Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya

Macam-macam atau Jenis-jenis Pendekatan Pembelajaran

Macam-macam atau Jenis-jenis Pendekatan Pembelajaran sebagai Sistem Belajar Mengajar

1. Ekspository Learning atau pendekatan ekspositori
Pendekatan ekspositori ini dilatarbelakangi anggapan terhadap siswa bahwa mereka masih kosong dengan ilmu. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada materi ketahui dan sebutkan. Dalam pendekatan ini guru berfungsi sebagai perancang dan sebagai pengambil keputusan/tindakan.
Dalam sistem ini juga, guru menyajikan materi ajar dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematis, dan lengkap, sehingga peserta didik tinggal menyimak dan mencernakannya saja secara tertib dan teratur.

Secara garis besar prosedur pendekatan Ekspository Learning ini adalah:
1.      Preparasi. Guru mempersiapkan (preparasi) bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
2.      Apersepsi. Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian anak didik kepada materi yang akan diajarkan.
3.      Presentasi. Guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah atau menyuruh peserta didik membaca bahan yang telah disiapkati dari buku teks tertentu atau yang ditulis guru sendiri.
4.      Resitasi. Guru bertanya dan peserta didik menjawab sesual bahan yang dipelajari, atau peserta didik disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri (resitasi), tentang pokok-pokok masalah yang telah dipelajari, baik yang dipelajari secara lisan maupun tulisan (Djamarah & Zain, 2002).

Langkah-Iangkah pendekatan Ekspository Learning adalah:
1.      Penentuan tema pokok bahasan;
2.      Menyusun pokok bahasan;
3.      Menjelaskan materi secara baik;
4.      Melakukan kegiatan revisi.

2. Enquiry Learning atau pendekatan inkuiri
Enquiry learning adalah belajar mencari dan menemukan sendiri. Dalam sistem belajar mengajar ini, guru menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk yang final, tetapi peserta didik diberi peluang untuk mencari dan menemukannya sendiri dengan mempergunakan teknik pendekatan pemecahan masatah.

Pendekatan enquiry learning dilatarbelakangi oleh anggapan seorang pendidik bahwa siswa merupakan subjek dan objek yang telah memiliki ilmu pengetahuan. Dalam pendekatan ini guru berfungsi sebagai supervisor, fasilitator, mediator, dan komentator.

Hasil belajar dengan cara ini lebih mudah dihafal dan diingat, mudah ditransfer untuk memecahkan masalah. Pengetahuan dan kecakapan peserta didik didik bersangkutan lebih jauh dapat menumbuhkan motivasi intrinsik, karena peserta didik merasa puas atas penemuannya sendiri.

Secara garis besar prosedur Pendekatan Enquiry Learning adalah:
1.      Simulation. Guru mutai bertanya dengan mengajukan persoatan, atau menyuruh peserta didik didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2.      Problem statement. Peserta didik diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan. Sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahkan. Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, kemudian membuat hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
3.      Data Collection. Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya.
4.      Data Processing. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semua diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu misal statistika serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu
5.      Verification, atau pembuktian. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pertanyaan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek apakah terjawab atau tidak, atau apakah terbukti atau tidak.
6.      Generalization. Berdasarkan hasil verifikasi tadi, peserta didik belajar menarik kesimpulan.

Pendekatan Enquiry learning atau pendekatan inkuiri sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjurus kepada kekacauan dan kekaburan/ketidakjelasan atas materi yang dipelajari.

Langkah-langkah dalam proses Inquiry:
1.      Pemberian masalah kepada siswa;
2.      Hipotesis (Spesifikasi permasalahan);
3.      Pengumpulan data;
4.      Pengolahan data untuk menjawab hipotesis yang dibuat;
5.      Pembuatan/penarikan kesimpulan.

3. Mastery Learning atau pembelajaran tuntas
Istilah belajar tuntas diangkat dari pengertian tentang apa yang disebut dengan “situasi belajar’. Dalam situasi belajar terdapat aneka macam kecepatan individu sebagai peserta belajar (baik siswa, maupun mahasiswa). Ada murid yang cepat menguasai pelajaran sehingga ia dapat berpartisipasi penuh dalam proses interaksi kelas. Di samping itu ada pula peserta didik yang lamban sehingga tingkat partisipasi dan prestasinya rendah. Mereka yang terakhir ini akan mengalami kesukaran dalam mengikuti kecepatan belajar yang digunakan guru. Mereka akan mengalami kesulitan apalagi bantuan yang diberikan terhadap mereka kurang sekali (Nasution, dkk. 1994).

Belajar tuntas didasarkan pada kondisi objektif bahwa setiap siswa dapat mencapai belajar tuntas, namun biasanya membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Dalam realitasnya ada siswa yang dapat menguasaj 90-100% bahan ajar yang disampaikan guru, namun sebagiannya baru menguasai 50-80% bahkan ada yang baru menguasai lebih rendah dan rata-rata. Bagi siswa yang tingkat penguasaannya rendah diperlukan perbaikan yang terus menerus. Itulah sebabnya dalam filsafat belajar, 10 x 2 lebih baik daripada 2 x 10 (Fathurrohman, 2001). Taraf belajar tuntas ini dapat diformufasikan sebagai penentuan proporsi waktu yang tersedia untuk belajar secara tepat dengan waktu yang dibutuhkan untuk belajar.

Dalam belajar tuntas setiap siswa yang berkopetensi dapat menguasai keterampilan tertentu pada tingkat penguasaan yang memuaskan. Dengan demikian belajar tuntas menolak istilah adanya kewajaran dalam kegagalan kalau yang bersangkutan memang belum mendapatkan bantuan belajar yang yang seharusnya.

Sebab-sebab kegagalan tentu saja oleh banyak faktor, antara lain; keadaan siswa itu sendiri, faktor lingkungan keluarga dan sosial, dan sebagainya. Belajar tuntas melihat faktor penyebab utama yang terletak pada proses belajar itu sendiri. Oleh karena itu yang terpenting adalah perbaikan proses belajar tersebut. Dalam kaitan ini, Bloom (1982) mendefinisikan belajar tuntas itu berdasarkan asumsi bahwa sebagian besar siswa dapat mencapai suatu kemampuan belajar tingkat tinggi apabila pengajaran didekati secara sensitif dan sistematis, dan apa bila siswa dapat dibantu kapan pun dan di mana pun mereka menjumpai kesulitan belajar, apabila mereka diberi waktu yang cukup untuk mencapai penguasaan, dan terdapatnya kriteria yang jetas tentang apa yang disebut dengan mastery (Nasution, dkk., 1994).

Pendekatan belajar tuntas dapat digunakan dengan baik apabila tujuan pengajaraan yang hendak dicapai itu adalah tujuan yang termasuk ranah kognitif dan psikomotor. Pencapaian ranah afektif tidak sesuai menggunakan model belajar tuntas, karena kejelasan (ketuntasan) keterukurannya sukar sekali. Sebaliknya, ranah kognitif dan psikomotor memiliki batasan ketuntasan yang lebih jelas dan lebih mudah dirumuskan menjadi objek yang dapat dikuantifikasi.

Bentuk pengajaran dalam model belajar tuntas ini bisa dilaksanakan secara individual, tetapi dapat juga secara kelompok. Pengajaran individual dapat dilakukan di dalam kelas, dalam arti perlakuan terhadap murid tetap bersifat individual sesuai dengan kemajuan dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing murid.Tentu saja strategi individual ini memerlukan adanya kelengkapan perangkat penunjang seperti modul, laboratorium, ataupun teaching machine.

Fase-fase Model Belajar Tuntas
Pendekatan belajar tuntas terdiri dari lima fase, yaitu:
1.      Fase orientasi.
Pada fase orientasi inilah disusun kerangka dasar pelajaran, perumusan harapan apa yang ingin dicapai, penjelasan dan perincian tugas-tugas belajar peserta didik serta apa yang menjadi tanggung jawab mereka
2.      Fase penyajian atau presentasi.
Guru menjelaskan konsep-konsep baru dan keterampilan melalui demontrasi dan dihantu dengan berbagai usaha visual.
3.      Fase penstrukturan latihan prakteknya
4.      Guru memperlihatkan pada siswa contoh mempraktekan sesuatu antara lain dengan bantuan visual, seperti penggunaan power point, macromedia, multimedia interaktif dan audio-visual lainnya. Latihan seperti ini bersifat komunal (kelompok).
5.      Fase praktek terbimbing
Peserta didik diberi kesempatan mempraktekkan dengan caranya sendiri sernentara guru tetap herada disekitar mereka. Guru mempunyai kesempatan menilai penampilan setiap siswa. Guru berfungsi memonitor keseluruhan dengan menggunakan teknik memuji, menganjurkan, dan meninggalkan.
6.      Fase praktek bebas
Fase terakhir ini baru dapat diberikan pada siswa apabila mereka telah menguasai 85% - 95% penguasaan akurasi kemampuan dalam fase keempat, praktek yang dilakukan siswa dalam fase ini adafah praktek yang dilakukan mereka menurut cara mereka sendiri tanpa bantuan guru, dan dengan memperlambat umpan balik.

4.Humanity Education
Menurut Muhibin Syah (2004) humanity education adalah sebuah sistem klasik yang bersifat global, tetapi beberapa prinsip dasarnya diambil para ahli pendidikan untuk dijadikan sebuah sistem pendekatan PBM. Pendekatan ini menekankan pengembangan martabat manuasia yang bebas membuat pilihan dan berkeyakinan. Dalam sistem ini pengembangan ranah afektif merupakan hal penting dan perlu diintegrasikan dengan proses belajar pengembangan ranah kognitif  dan psikomotor. Perbedaan yang menonjol dalam pendidikan humanistik adalah peranan guru yang lebih banyak menjadi pembimbing daripada pemberi ilmu pengetahuan kepada siswa.

Disamping itu pendidikan humanistik juga menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar dapat mencapai perwujudan dirinya sesuai dengan dasar dan kekhususan yang ada pada diri siswa. Dalam hal penggunaannya dalam PBM pada prinsipnya relatif sama dengan enquiry-discovery, hanya titik tekannya yang berbeda (Muhibin, 2004).

Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai fasilitas fasilitator.
1.      Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal yang baik.
2.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan- tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat lebih umum.
3.      Fasilitator mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya sendiri, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyl di dalam belajar yang bermakna.
4.      Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.      Fasilitator menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaaatkan oleh kelompok.
6.      Di dalam menggapai ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik sebagai individual ataupun sebagai kelompok.
7.      Bila mana suasana penerimaan kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok. Dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8.      Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya, dan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau tidak oleh siswa.
9.      Fasilitator harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang alami dan kuat selama belajar.
10.  Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Hamacheek (1969) menyebutkan bahwa guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru-guru yang “manusiawi”. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik lebih demokratis dari pada autokratik, dan mereka harus mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan atau pun secara kelompok, ruang kelas tampak seperti suatu perusahaan kecil dengan pengertian bahwa mereka lebih terbuka, spontanitas dan mampu menyesuaikan diri pada perubahan. Guru yang tidak efektif jelas kurang memiliki rasa humor, mudah menjadi tidak sabar, menggunakan komentar-komentar yang melukai dan mengurangi rasa ego, kurang teninterogasi, cenderung bertindak agak otoriter, dan biasanya kurang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa mereka.

<<<back                                                next>>>
Share:

No comments:

Post a Comment

Pengembang

Pengembang

Statistik Pengunjung

Post Populer

ANGGOTA

Ads

Post Terbaru