BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Pendidikan berfungsi memberdayakan
potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan serta membangun kebudayaan dan
peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk melestarikan
nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi untuk
menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif. Oleh karena itu, pendidikan memiliki fungsi kembar
(Budhisantoso, 1992; Pelly, 1992).
Dengan fungsi kembar itu, sistem pendidikan asli di suatu daerah memiliki peran
penting dalam perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
Berbagai
permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya
mutu pendidikan. The Third
International Mathematics and Science Study Repeat melaporkan bahwa
kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-32 dari 38
negara (TIMSS-R, 1999). Masalah lainnya adalah belum berhasilnya sektor
pendidikan khususnya pendidikan sains dalam melatih pendidikan nilai di sekolah. Hal ini terbukti
dari berbagai permasalahan seperti rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan
berbagai becana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir bandang,
kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air, dan terakhir luapan lumpur
Lapindo di Sidoarjo yang sudah dua tahun, sampai hari ini belum juga dapat
diatasi. Semua permasalahan ini hanya menghasilkan dan menyisakan kesengsaraan
rakyat Indonesia. Adimassana (2000) menambahkan bahwa salah satu penyebabnya
adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam melaksanakan pendidikan
nilai di sekolah. Zamroni (2000:1) mengemukakan bahwa pendidikan cenderung
hanya menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang hanya
“mentransfer” kepada peserta didik, apa yang disebut sebagai dead knowled,
yaitu pengetahuan yang terlalu berpusat pada buku (textbookish),
sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar sumbernya dan aplikasinya. Lebih
lanjut Suastra (2005) mengatakan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
asli yang penuh dengan nilai-nilai kearifan (local genius) diabaikan
dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran sains di sekolah. Dengan
demikian, pembelajaran sains menjadi ”kering” dan kurang bermakna bagi siswa. Hal
inilah yang perlu mendapat perhatian serius bagi para pengambil kebijakan dan
praktisi pendidikan sains baik di pusat maupun di daerah.
Pendidikan nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mengemban
fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional
sebagaimana tercantum dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan, di antaranya PP
No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Kedua perangkat hukum
tersebut mengamanatkan agar kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah harus juga mengacu kepada Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Penerapan Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah (MPBS) adalah bentuk alternatif otonomi pendidikan sebagai
wujud reformasi pendidikan di mana sekolah diberikan peluang yang sangat luas
dalam mengelola sekolah serta mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan
oleh para pengambil kebijakan pendidikan di daerah dan para guru dalam rangka
mengembangkan potensi lokal dan sekaligus melestarikan nilai-nilai positif yang
terkandung dalam budaya bangsa kita.
Pembelajaran
sains yang akan datang perlu diupayakan agar ada keseimbangan/ke-harmonisan antara pengetahuan sains itu sendiri dengan
penanaman sikap-sikap ilmiah, serta nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan
berkembang di masyarakat. Oleh karena itu,
lingkungan sosial-budaya siswa perlu mendapat perhatian serius dalam mengembangkan pendidikan sains di
sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat berguna bagi kehidupannya.
Dengan demikian, pedidikan sains akan betul-betul bermanfaat bagi siswa itu
sendiri dan bagi masyarakat
luas. Hal ini sesuai dengan pandangan reformasi pendidikan sains dewasa ini
yang menekankan pentingnya pendidikan sains bagi upaya meningkatkan tanggung
jawab sosial. Berdasarkan usaha reformasi ini, tujuan pendidikan sains tidaklah
hanya untuk meningkatkan pemahaman terhadap sains itu sendiri, tetapi yang
lebih penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu sendiri.
Bagaimana manusia membuat pemahaman tentang dunia alamnya dan bagaimana mereka
berinteraksi dengan keseluruhan tatanan makrokosmos sangat ditentukan oleh pandangan mereka tentang
dunia dan nilai-nilai universal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka rumusan masalah yang diteliti dalam dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pendapat guru tentang pengembangan
model pembelajaran sains berbasis budaya.
2. Kompetensi dasar sains apa yang
dapat dikembangkan dalam pembelajaran sains berbasis budaya.
3. Metode apa yang cocok diterapkan
dalam pembelajaran sains berbasis budaya.
4. Sumber belajar apa yang cocok diterapkan
dalam pembelajaran sains berbasis budaya.
5. Sistem
penilaian apa yang cocok diterapkan dalam
pembelajaran sains berbasis budaya, dan
6. Bagaimana model konseptual
pembelajaran sains berbasis budaya yang dapat mengembangkan kompetensi dasar
sains dan nilai kearifan lokal.
Berkaitan dengan masalah ini, maka
dipandang perlu untuk mengembangkan pembelajaran sains berbasis budaya lokal
dalam upaya mengembangkan kompetensi dasar sains dan kearifan lokal.
BAB II
Pembahasan
2.1. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian analisis kebutuhan
yang nantinya digunakan sebagai dasar dalam merancang model pembelajaran sains
untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal. Populasi
penelitian ini adalah guru-guru sains SMP Negeri dan Swasta di Singaraja yang
berjumlah 38 orang. Guru
yang dijadikan sampel penelitian ini adalah sebanyak 30 orang guru sains SMP
yang tersebar di Singaraja. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi
1) pendapat guru tentang pembelajaran sains berbasis budaya lokal, 2)
kompetensi dasar sains yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran berbasis
budaya, 3) metode yang relevan untuk model pembelajaran berbasis budaya lokal;
dan 4) sumber belajar yang relevan untuk mendukung model pem-belajaran berbasis budaya lokal; 5) rancangan (disain)
pembelajaran sains berbasis budaya lokal beserta penilaiannya untuk mengem-bangkan kompetensi dasar sains dan nilai ke-arifan lokal, serta 6) penilaian yang relevan untuk
pembelajaran berbasis budaya lokal. Data penelitian ini dikumpulkan melalui
kajian pustaka, wawancara, dan kuisioner. Data
dianalisis secara deskriptif.
2.2. Hasil
dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data pendapat guru tentang pengembangan
pembelajaran sains berbasis budaya ditemukan bahwa 90% guru menyatakan
berkeinginan untuk mengembang-kan
model tersebut, namun hanya 20% guru yang memiliki wawasan/pengetahuan dan ke-mampuan untuk mengembangkannya.
Hasil analisis
silabus siswa kelas VII dan VIII
terdapat 11 kompetensi dasar (KD) yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran
sains berbasis budaya. Kompetensi dasar tersebut dapat dilihat pada Tabel 01 berikut.
Tabel 01:
Kompetensi dan Kearifan Lokal
No
|
Kompetensi
Dasar
|
Nilai
Kearifan Lokal
|
1.
|
Mendeskripsikan
besaran pokok dan besaran turunan
beserta satuannya
|
Memperkenalkan
pengukuran tradisional atau tak baku “si-kut” untuk
pembangunan tempat suci atau rumah. Nilai keharmonisan/
keselarasan
|
2.
|
Mendeskripsikan
pengertian suhu dan pengukuran-nya
|
Mengekop anak
yang sakit panas dengan menggunakan pelapah pisang atau daun dapdap. Nilai pelestarian tumbuh-tumbuhan
(kontrol) dan tradisi.
|
3.
|
Melakukan
pengu-kuran dasar
secara teliti dengan meng-gunakan
alat ukur yang sesuai dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari
|
Melakukan
pengukuran dengan ukuran sikut, seperti
adepa, alengkat, ahasta, atampak ngandang, anyari, dll. Nilai
keharmonisan/keselarasan
antara tempat suci/ rumah dengan
pemiliknya. Nilai keharmonisan/keselarasan antara isi dan tem-patnya.
|
4.
|
Melakukan
percobaan sederhana tentang asam, basa, dan garam dari dengan bahan-bahan
yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari
|
Pembersihan
alat-alat upacara yang terbuat dari perak yang berwarna hitam dengan bahan
asem atau buah krerek. Nilai kontrol.
|
No
|
Kompetensi Dasar
|
Nilai Kearifan Lokal
|
5.
|
Mendeskripsikan
konsep massa jenis dalam kehidupan
|
Para tukang bangunan
“undagi” menentukan “muncuk” dan “bongkol” kayu dengan cara menimbang kayu dengan
benang/tali pada ba-gian
tengahnya, agar tidak terbalik dalam pemasangannya. Nilai kontrol
dan etika dalam arsitektur tradisional.
|
6.
|
Melakukan
pemisahan campuran dengan berbagai cara berdasarkan sifat fisika dan kimianya
|
Pembuatan
garam dapur dari air laut dengan cara tradisional. Pembuatan minyak tandusan. Nilai kontrol dan alamiah
|
|
7.
|
|
Pelestarian
berbagai tumbuhan dan binatang langka di Bali dengan konsep duwe betara, seperti penyu hijau
dengan tapak dara di punggungnya, kokokan di Bedulu, kera di Pulaki/Sangeh,
kelelawar di Goa Lawah, ular poleng di pura Uluwatu, pohon beringin, pule,
kepah, ketapang kembar, dll. Nilai pelestarian satwa dan alam lingkungannya
(kontrol) dan spiritualitas.
|
|
8.
|
Mendeskripsikan
tahapan perkem-bangan
manusia
|
Tahapan
perkembangan manusia
Bali dari proses dalam kandungan (garbadana),
dua belas hari, bulan pitung dina, oton, menek kelih, metatah, pawiwahan, ngaben. Nilai holistik,
kontrol dan spiri-tualitas.
|
|
9.
|
Melakukan
percobaan tentang sifat-sifat cahaya
|
Pembuatan terowongan menggunakan lampu sentir
untuk menentukan lurusnya lubang terowongan. Nilai kontrol.
|
|
10.
|
Menjelaskan
sifat-sifat bunyi
|
Memperkenalkan
berbagai alat musik tradisional seperti gong, suling, gangsa, kendang. Memperkenalkan alat komunikasi
tradisional “kulkul”. Nilai seni dan
spiri-tualitas.
|
|
11.
|
Melakukan
percobaan tentang nada dan frekuensi bunyi
|
Penyetelan
nada gangsa oleh pembuat gamelan
dengan menggunakan prinsip reso-nansi. Nilai seni,
kontrol, dan spiritualitas
|
Metode yang relevan digunakan dalam pembelajaran sains berbasis
budaya lokal untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan kearifan lokal adalah penyelidikan/eksperimen dengan rerata
4,8 (kualifikasi sangat cocok), metode
observasi lapangan dengan rerata 4,6
(kualifikasi sangat cocok), dan
diskusi kelompok dengan rerata 3,8 (kualifikasi cocok).
Dari 4 sumber belajar yang diajukan, ternyata tiga sumber belajar yang
dapat digunakan dalam pembelajaran sains
untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan
adalah lingkungan alamiah dengan rerata
4,4 (kualifikasi cocok), lingkungan sosial budaya dengan rerata 4,4 (kualifikasi cocok), buku-buku
pelajaran dan buku lainnya dengan rerata 4,2 (kualifikasi cocok), audio visual dengan rerata 4,0 (kualifiaksi
cocok), serta internet dengan rerata 3,8 (kualifikasi cocok).
Sistem penilaian yang relevan digunakan dalam pembelajaran sains berbasis
budaya untuk mengembangkan kompetensi dasar sains dan kearifan lokal
adalah non-tes dengan skor rerata 4,6 (kualifikasi sangat
cocok) dan tes dengan skor rerata 3,8 (kualifikasi cocok).
Berdasarkan analisis kebutuhan yang diperoleh di atas, maka alur pembelajaran sains berbasis budaya untuk
mengembangkan kompetensi dasar sains dan kearifan lokal seperti Gambar 1 berikut. Ada 5 tahapan pokok dalam pembelajaran
meliputi 1) kegiatan awal, 2) eksplorasi (fase penyelidikan dari berbagai pers-pektif), 3) fase elaborasi,
4) konfirmasi, dan 5) kegiatan akhir.
KEGIATAN AWAL
|
EKSPLORASI
(Penyelidikan dari Berbagai
Perspektif)
|
KONFIRMASI
|
ELABORASI
|
KEGIATAN AKHIR
|
Alur Kegiatan Pembelajaran Sains Berbasis Budaya
Agar kompetensi dasar dan nilai kearifan lokal dapat dikembangkan melalui
pembelajaran sains berbasis budaya lokal, maka peran guru dalam proses
pembelajaran sebagai berikut.
(1)
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan
pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep atau ke-yakinan yang dimiliki siswa yang
berakar pada sains asli (budaya).
(2)
Menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan (discrepant events) yang sebenarnya hal
biasa menurut konsep-konsep sains Barat.
(3)
Berperan untuk mengidentifikasi batas budaya yang akan
dilewatkan serta menuntun siswa melintasi batas budaya, sehingga membuat masuk
akal bila terjadi konflik budaya yang muncul.
(4)
Mendorong siswa untuk aktif bertanya, memberi komentar,
dan memecahkan masalah, serta
(5)
Memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif
dan negatif sains Barat dan teknologi bagi kehidupan dalam dunianya (bukan pada
kontribusi sains Barat dan teknologi untuk menjadikan mono-kultural dari elit
yang memiliki hak istimewa).
Berdasarkan
hasil analisis data pendapat guru tentang pengembangan pembelajaran sains
berbasis budaya ditemukan bahwa 90% guru menyatakan berkeinginan untuk
mengembang-kan model tersebut,
namun hanya 20% guru yang memiliki wawasan/pengetahuan dan ke-mampuan untuk mengembangkannya. Hal ini
mengindikasikan bahwa model pembelajaran berbasis budaya dapat diterima dengan
baik, meskipun wawasan dan pengetahuan mereka masih minim. Minimnya
wawasan/pengetahuan guru
terhadap model pembelajaran sains berbasis budaya terletak pada kemampuan guru untuk mencari contoh-contoh kejadian/peristiwa yang
mengandung nilai kearifan lokal untuk dapat
diintegrasikan ke dalam silabus atau rencana pelaksanaan pembelajaran.
Hal ini terbukti dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun guru
sangat sedikit mengaitkan dengan budaya lokal. Begitu juga dalam observasi
langsung selama proses pembelajaran, guru masih tampak ragu dan canggung untuk
menghubungkan dengan budaya lokal. Hal ini disebabkan karena selama ini guru
belum pernah mengembangkannya dalam pembelajaran sains di sekolah. Yang menarik
justru model ini telah dicobakan melalui penelitian kelas (PTK) yang juga
sebagai payung penelitian ini oleh seorang mahasiswa dalam menyelesaikan tugas
akhirnya di SMP Negeri 3 Banjar ternyata mendapat respon yang sangat positif
oleh baik guru maupun siswa. Di samping itu, prestasi belajar siswa juga
mengalami peningkatan dari awal sampai akhir siklus tindakan.
Hasil analisis
terhadap silabus kelas VII dan VIII SMP ditemukan 10 kompetensi dasar (KD) yang
dapat dikembangkan dengan model pembelajaran berbasis budaya. Pengembangan
kompetensi dasar ini akan mampu menjembatani pengetahuan dan keyakinan siswa yang
merupakan budaya aslinya menuju konsepsi ilmiah. Hal ini sesuai dengan
pendapatnya Cobern dan Aikenhead (1996)
yang menyatakan jika subkultur sains
modern yang diajarkan di sekolah harmonis dengan subkultur kehidupan
sehari-hari siswa, pembelajaran sains akan berkecenderungan memperkuat
pandangan siswa tentang alam semesta, dan hasilnya adalah enkulturasi. Dengan kata lain, di satu sisi
kompetensi dasar siswa akan meningkat dan di sisi lain kearifan lokal
siswa tetap lestari.
Metode pembelajaran yang
cocok untuk digunakan dalam pembelajaran sains untuk pengembangan kompetensi dasar sains dan
nilai kearifan lokal adalah metode/penyelidikan (
), observasi langsung (
), dan diskusi/ (
). Dalam penelitian ini, ketiga metode yang cocok
digunakan secara pro-porsional
sesuai dengan strategi yang dirancang. Ketiga metode ini yaitu metode inkuiri,
demonstrasi, dan diskusi merupakan metode penting dan cocok diterapkan dalam
pembelajaran sains
dalam upaya mengembangkan keteampilan proses sains atau sering disebut
keterampilan berpikir (thinking skill) (Harlen, 1992; Trowbridge &
Bybee, 1990; Dahar, 1989; Carin & Sund, 1975).
Sumber belajar yang
cocok digunakan dalam pembelajaran sains bagi pengembangan kemampuan berpikir
kreatif siswa adalah lingkungan alamiah dan sosial budaya (
), buku-buku teks/dan buku pelajaran (
), audio visual (
),dan internet
(
). Dalam penelitian untuk tahap selanjutnya, sumber
belajar yang digunakan adalah lingkungan alamiah dan sosial, buku-buku
pelajaran dan buku teks lainnya, audio visual, dan internet. Hasil ini
menunjukkan bahwa pembelajaran sains untuk siswa SMP sumber belajarnya yang paling sesuai adalah
lingkungan alamiah dan sosial siswa, buku-buku pelajaran dan buku teks, di
samping audio visual dan internet. Lingkungan alamiah dan sosial merupakan
sumber belajar yang ada di sekitar siswa yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam
merancang pembelajaran sesuai dengan materi pelajaran yang dibelajarkan.
Melalui sumber belajar alamiah dan sosial budaya, siswa akan lebih mudah
menghubungkan pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan kehidupan mereka
sehari-hari. Oleh karena itu, guru memiliki peran penting dalam merancang
kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan alamiah dan sosial
budaya siswa sebagai sumber belajar.
Audio visual dianggap cocok dimanfaatkan dalam pembelajaran sains SMP menginggat dewasa ini sudah cukup banyak
media audio visual yang ada di sekolah maupun di pasaran yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran sains. Hal ini
dibutuhkan terutama dalam menjelaskan suatu fenomena yang sulit untuk dilihat
secara langsung, seperti peredaran darah, denyut jantung. Dengan media audio
visual, proses kerja peredaran adarah, denyut jantung, bayi dalam kandungan
akan dapat terlihat dengan jelas dalam tayangan video. Pembelajaran dengan
bantuan audio visual ini tentu akan memotivasi siswa belajar dan sudah barang
tentu merangsang pikiran siswa karena mereka secara nyata dapat mengamati
secara langsung proses-proses alamiah.
Buku-buku sumber merupakan sumber belajar konvensional yang sudah terbiasa digunakan para guru dalam
pembelajaran sains merupakan hal yang wajar. Adanya perubahan orientasi guru
kepada sumber internet merupakan suatu kemajuan dalam mengembangkan
pembelajaran sains berbasis ICT. Mengingat sumber belajar ini merupakan
tuntutan jaman sehingga dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahauan dan
teknologi yang begitu cepat sehingga paling tidak dapat mengikuti atau setara
dengan negara-negara maju dalam bidang pendidikan lainnya.
Sistem penilaian yang
cocok untuk pembelajaran sains bagi pengembangan kompetensi dasar sains dan
nilai kearifan lokal adalah non tes
seperti penilaian kinerja, sikap, portofolio, produk dan penilaian dengan
menggunakan tes. Ini berarti kedua bentuk penilaian dapat digunakan dalam
mengembangkan kompetensi dasar dan kenilai kearifan lokal dalam pembelajaran sains di SMP. Hal ini
sesuai dengan temuan Suastra (2006) yang mengatakan bahwa penilaian otentik
cukup efektif digunakan dalam pembelajaran sains (Fisika). Hal ini mengindikasikan
bahwa terdapat pergeseran pandangan guru akan pentingnya penilaian non tes
dalam pembelajaran IPA. Selama ini dan dari hasil wawancara dengan guru, tes
dianggap sebagai satu-satunya alat penilai keberhasilan belajar siswa. Dengan
diterapkannya kurikulum tingkat satuan pendidikan, guru telah banyak memperoleh
wawasan melalui penataran-penataran sehingga kesadaran akan pentingnya non tes
mulai bangkit. Hasil kuesioner penelitian ini menunjukkan bahwa non tes
memperoleh rerata lebih tinggi dari tes. Ini berarti ada pergeseran pandangan
tentang pentingnya non tes dalam pembelajaran sains yang selama ini terabaikan.
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan rumusan masalah,
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1) Terdapat 11 kompetensi dasar (KD) yang ada di
kelas VII dan VIII yang dapat dikembangkan pembelajaran sains berbasis budaya
di SMP. 2) Metode yang cocok untuk
pembelajaran sains berbasis budaya untuk mengembangkan kompetensi dasar sains
dan nilai kearifan lokal adalah metode penyelidikan/ eksperimen, observasi lapangan, dan metode diskusi/tanya jawab, yang ketiganya
digunakan secara proporsional dalam pembelajaran. 3) Sumber belajar yang cocok
untuk mendukung kegiatan pembelajaran sains berbasis budaya adalah lingkungan alamiah dan sosial-budaya,
buku-buku pelajaran dan buku teks, audio visual, dan internet. 4) Sistem
penilaian yang cocok untuk pembelajaran sains berbasis budaya untuk
mengembangkan kompetensi dasar sains dan nilai kearifan lokal adalah penilaian
non tes (kinerja, sikap, portofolio, produk) dan penilaian dengan tes. 5) Model
konseptual pembelajaran berbasis budaya
untuk mengembangkan kompetensi dasar dan nilai kearifan lokal meliputi lima
tahapan yaitu: (1) kegiatan awal, (2) eksplorasi (penyelidikan dari berbagai
persepktif), (3) elaborasi, 4) konfirmasi, dan (5) kegiatan akhir.
3.2. Saran presentator
1. Pengembangan pembelajaran
sains berbasis budaya lokal sangat diperlukan agar kearifan lokal tetap terjaga
dan lestari.
2. Dalam rangka mengembangkan
proses pembelajaran sains berbasis kerarifan lokal, masih diperlukan
sosialisasi dan pelatihan yang lebih intensif untuk para guru.
3. Diperlukan suatu petunjuk
pelaksanaan yang jelas mengenai bagaiamana mengembangkan pembelajaran sains
berbasis kearifan lokal,misalkan data apa saja yang diperlukan sebagai bahan
untuk mengembangkan pembelajaran sains berbasis kearifan lokal tersebut.
4. Hendaknya pengembangan
pembelajaran berbasis budaya lokal tidak hanya pada mata pelajaran sains saja
tapi juga pada mata pelajaran-mata pelajaran yang lain.
5.
Perlu segera dilakukan kajian lebih
lanjut terhadap penelitian ini untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran
sains berbasis budaya untuk dapat mengembangkan kompetensi dasar dan kearifan
lokal yang sangat dibutuhkan oleh guru sains SMP.
Daftar pustaka
Adimassana,Y.B.(2000). Revitalisasi
pendidikan nilai di dalam sektor pendidikan formal. Atmadi &
Setiyaningsih (eds). Transformasi pendidikan memasuki milenium ketiga.
Yogyakarta: Pe-nerbit Kanisius
Borg,W.R & Gall,M.D (1989). Educational
research. New York: Longman.
Budhisantoso,S.(1992).
Pendidikan Indonesia berakar pada kebudayaan nasional. Makalah pada konvensi nasional pendidikan Indonesia II.Medan.
Cobern,W.W. Aikenhead,G.S. (1996). Cultural
Aspects of learning science. SLCSP
Working paper#121.http://www.wmich.edu/slcsp/ 121. htm’.
Dahar. R.W. (1989). Teori-teori
belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Depdiknas (2005). Mutu
pendidikan Indonesia tahun 2003 “ Laporan trends in international
mathematics and science study . Warta Balit-bang Depdiknas Vol II No. 1 Januari 2005.
George.J.
(2001). Culture and science education: Developing world. http://www.id21.org/ educa-tion/e3jg1g2.html.
Harlen, W. (1992). The
teaching of science. London: David Fulton Publishers.
Jeged,O.J,
Aikenhead.G, and Cobern,W. (2002) Cultural
studies in science education. http://www.157.80.39.44/jrp/report.htm.
Johnson,E.B. (2002). Contextual
teaching learning. California:
Corwin Press.
Pelly,U (1992). Pendidikan berakar pada kebudayaan nasional. Makalah pada konvensi nasional pendidikan Indonesia II. Medan.
Suastra,I W. (2005). Merekonstruksi sains asli (Indigenous Science) dalam rangka mengem-bangkan
pendidikan sains berbasis budaya lokal di sekolah (Studi etnosains pada masya-rakat
Penglipuran Bali). Disertasi. Tidak Dipublikasikan.
Suastra, I,W. dkk. (2006). Pengembangan asesmen
otentik dalam pembelajaran Fisika di SMA. Laporan penelitian. Undiksha
Singaraja.
Suastra, I.W (2006). Perspektif Kultural
Pendidikan Sains: Belajar Sebagai Proses Inkulturasi. Jurnal Pendidikan dan Prngajaran
Undiksha (Terakreditasi) . No. 3 Tahun XXXIX Juli 2006.
13
|
Trawbridge, L & Rodger W Bybee. (1990).
Becoming a secondary school science teacher. London: Merril Publishing Company.
Zamroni. (2000). Paradigma pendidikan masa depan.
Yogyakarta: Bigraf
Publishing.
No comments:
Post a Comment