahan sosial, begitu pula sebaliknya. Hal ini berarti ada jaringan hubungan antara sains, teknologi dan sistem-sistem sosial yang saling terpengaruh dan mempengaruhi. Kemudian pendekatan STS, memberi gambaran kepada kita bahwa hendaknya suatu pembelajaran kimia didekati melalui sains, teknologi dan masyarakat. Artinya dalam suatu pembelajaran kimia, selain menekankan pada pemahaman terhadap konsep kimia, juga perlu melibatkan pemahaman siswa terhadap hasil produk teknologi yang terkait, serta manfaatnya bagi masyarakat. Munculnya berbagai pendekatan dalam pembelajaran kimia, khususnya pendekatan STS, didasarkan pada suatu kesulitan yang banyak dihadapi oleh pembuat kurikulum, guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran di sekolah. Selain itu dengan menggunakan pendekatan STS ini, diasumsikan akan dapat memberi peluang kepada siswa untuk belajar lebih bermakna, bermanfaat dan menyenangkan.

Guru mempunyai peranan penting dalam membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Hal ini diperlukan agar siswa dapat membuat suatu keputusan yang bertanggung jawab mengenai isu-isu sosial, khususnya isu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu cara yang populer untuk memperkenalkan siswa dengan isu-isu sosial itu adalah dengan meminta kepada siswa untuk membawa artikel-artikel tentang sains kimia, teknologi dan penggunaannya dalam masyarakat di dalam kelas pelajaran kimia. Dengan kata lain siswa diberi pengarahan dan kesempatan yang cukup, agar mereka dapat meneliti isu-isu itu dengan cara mengumpulkan fakta-fakta, merumuskan pendapat-pendapat mereka dan menarik suatu kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Berdasarkan deskripsi uraian di atas maka salah satu pendekatan yang dipandang tepat untuk digunakan dalam suatu pembelajaran kimia adalah pendekatan STS atau STM. Karena pendekatan ini selalu mengaitkan antara sains, teknologi dan penggunaan sains dan teknologi itu dalam masyarakat. Dengan penggunaan pendekatan itu di dalam pembelajaran kimia maka dalam proses pembelajarannya, kita mempunyai konsekuensi bahwa selain kita menanamkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep atau prinsip-prinsip kimia, kita perlu juga menanamkan pemahaman siswa terhadap teknologi yang berkaitan dengan konsep itu, dan kemungkinan penggunaannya di lingkungan masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, guru yang menyajikan materi pelajaran kimia dengan menggunakan pendekatan STS perlu memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah: deskripsi materi kimia yang akan disajikan, diskripsi teknologi yang berkaitan dengan materi kimia tersebut, penggunaan teknologi itu di dalam masyarakat dan kemungkinan adanya sikap serta permasalahan yang timbul akibat dari penggunaan teknologi itu di dalam masyarakat. Deskripsi dari materi itu dapat meliputi antara lain: uraian konsep, penggunaan matematika, penggunaan rumus, penyajian soal dan sebagainya. Kemudian deskripsi teknologi dapat meliputi: kegunaan teknologi, bagan gambar dari produk teknologi itu, prinsip kerjanya dan keterkaitan antara teknologi itu sendiri dengan materi yang disajikan dalam pembelajaran kimia.

6. Pendekatan Pengorganisasian Konsep dari Ausubel

Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa belajar merupakan suatu proses mental yang mengembangkan cara berpikir kritis, logis, dan kreatif. Peserta didik dalam mengasimilasi pelajaran melalui cara seperti yang telah dikemukakan pada teori belajar bermakna Ausubel.

7. Pendekatan Pemecahan Masalah (Metode Ilmiah) dari John Dewey

Masalah adalah sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang belum pasti, artinya ada kesenjangan antara kenyataan dengan yang diharapkan. Pendekatan pemecahan masalah menekankan agar pembelajaran memberikan kemampuan bagaimana cara memecahkan masalah yang objektif dan tahu benar apa yang dihadapi.

8. Pendekatan Kontekstual

Pendektan kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapakan ketujuh konsep terebut dalam proses pembelajarannya.

Berdasarkan pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran kimia tersebut, beberapa teori belajar yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran kimia, antara lain:

1. Teori Kognitif Bruner

Menurut Bruner, teori pembelajaran yang baik adalah pengalaman belajar melalui penemuan (discovery), yang memungkinkan peserta didik memperoleh informasi dan keterampilan baru dengan memperhatikan informasi dan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya.

Hal ini sesuai dengan materi-materi yang diajarkan dalam pembelajaran kimia dimana terdapat beberapa materi yang disertai dengan percobaan/praktikum. Diharapkan dengan melakukan percobaan, peserta didik lebih memahami konsep yang diajarkan dengan jalan menemukan fakta dari konsep tersebut.

2. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Dalam proses pembelajaran kimia, konsep-konsep yang disajikan guru disusun secara hierarkhi dan konsep yang paling sederhana (konkret) disajikan terlebih dahulu menuju pada hal-hal yang lebih kompleks (abstrak).

Materi-materi yang diajarkan dalam pelajaran kimia mempunyai keterkaitan satu sama lain, sehingga untuk mempelajari materi baru, peserta didik dituntut untuk menguasai materi sebelumnya. Dengan adanya peta konsep akan lebih membantu penyampaian materi pembelajaran menjadi lebih terstruktur.

3. Teori Konstruktivisme dari John Dewey

Menurut teori konstruktivisme seseorang harus membangun sendiri pengetahuannya secara aktif. Penekanan teori Konstruktivisme adalah proses internal yang terjadi di dalam struktur kognitif individu yang belajar.

Teori belajar ini cocok diterapkan untuk materi-materi pelajaran kimia yang mengandung konsep-konsep teoritik. Untuk mengetahui apakah peserta didik telah memahami konsep atau belum, guru sebagai fasilitator diharapkan lebih banyak bertanya dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menyatakan apa yang diketahuinya dan apa yang tidak diketahuinya.

Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada variasi, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu diperdebatkan. Yang lebih penting untuk dipahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran kimia.
Share:

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme dikemukakan oleh John Dewey. Ia mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat peserta didik sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada peserta didik.

Kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan diadakan kegiatan diskusi dan review teman. Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Tasker (1992) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991) mendukung pendapat Tasker dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990) menyatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Share:

Teori Belajar Gagne

Teori belajar yang disusun Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme yang berpangkal pada teori belajar yang memproses informasi. Menurut Gagne, cara berpikir seseorang tergantung pada: (1) keterampilan yang telah dimilikinya, (2) keterampilan serta hierarkhi yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Selanjutnya Gagne mengemukakan bahwa di dalam proses belajar terdapat dua fenomena, yaitu: (1) keterampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan meningkatnya umur serta latihan yang diperoleh individu, (2) belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien.

Teori belajar Gagne mengemukakan adanya lima macam hasil belajar, yaitu:
  1. Keterampilan intelektual atau pengetahuan prosedural yang mencakup belajar diskriminasi, konsep, prinsip, dan pemecahan masalah, yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang disajikan di sekolah.
  2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, mengingat dan berpikir.
  3. Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk medeskripsikan sesuatu denga kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.
  4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
  5. Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual.

Belajar menurut Gagne tidak merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi tertentu, yaitu kondisi (1) internal, menyangkut kesiapan peserta didik dan apa yang telah dipelajari sebelumnya (prerequisite), serta (2) eksternal, yang merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis hasil belajar tersebut memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan dikontrol.

Hasil-hasil belajar tersebut dapat diperoleh melalui tipe belajar tertentu. Menurut Gagne ada delapan tipe belajar, yaitu:
1. Belajar isyarat (signal)
2. Belajar stimulus respons
3. Belajar rangkaian
4. Belajar asosiasi verbal
5. Belajar diskriminasi
6. Belajar konsep
7. Belajar aturan, dan
8. Belajar pemecahan masalah
Share:

Teori Belajar Kognitivisme

Teori belajar kognitivisme yang seringkali diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah:

1. Teori Perkembangan Piaget

Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis berupa perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang semakin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.

Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikut pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Disini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang sensorimotorik (0-2 tahun) yang bersifat eksternal, preoperasional (2-6 tahun), operaional konkrit (6/7-11/12 tahun), dan jenjang formal (11/12-18 tahun) yang bersifat internal.

Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan cenderung menyulitkan peserta didiknya. Misalnya saja mengajarkan konsep-konsep abstrak kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkonkritkan konsep-konsep tersebut, tidak hanya akan percuma tetapi justru akan lebih membingungkan para peserta didik.

2. Teori Kognitif Bruner

Dalam perkembangan kognitif, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Sedangkan Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif menyebabkan perkembangan bahasa seseorang, sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Hilgared & Bower, 1981).

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Antara lain:

Ø Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan.

Ø Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.

Ø Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana idividu mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.

Makin dewasa seseorang, makin dominan sistem simbolnya. Namun tidak berarti bahwa orang dewasa tidak lagi memakai sistem ikonik atau enaktif. Menurut teori belajar yang dikemukakan Bruner, maka pelaksanaan pembelajaran meliputi hal-hal berikut:

a) Pengalaman optimal untuk mau belajar.

Belajar dan memecahkan masalah memerlukan pencarian alternatif, pemeliharaan dan pengarahan.

b) Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal.

Pengetahuan yang disampaikan harus terstruktur. Struktur ini memiliki ciri-ciri cara penyajian ringkas tetapi informatif (rumus, bagian, tabel) dan memiliki kemampuan menghubungkan hal-hal yang kelihatannya terpisah.

c) Perincian urutan penyajian materi pembelajaran secara optimal.

Urutan materi permbelajaran ditujukan untuk membimbing siswa agar dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menerima, mengubah, dan mentransfer apa yang telah dipelajarinya.

d) Bentuk dan pemberian penguatan.

Dalam pelaksanaan pembelajaran siswa-siswa perlu diberi penguatan dalam bentuk yang tepat.

3. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Beberapa teori belajar sangat menekankan pada belajar asosiatif atau menghafal. Padahal belajar seharusnya merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua hal, yaitu: (a) materi yang secara potensial bermakna, yang dipilih serta diatur oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan serta pengalaman masa lalu peserta didik; (b) situasi belajar bermakna. Faktor motivasional memegang peranan penting disini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasi materi baru apabila mereka tidak memiliki keinginan dan pengetahuan untuk melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh guru sehingga materi tidak perlu dipelajari secara hafalan.

Satu hal yang sifatnya karakteristik dari teori ini ialah adanya konsep advance organizers yang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk mempelajari informasi baru. Advance organizers ini merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan sesuatu yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

Menurut Ausubel, faktor terpenting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Agar terjadi belajar bermakna, maka konsep atau pengetahuan baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

Dalam proses pembelajaran, konsep-konsep yang disajikan guru disusun secara hierarkhi dan konsep yang paling umum disajikan terlebih dahulu menuju pada hal-hal yang lebih khusus. Proses penyusunan konsep dengan urutan seperti itu disebut diferensiasi progresif. Contoh penyusunan konsep secara hierarkhi konseptual adalah pembuatan peta konsep.

Prinsip kedua yang dikemukakan Ausubel ialah rekonsiliasi integratif atau penyesuaian integratif. Menurut prinsip ini, konsep atau gagasan perlu diintegrasikan dan disesuaikan dengan konsep yang telah dipelajari sebelumnya.

Menurut teori ini proses belajar merupakan proses yang terjadi melalui interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat berupa: (1) interaksi searah (one directional), yaitu adanya stimuli dari luar menyebabkan timbulnya respons; (2) interaksi dua arah, yaitu tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara individu yang belajar dengan lingkungannya atau sebaliknya; (3) interaksi reciprocal, yaitu beberapa faktor yang mempunyai saling ketergantungan seperti faktor-faktor pribadi dan faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi dan menyebabkan perubahan tingkah laku.
Share:

Teori Belajar Behaviorisme

Menurut pandangan behaviorisme manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Menurut Galloway, behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat yaitu tingkah laku serta tidak memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat, oleh karena itu tidak dianggap ilmiah. Dengan demikian proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri siswa yang belajar. Beberapa tokoh dan teori behaviorisme yang terkenal, yaitu:

1. Edward Thorndike

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara persitiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Teori yang dikemukakan Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.

2. Petrovich Pavlov (Classical Conditioning)

Teori ini didasarkan atas rekasi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.

Stimulus tidak terkontrol (US)

Respons tidak terkontrol (UR)

Stimulus tidak terkontrol (US) merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respons dalam bentuk refleks (UR). Di sini respons dapat dibentuk tanpa adanya proses belajar.

Menurut Pavlov individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respons yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3. Skinner (Operant conditioning)

Menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respons. Respons yang diberikan ini dapat sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Respons yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement) agar orang ingin melakukannya kembali.

Prinsip belajar yang dikemukakan skinner antara lain:
  1. Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut berpartisipasi aktif di dalamnya.
  2. Materi pelajaran dibentuk dalam unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis sehingga siswa mudah mempelajarinya.
  3. Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat segera mengetahui apakah respons yang diberikan telah benar atau belum.
  4. Setiap kali siswa memberikan respons yang benar maka ia perlu penguatan. Penguatan yang positif memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penguatan negatif.
Teori Belajar Behaviorisme menekankan adanya stimulus dan respon.
Share:

Definisi Belajar dan Pembelajaran

Belajar didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman (Morgan,dkk. 1986). Definisi ini paling tidak mencakup tiga unsur yaitu: 1)belajar adalah perubahan tingkah laku, 2)perubahan tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman, dan 3)sebelum dikatakan belajar, perubahan tersebut harus relatif permanen atau tetap untuk kurun waktu yang lama.

Dipandang dari segi kependidikan, apabila seseorang telah belajar sesuatu maka ia akan berubah kesiapannya dalam menghadapi lingkungannya. Belajar adalah kata kerja aktif dan merupakan fungsi dari situasi disekitar individu yang belajar dan diarahkan oleh tujuan yang menimbulkan adanya pengalaman-pengalaman dan keinginan untuk memahami sesuatu (Snelbecker, 1974). Snelbecker selanjutnya menyimpulkan definisi belajar sebagai berikut: belajar harus mencakup tingkah laku, tingkah laku tersebut harus berubah dari tingkat yang paling sederhana hingga yang kompleks, dan proses perubahan tingkah laku tersebut harus dapat dikontrol sendiri atau oleh faktor-faktor eksternal.

Pembelajaran merupakan kegiatan belajar-mengajar ditinjau dari sudut kegiatan peserta didik berupa pemberian pengalaman belajar siswa yang direncanakan guru untuk membangun pengetahuan baru dan mengaplikasikannya (learning process). Dalam tugasnya melaksanakan pengelolaan proses belajar mengajar sehari-hari, seorang guru perlu mengingat beberapa prinsip belajar sebagai berikut:

  1. Apapun yang dipelajari peserta didik, dialah yang harus belajar, bukan orang lain. Untuk itu peserta didiklah yang harus bertindak secara aktif.
  2. Setiap peserta didik akan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya.
  3. Seorang peserta didik akan dapat belajar dengan baik apabila memperoleh penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajar.
  4. Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan peserta didik akan membuat proses belajar lebih berarti.
  5. Seorang peserta didik akan lebih meningkat motivasinya untuk belajar apabila ia diberi tanggumg jawab serta kepercayaan penuh atas belajarnya (Davies, 1971).

Lindgren (1976) mengatakan perlunya seorang pengajar memahami teori belajar dengan alasan sebagai berikut:

  1. Teori belajar membantu pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi di dalam diri peserta didik.
  2. Dengan kondisi ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi, memperlancar, atau menghambat proses belajar.
  3. Dengan teori belajar memungkinkan guru melakukan prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat diharapkan pada suatu aktivitas belajar.
  4. Teori belajar dapat merupakan sumber hipotesis atau dugaan tentang proses belajar yang dapat diuji kebenarannya melalui eksperimen dan penelitian, sehingga dapat meningkatkan pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.
  5. Hipotesis, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip ini dapat membantu guru meningkatkan performance atau unjuk kerjanya sebagai seorang pengajar yang efektif.

Dengan alasan-alasan tersebut maka jelas apabila seorang guru ingin diklasifikasikan sebagai guru yang baik, disamping penguasaan ilmu yang digelutinya selama ini ia harus pula membekali diri dengan pengetahuan teori belajar dan pembelajaran yang memadai.
Share:

Ilmu Pengetahuan Telah Menemukan Bukti Keberadaan Tuhan!


Sebuah pertanyaan?
Apakah ilmu pengetahuan telah membuktikan Tuhan ada?

Einstein tidak percaya hal itu mungkin. Tapi Stephen Hawking mengatakan "ini mungkin penemuan ilmiah terbesar sepanjang masa". Jadi, penemuan apa yang telah membingungkan pemikiran ilmiah terbesar abad yang lalu dan mengapa hal itu menyebabkan mereka memikirkan kembali asal usul alam semesta kita? Teleskop baru dan lebih powerful telah membuka misteri tentang alam semesta kita yang belum pernah diungkapkan sebelumnya yang memberi kita wawasan ilmiah baru yang menakjubkan tentang asal usul kehidupan. Apakah ilmu pengetahuan telah membuktikan dan menemukan Tuhan? Bukankah sains sudah terbukti kita tidak membutuhkan Tuhan untuk menjelaskan alam semesta? Ada apa dengan penemuan ini yang sangat berbeda secara mendasar, dan mengapa hal itu mengejutkan dunia ilmiah? Penemuan ini bersama dengan apa yang telah dipelajari ahli biologi molekuler tentang pengkodean yang canggih dalam DNA, yang memiliki banyak ilmuwan yang sekarang mengakui bahwa alam semesta dan kehidupan itu sendiri tampak sebagai bagian dari desain besar. "Banyak ilmuwan, ketika mereka mengakui pandangan mereka, condong ke arah argumen desain." Anehnya, banyak ilmuwan yang sekarang berbicara tentang Tuhan tidak memiliki keyakinan agama apapun. Ada apa dengan penemuan menakjubkan ini yang membuat ilmuwan tiba-tiba berbicara tentang Tuhan. Nah, ada tiga penemuan revolusioner dari bidang astronomi dan biologi molekular yang menonjol: 1) Alam Semesta memiliki awal. 2) Alam semesta tepat untuk kehidupan. 3) Pengkodean DNA mengungkapkan kecerdasan.

Pernyataan ilmuwan terkemuka tentang penemuan ini mungkin mengejutkan Anda.

Alam semesta memiliki permulaan satu kali
Sejak fajar peradaban manusia menatap kagum pada bintang-bintang, bertanya-tanya apa dan bagaimana mereka sampai ada di sana. Meski pada malam yang cerah, mata manusia tanpa bantuan hanya bisa melihat sekitar 6000 bintang, Hubble dan teleskop kuat lainnya mengungkapkan ada satu miliar triliun bintang yang berkerumun di lebih dari 100 miliar galaksi.
Sebenarnya, matahari kita seperti sebutir pasir di tengah pantai dunia. Tapi, sebelum abad ke-20, mayoritas ilmuwan percaya galaksi Bima Sakti kita sendiri adalah seluruh alam semesta, dan hanya sekitar 100 juta bintang yang ada. Kebanyakan ilmuwan masa lalu percaya bahwa alam semesta kita tidak pernah memiliki awal. Mereka percaya bahwa massa, ruang dan energi yang membentuk seluruh alam semesta kita selalu ada. Namun pada awal abad 20, astronom Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta berkembang. Dengan menghidupkan kembali proses secara matematis, dia menghitung bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk materi, energi, dan ruang dan bahkan waktu itu sendiri, sebenarnya sudah dimulai. Shockwaves menyerang komunitas ilmiah. Banyak ilmuwan, termasuk Einstein, bereaksi negatif. Dalam apa yang kemudian disebut Einstein sebagai "kesalahan terbesar dalam hidup saya", dia menyiratkan persamaan untuk menghindari implikasi bahwa alam semesta memiliki awal. Mungkin musuh paling vokal dari gagasan bahwa alam semesta memiliki awal adalah astronom Inggris Sir Frederick Hoyle, yang dengan sarkastik menjuluki acara penciptaan sebuah "ledakan besar." Dia dengan gigih memegang teori steady state bahwa alam semesta selalu ada. Begitu juga Einstein dan ilmuwan lainnya sampai bukti awal menjadi sangat banyak! Kesimpulan logisnya adalah seperti "gajah di ruang angkasa" yang meyakinkan, yaitu bahwa sesuatu atau seseorang diluar penyelidikan ilmiah pasti sudah memulai semuanya. Kemudian pada akhirnya, pada tahun 1992, eksperimen satelit COBE membuktikan bahwa alam semesta benar-benar memiliki satu kali awal dalam kilasan cahaya dan energi yang luar biasa. Meskipun beberapa ilmuwan menyebutnya sebagai momen penciptaan, sebagian besar lebih suka menyebutnya sebagai "big bang." Astronom Robert Jastrow mencoba untuk membantu kita membayangkan bagaimana semuanya dimulai. "Gambar-gambar tersebut menunjukkan ledakan bom hidrogen kosmik. Saat bom kosmik meledak menandai kelahiran alam semesta." Istilahnya adalah segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dari ketiadaan "



Share:

Penentuan Kadar Vitamin C Dalam Sampel dan Masa Simpan Sampel Dengan Metode ASLT

1.        Bahan
Sampel (buah yang diduga mengandung vitamin C) diambil dari perkebunan  atau toko buah.

Reagen dan bahan yang digunakan adalah I2 0,001 M; Na2S23 0,005 M; pati 1%; K2Cr2O7 0,00083 M; KI 5%; HCl pekat, I2 padat, KI padat, Na2S2O3.5H2O padat, K2Cr2O7 padat dan akuades.

2.        Piranti
Erlenmeyer 100 ml, labu takar 50; 100; 250 ml, pipet ukur 1; 2; 5; 10 ml, pipet penuh 25 ml, pipet tetes, beaker glass 100 ml, buret 50 ml, corong, kertas saring, dan blender.

3.        Cara kerja
3.1.       Preparasi Sampel
Sampel yang diambil dari perkebunan atau toko buah dalam kondisi masih baru dipanen, tidak berpenyakit dan ukurannya relatif sama, kemudian disimpan pada berbagai suhu perlakuan yang telah relatif konstan yaitu 8ºC, 21ºC, dan 32ºC. Sampel yang disimpan pada suhu 8ºC dan 21ºC diukur pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, dan 15. Sampel yang disimpan pada suhu 32ºC diukur pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8, dan 10.
Sebanyak 6 buah sampel dikupas dan dibersihkan, kemudian ditimbang sebanyak 100 gram  berdasarkan massa mula-mula, masukkan ke dalam blender dan ditambah 100 ml air suling, Sampel diblender sampai diperoleh slurry. Saring slurry dengan kertas saring atau kain kasa. Bilas residu dengan air suling sebanyak empat kali masing-masing 25 ml. Masukkan ke dalam labu takar 250 ml dan genapkan sampai tanda tera.

3.2.       Standarisasi larutan I2 0,001 M
25 ml larutan I2 0,001 M dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,005 M sampai warna kuning muda. Tambahkan 3 tetes larutan pati 1% dan lanjutkan titrasi sampai larutan tepat tidak berwarna. Volume titrasi dicatat dan diulangi sebanyak 3 kali.

3.3.       Standarisasi larutan Na2S2O3 0,005 M
25 ml larutan K2CrO7 0,00083 M ditambah 2 ml HCl pekat ditambah 10 ml larutan KI 10% dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,005 M sampai warna kuning muda. Tambahkan larutan pati 1% dan lanjutkan titrasi sampai larutan tepat tidak berwarna. Volume titrasi dicatat dan diulangi sebanyak 3 kali.

3.4.       Penentuan Kandungan Vitamin C Cara Titimetrik (Sudarmadji, 1976)
50 ml filtrat sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml ditambah 2 ml larutan pati 1% dan dititrasi dengan larutan I2 0,001 M sampai tepat berwarna biru. Catat volume titrasi dan ulangi sebanyak 4 kali dengan penambahan indikator pada akhir titrasi.
Kandungan vitamin C per 100 g sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut :


Vitamin C = Konsentrasi I2 x Volume I2 x faktor pengenceran x 176,13

4.        Analisis Data
Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan statistika regresi.

Prosedur ini untuk menentukan masa simpan buah yang diduga mengandung vitamin C berdasarkan kandungan vitamin C tersebut dengan metode ASLT. Sampel juga dapat menggunakan minuman botol atau sampel kering.

   Prinsip Dasar Penentuan Masa Simpan dengan Metode ASLT
Selama proses penyimpanan dan distribusi produk pangan, mutu pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor. Mutu dan masa simpan pangan dipengaruhi oleh faktor cahaya, oksigen, pH, gesekan, katalis, inhibitor, tekanan, benturan, air, suhu, dan waktu (Hariyadi, 2004).
Vitamin C sangat dipengaruhi oleh pH terutama dalam suasana alkalis atau pH basa dan juga oleh suhu penyimpanan (Winarno, 1984).
Nilai konstanta laju reaksi (k), sangat dipengaruhi oleh suhu dimana reaksi tersebut berlangsung. Salah satu parameter kinetika yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana nilai konstanta laju reaksi (k) berubah terhadap perubahan suhu  adalah persamaan Arrhenius. Pada umumnya semakin tinggi suhu  semakin tinggi pula laju reaksi. Menurut teori aktivasi, suatu reaksi baru akan berlangsung jika diberikan sejumlah energi minimum tertentu yang disebut sebagai energi aktivasi (Ea) (Hariyadi, 2004).

Persamaan Arrhenius dinyatakan sebagai berikut :


ln k = ln k0 - (Ea/RT)                                        1
dimana :
Ea = energi aktivasi, yang merupakan energi minimum untuk suatu reaksi
R = konstanta gas (8,314 Jmol-1K-1)
T = suhu yang dinyatakan dalam Kelvin (K)
k = konstanta laju reaksi

Energi aktivasi (Ea) merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan, dimana nilai Ea/R merupakan kemiringan kurva linier antara ln k terhadap 1/T (K­-1). Pada suhu rendah umumnya molekul-molekul tidak memiliki energi yang cukup untuk bereaksi, sedangkan pada suhu yang tinggi dimana energi yang diberikan melebihi energi aktivasi molekul-molekul akan saling berinteraksi sehingga dapat terjadi reaksi. Dengan menentukan nilai k pada beberapa suhu maka dapat dibuat persamaan untuk menentukan nilai k pada berbagai suhu, dimana nilai k merupakan kemiringan kurva linier antara ln kandungan vitamin C terhadap lama penyimpanan. Setelah nilai k diketahui masa simpan produk pangan pada berbagai suhu (misalnya suhu ruang 27ºC) dapat ditentukan dengan persamaan kinetika reaksi orde satu.
Metode ASLT merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk menentukan masa simpan suatu produk pangan (Labuza, 1989). Penentuan masa simpan bahan makanan berdasarkan vitamin C dalam ekesperimen ini menggunakan metode ASLT dengan model Arrhenius. Penurunan kualitas mutu vitamin C dilihat berdasarkan penurunan kandungan vitamin C dalam sampel bahan selama masa penyimpanan. Hubungan antara laju penurunan kandungan vitamin C per satuan waktu (hari) pada berbagai suhu penyimpanan digunakan untuk menentukan umur simpan bahan makanan yang berdasarkan kandungan vitamin Cnya pada suhu penyimpanan misalnya suhu ruang 27ºC. Selama masa penyimpanan kandungan vitamin C dalam sampel bahan makanan diukur menggunakan metode Iodimetri.
Laju penurunan kandungan vitamin C per satuan waktu secara umum mengikuti kinetika reaksi orde satu (Sungthongjeen, 2004; Hariyadi, 2004).
ln C = ln C0 – kt                                              2
dengan C kandungan setelah penyimpanan, C0 kandungan mula-mula,               k konstanta laju reaksi orde satu dan t satuan waktu (hari).

Tabel 1.    Kandungan Vitamin C Beberapa Sayuran dan Buah (per 100 g berat basah)
Nama Buah
mg
Nama Sayuran
mg
Black currants
200
Parsley
150
Lemons
80
Merica, polong hijau
128
Strawberries
60
Kecambah Brussel
90
Orange
50
Bunga kubis
60
Raspberries
25
Bayam
60
Melons
25
Kubis
55
Blackberries
20
Kapri
25
Pisang
10
Tomat
20
Sumber : Gaman dan Sherrington, 1992

Gambar 1. Struktur Molekul Vitamin C
Sumber: Sakidja, 1989
Share:

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru