Tujuan
Menentukan
kadar protein dalam sampel telur dan kara secara biuret.
Kajian Pustaka
1. Struktur Protein
Sekuens asam amino dalam rantai polipeptida merupakan struktur primer. Protein diketahui sebagai pembawa faktor genetik (DNA) dan berperan bagi fungsi biologis (protein fungsional). Protein tersusun dari kombinasi asam-asam amino. Ada 22 macam asam amino yang dapat dikombinasikan. Asam-asam amino ini terhubung oleh ikatan peptida (gambar 1.), suatu amida tersusun oleh gugus amino dan gugus karboksil.
Pembentukan ikatan peptida melepaskan suatu gugus amino dan gugus karboksil, dan molekul yang tersisa merupakan komponen utama struktur protein. Rantai polipeptida yang terbentuk dapat berakhir dengan gugus amino (residu ujung-N) dan gugus karboksil (residu ujung-C). Dengan perjanjian penomoran sekuens selalu dimulai dari residu ujung-N.
Gambar 1. Ikatan polipeptida
Bentuk tiga-dimensi rantai polipeptida merupakan
struktur sekunder. Bentuk sederhana polipeptida berupa rantai panjang (gambar
2a.). Namun, bentuk stabil dari strukturnya diperkirakan dalam bentuk heliks
(gambar 2b.). Bentuk heliks lebih stabil karena adanya ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen bukan ikatan kovalen, ikatan hidrogen terjadi antara atom yang bermuatan agak positif dan atom yang
bermuatan agak negatif.
Gambar 2. Struktur protein sekunder. (a)
kerangka struktur protein (b) struktur stabil dengan ikatan hidrogen antara
hidrogen dari gugus amino peptida yang satu dengan oksigen dari gugus karboksil
peptida yang lain, membentuk heliks.
Kebanyakan protein tidak hanya menunjukkan
struktur primer atau sekunder tetapi juga membentuk intermediet. Kehadiran asam
imino prolin dan hidroksiprolin menginduksi bend
dalam rantai menghasilkan ikatan peptida (gambar 3.). Glisin yang tidak
memiliki rantai samping (H) mengijinkan fleksibilitas yang lebih besar pada
ikatan peptida. Ikatan antar rantai juga terjadi antara rantai panjang yang
paralel menghasilkan struktur seperti lembaran berlipat-lipat dengan ikatan
hidrogen antara atom oksigen dan hidrogen dari dua rantai yang berbeda atau
dapat juga ikatan anti paralelnya (gambar 4.).
Gambar 3. Efek asam imino pada struktur protein
Rantai anti
paralel Rantai
paralel
Gambar 4. Pleated sheet (lembaran berlipat-lipat)
serat protein
2..
Penentuan
Protein Dengan Metode Biuret
Nama metode Biuret sebenarnya nama yang kurang tepat dan
kurang sesuai. Metode ini dikembangkan berdasarkan hasil pengamatan bahwa
biuret bereaksi dengan suatu larutan alkalin tembaga sulfat menghasilkan
kompleks berwarna ungu (keunguan). Protein dan beberapa amina berekasi dengan
cara yang sama dengan biuret, sehingga diberi nama metode biuret, walaupun
penentuan kadar proteinnya masih samar-samar. Metode ini sangat berguna, walau
pun dalam elusidasinya membentuk kompleks tembaga (gambar 7.). Ion tembaga membentuk
kompleks ikatan koordinasi dengan empat gugus nukleofil NH, yang dalam reaksi
dengan protein disediakan oleh peptida yang mengikat asam amino.
Gambar 7. Reaksi Biuret
1.
Hukum
Lambert-Beer
Asumsikan
bahwa larutan yang mengandung senyawa yang akan dianalisis volume Vx
dengan konsentrasi cx, dipindahkan ke dalam labu takar volume Vt.
Larutan standar volume Vs mL dengan konsentrasi cs
dimasukkan ke dalam masing-masing labu. Reagen pembentuk kompleks berwarna
ditambahkan dan diencerkan. Berdasarkan hukum Lambert-Beer absorbansi larutan
dideskripsikan sebagai berikut:
= kVscs + kVxcx
Dimana
k adalah konstanta εb/Vt. As sebagai fungsi Vs
diplotkan dan menghasilkan garis lurus dengan persamaan:
As = mVs + b
Dimana
m merupakan kemiringan garis dan b merupakan intersept dengan persamaan:
m = kcs dan b = kVxcx
Metode
Bahan-bahan:
Albumin (putih
telur)
Kara
Reagen Biuret
Larutan
standar protein
Akuades
Alat-alat:
Pipet ukur
Gelas beker
Tabung reaksi
Vortex-mixer
Spektrofotometer
UV-VIS
Stopwatch
Prosedur:
Pengukuran
absorbansi sampel pada lambda (λ) maksimum = 540 nm
Sampel
|
A1
|
A2
|
A
|
Albumin
|
0,142
|
0,140
|
0,141
|
Kara
|
2,961
|
|
|
Perhitungan
Persamaan
kurva standar yaitu: y = 0,0537x - 0,0034
dimana y=
absorbansi (A) dan x= konsentrasi (C mg/ml)
maka
persamaannya dapat ditulis dengan: A= 0,0537C - 0,0034
Penentuan
kadar protein dalam putih telur
A= 0,141
A= 0,0537C -
0,0034
0,141 = 0,0537C - 0,0034
0,0537C =
0,141 + 0,0034
0,0537C =
0,1444
C = 2,6890 mg/ml
1 ml sampel
putih telur yang telah diencerkan 50 kali mengandung protein sebanyak 2,6890
mg/ml. Jika larutannya dianggap homogen maka berlaku M1V1=M2V2
M1
x 1 ml = 2,2890 mg/ml x 50 ml
Sampel putih
telur mengandung 2,6890 mg/ml x = 134,45 mg/ml protein.
Penentuan
kadar protein dalam kara
A= 2,961
(digunakan karena selisihnya terlalu besar dari data yang ke dua).
A= 0,0537C -
0,0034
2,961 = 0,0537C - 0,0034
0,0537C =
2,961 + 0,0034
0,0537C =
2,9644
C = 55,2029 mg/ml
Sampel kara mengandung
55,2029 mg/ml protein.
Pembahasan
Pemilihan panjang gelombang maksimum
perlu dilakukan karena penentuan kadar protein dalam larutan berdasarkan hasil
pengukuran absorbansinya. Panjang gelombang berkaitan dengan absorpsi spesifik oleh
sampel sehingga perubahan absorbansi per satuan konsentrasi dapat diamati lebih
akurat pada panjang gelombang maksimum. Absorbansi yang akan diukur sebaiknya
pada panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada
percobaan ini adalah 540 nm. Dengan demikian, absorbansi paling baik diukur
pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar yang dihasilkan harus linier, bila
belum linier sebaiknya larutan sampel perlu diencerkan lagi, dan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang maksimum ini.
Kurva standar yang diperoleh dari
hasil pengukuran memiliki R=0,9952, artinya kurva standar ini hampir linier
sehingga tidak perlu melakukan pengenceran lebih lanjut. Persamaan kurva
standar sudah layak digunakan untuk menentukan kadar protein dalam larutan sampel.
Persamaan kurva standar yang diperoleh y = 0,0537x - 0,0034, dimana y
menyatakan absorbansi (A) dan x menyatakan konsentrasi (C) dalam mg/ml. Kurva
dan persamaan ini diperoleh dengan bantuan program microsoft office excel. Dalam percobaan ini, pengukuran absorbansi
dilakukan secara duplo, sehingga absorbansi yang digunakan adalah nilai
rata-rata dari pengukuran 1 dan pengukuran 2. Nilai-nilai absorbansi hasil
pengukuran dibuat dalam bentuk grafik, sehingga berdasarkan grafik dapat
dilihat λ maksimum berkisar pada 540 nm.
Berdasarkan perhitungan sampel putih
telur mengandung protein sebanyak 2,6890 mg/ml x = 134,45 mg/ml, artinya
dalam 1 ml putih telur mengandung 134,45 mg protein. Sampel kara mengandung protein
55,2029 mg/ml x = 55,2029 mg/ml,
artinya dalam 1 ml sampel kara mengandung 55,2029 mg protein.
Pertanyaan
1.
Mengapa
berlaku Hukum Lambert-Beer pada percobaan ini?
Hukum
Lambert-Beer berlaku dalam percobaan ini karena penentuan kadar protein
berdasarkan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi. Berdasarkan hukum
Lambert-Beer absorbansi larutan dideskripsikan sebagai berikut:
As = +
= kVscs + kVxcx
Dimana
k adalah konstanta εb/Vt. As sebagai fungsi Vs
diplotkan dan menghasilkan garis lurus dengan persamaan:
As = mVs + b
Dimana
m merupakan kemiringan garis dan b merupakan intersept dengan persamaan:
m = kcs dan b = kVxcx
Hubungan
antara absorbansi dan konsentrasi untuk menentukan kadar protein terlihat dari
persamaan kurva standar, yaitu: y = 0,0537x - 0,0034 dimana y merupakan
absorbansi (A) dan x merupakan konsentrasi (c).
2.
Senyawa
apa yang dapat mengganggu cara analisis Biuret ini?
Seyawa
polialkohol dapat mengganggu analisis ini, khususnya gliserol dan
etilenaglikol, yang bereaksi dengan cara yang sama dengan biuret menghasilkan
kompleks sejenis. Selain itu, asam nukleat juga dapat bereaksi dengan cara yang
sama dengan biuret. Oleh karena itu, dalam analisis mungkin saja yang
terdeteksi bukan kompleks dari protein (asam-asam amino).
3.
Senyawa
kompleks apa yang sebenarnya terjadi pada reaksi ini?
Warna
ungu yang terjadi karena protein bereaksi dengan biuret membentuk senyawa
kompleks. Lebih tepatnya reaksi antara biuret dengan dua atau lebih peptida.
Kesimpulan
1.
Kadar
protein dalam sampel putih telur adalah 134,45 mg/ml.
2.
Kadar
protein dalam sampel kara adalah 55,2029 mg/ml.
Daftar Pustaka
Holme, D.J, Peck, H. (1998). Analytical Biochemistry (3rd ed.). England: Pearson
Education Limited.
Skoog, A.D, et.al. (2004). Fundamental of analytical chemistry (8th ed.). USA:
Brooks/Cole.
Petunjuk praktikum. Penentuan
kadar protein secara biuret.
No comments:
Post a Comment